Jurnalis Sesa(A)t



Apa yang terbayang dibenak anda ketika mendengar kata “Jurnalis” ? ya bisa saja anda langsung terbayang dengan sosok orang yang kemana-mana selalu membawa kamera, catatan kecil, dan recorder, juga bisa saja anda terbayang akan sosok seseorang yang suka sekali bertanya alias kepo. Jurnalis adalah salah satu profesi dimana orangnya melakukan tugas-tugas yang dinamakan dengan jurnalistik, mulai dari mencari, mengolah, dan menyajikan berita sehingga bisa dinikmati oleh orang banyak. Mulia bukan? Ya dong tentu saja mulia sekali karena tugas seorang jurnalis adalah memberikan kabar kepada semua orang sehingga orang tersebut menjadi tahu dan memahami segala sesuatu dengan informasi yang akurat (seharusnya), namun dalam kenyataannya ada juga beberapa penyimpangan yang terjadi baik itu berasal dari jurnalis sendiri maupun lingkungannya.
Saya mengenal jurnalis sejak saya bisa membaca koran dan menonton televisi yang menyajikan berita-berita, ya sekitaran sekolah menengah pertama lah. Awalnya saya tidak suka dengan berbagai macam program berita yang ada di televisi karena terasa membosankan sebab waktu itu ada filem-filem kartun yang terasa lebih ringan dan menyenangkan. Mungkin waktu itu saya masih belum memahami arti penting dari sebuah informasi meski beberapa guru di sekolah sering mengingatkan saya untuk tidak hanya menonton filem kartun tetapi juga harus di imbangi dengan berita.

“makanya kalian itu jangan hanya nonton filem tetapi juga harus nonton berita biar melek informasi,” kata salah seorang bu guru ketika saya masih SMP.
Kata-kata itu sering diucapkan oleh bu guru jika ada pertanyaan yang tidak bisa kami jawab. Walapun bu guru sering bilang begitu tetapi tetap saja bagi kami filem kartun lebih menggoda.
Selepas sekolah SMA barulah saya tertarik dengan dunia jurnalistik, hal ini langsung saya buktikan dengan bergabung nya saya dengan salah satu organisasi kampus yang mewadahi minat dan bakat manusia-manusia yang ingin mengenal dunia jurnalistik lebih dalam. Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Genta Andalas. Setelah melalui serangkaian masa orientasi maka kami resmi dilantik menjadi anggota penuh Genta Andalas. Bukan kepalang senangnya ketika mendapatkan kartu pers layaknya kartu-kartu pengenal yang dimiliki oleh wartawan profesