Perkara Uang Seribu

Apapun itu adalah baik bagi mereka yang bekerja dengan perasaan yang tulus dan ikhlas, bagi mereka adalah masa depan yang cerah sudah di depan mata. Berikut adalah kisah perkara uang seribu yang silahkan pembaca nilai sendiri kisahnya. Seperti biasa hari ini adalah hari yang baik untuk bermalas-malasan dikamar karena hari ini adalah hari sabtu. Hari dimana saya biasanya membiarkan diri dipenjara dalam kamar seharian, tetapi hari Sabtu kali ini saya sudah memiliki rencana jauh-jauh hari sebelumnya untuk pergi ke bengkel untuk memperbaiki sepeda motor kesayangan. Hal itu karena saya sudah merasa si biru sudah agak tidak nyaman untuk ditunggangi karena ring ban bagian belakangnya sudah tidak akurat lagi akibat masuk lubang alhasil ketika saya mengendarai si biru maka akan terasa bergoyang seperti goyang Inul hingga ke stang kemudi. Sesampainya di bengkel resmi itu malang bagi saya karena bengkel tidak bisa memperbaiki dan teknisinya menyuruh saya pergi ke jalan Paus untuk memperbaiki ring tersebut.
Dengan perasaan kecewa saya pun berlalu dari bengkel resmi itu sembari berfikir kemana saya akan pergi selanjutnya, karena saya tidak tahu letak bengkel yang disebut di jalan Paus. Ditengah jalan saya terfikir bahwa saya belum sarapan pagi sehingga saya fikir mencari sarapan pagi akan lebih baik, namun segera saya urungkan karena melihat jam sudah menunjukkan pukul 10.30 yang berarti jam makan siang akan segera masuk. Saya pun memilih untuk tidak sarapan dan berfikir akan makan siang lebih banyak di tempat ikan bakar favorit saya. Karena jam baru menujukkan pukul 10.30 maka saya harus mencari tempat untuk mengulur waktu sehingga tidak terasa lapar. Sejenak saya berfikir akhirnya saya memutuskan untuk menuju salah satu toko buku terbesar di Indonesia untuk tempat mengulur waktu sembari ingin membeli sebuah buku baru tentang Sukarno tentunya. Yap, buku Sukarno yang selalu ada kisah barunya yang saya rasa tidak akan pernah habis orang membahas tentang Sukarno hingga kiamat. Selain ingin membeli buku Sukarno saya juga ingin membeli buku catatan kecil karena saya perlu untuk mencatat berbagai kegiatan saya sehari-hari.  Kebetulan sekali dompet saya isinya tidak mencukupi dan saya berharap di toko buku itu ada ATM Bank Mandiri sehingga bisa sekaligus mengambil uang.
Tidak berfikir panjang lagi saya menelusuri  jalan Sudirman menuju toko buku yang terletak di samping fly over, setibanya di toko buku itu saya tidak langsung masuk karena saya ingin memastikan keberadaan ATM Bank Mandiri terlebih dahulu. Saya melihat seorang juru parkir berdiri di samping mesin tiket dan memberikan tiket kepada salah seorang pengunjung yang ingin masuk, kemudian saya pun berhenti di depannya menanyakan keberadaan ATM Mandiri.
Malangnya belum sempat saya bertanya juru parkir itu memberi saya sebuah tiket masuk yang langsung membuat saya bingung. “lho kok saya dikasih tiket mas, saya kan belum mau masuk, saya mau tanyakan ATM Mandiri ada atau tidak,” tanya saya pada sang juru parkir dengan kepala sedikit agak mendongak untuk melihat mesin ATM. “tidak ada bang, yang ada BRI,” dia menjawab.
 Karena tidak ada ATM Mandiri saya pun berniat untuk berbalik dan ingin mencari ATM Mandiri, eh tiba-tiba sang juru parkir meloncat menghadang saya, “bang tidak bisa balik bang abang sudah dapat karcis parkir, jadi abang harus bayar dulu,”. Saya pun bertambah bingung lagi, bagaimana saya mau  membayar jika saya tidak menggunakan fasilitas parkir, lalu kami terlibat adu mulut beberapa saat.
Akhirnya saya menuruti kemauan sang juru parkir untuk masuk, tetapi saya tidak langsung membayar tarif parkir sejumlah seribu rupiah karena menurut saya dalam posisi ini saya tidak salah. Kemudian saya berhenti di pos pembayaran parkir lalu saya turun dari motor dengan dihadang dua orang juru parkir satunya lagi yang tadi. “pokoknya saya tidak mau bayar karena saya bisa memencet tombol mesin tiket sendiri lagian saya juga saya belum masuk biasanya kan begitu,” ujar saya masih agak tenang. Juru parkir tadi dengan logat khas medannya tidak mau kalah,” tidak bisa bang pokoknya abang harus bayar, mau abang adukan ke manajemen kami silahkan gak takut aku,” kerasnya. Sedangkan temennya satu lagi yang bertugas menagih biaya parkir hanya diam. Suasana sekitar pos pembayaran parkir sudah agak ramai karena saya tetap bersikeras tidak akan membayar dan orang-orang pun melihat dimana saya tidak pedulikan sama sekali.
“oke baik silahkan panggil manajemen abang dan suruh dia kesini menghadap saya,” nada saya sudah agak tinggi. Entah apa yang ia perbincangkan dengan temannya lalu ia menjawab bahwa manajemennya belum datang dan akan datang pada pukul 11.00, lho katanya tadi mau diaduin ke manajemennya fikir saya dalam hati. Sang juru parkir pun berbincang lagi dengan temannya, kemudian temannya menyarankan untuk membawa saya bertemu dengan kepala sekuriti. Saya pun menyanggupinya dan kami menuju pos sekuriti untuk bertemu dengan kepala sekuritinya, bagaikana gunung api yang mau meletus sang juru parkir langsung meledak-ledak di depan kepala sekuriti. “bang abang ini ga mau bayar parkir dia, alasanya mau ke ATM sebenarnya dia ga ada duit banyak gaya abang ini,” masih dengan logat medannya yang tambah keras.
Sang kepala sekuriti pun mengangguk angguk dan menyuruh juru parkir tenang, namun sang juru parkir tetap meledak ledak berbicara sedang saya hanya diam mendengarkan ocehan juru parkir. “nah diam kau kan..diam kau kan,” kata juru parkir kepada saya. Setelah itu saya pun berbicara kepada kepala sekuriti,” bapak sudah dengar kan penjelasan abang parkir ini, nah sekarang tolong simpulkan pak,”. Tidak tahan dengan ocehan sang juru parkir yang tidak menentu kemudian kepala sekuriti pun meradang,” sudah diam kau selesaikan ini secara baik baik ini hanya kesalahpahaman, kalau kau tidak bisa diam pergi kau dari sini,” mata sekuriti menatap tajam. Seperti kucing kena lidi, sang juru parkir pun berlalu sambil menggerutu. Saya pun berbincang sebentar dengan kepala sekuriti, ia pun menyarankan saya untuk memakai mesin EDC saja karena sudah tersedia. “baik pak, terima kasih saya belanja dulu,” ucap saya kepada kepala sekuriti.
Saya pun segera menuju rak buku yang meyediakan berbagai buku catatan mulai dari yang gambar kartun hingga tidak bergambar, perhatian saya tertuju pada satu buku catatan kecil bersampul coklat. Setelah membayarnya kemudian saya menuju lantai dua yang menyediakan berbagai macam buku bacaan, berkeliling sebentar dan membaca beberapa sinopsis buku lalu saya mengambil satu buku yang berjudul “ Total Bung Karno” bersampul merah dengan foto senyum sukarno. Merasa semua yang saya butuhkan sudah didapat maka saya pun menuju meja kasir, eh kasirnya cantik lho :D.  
saya mau beli ini juga tapi gak jadi :D

Saya pun mengambil motor dan ingin cepat keluar dari toko buku itu, namun lagi-lagi saya dihadang oleh beberapa orang juru parkir di depan pos pembayaran. Rupanya salah satu diantara mereka adalah utusan dari manajemennya, “berhenti sebentar pak kita mau minta maaf atas ketidaknyamanan tadi, mungkin ada kesalahpahaman antara bapak dengan petugas kami,” ujar nya ramah. Saya pun tersenyum,” tidak apa-apa pak cuma memang saya agak tidak nyaman dengan pelayanan yang seperti itu,”. Sang juru parkir Medan tadi tetap saja menggerutu dibelakang bosnya hingga terluap emosinya,” bilang aja kau ga ada duit buat bayar parkir banyak kali gaya kau,” kata nya. Saya pun ikut tersulut dan menuju memegang kerah baju sang juru parkir,” santai lah ang mangeceh stek dih Pan**k, aden alah diam ang mangecek juo, apo nio ang ha,” saya pun membalas dengan logat minang khas. Dua orang temannya termasuk utusan manajemen berusaha melerai, lalu ia mengajak saya menjauh. “sudah kau diam disana, biar saya yang bayarkan parkirnya pak,” ujar si manajemen. “tidak usah pak saya ada uang kok tapi tolong bapak ajari petugas bapak cara ngomong yang baik dan benar,” sembari menyalami utusan manajemen saya pun berlalu.
Ini lah yang disebut dengan perkara uang seribu..:D. semoga ada hikmahnya.

Pekanbaru, 20 Agustus 2014

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )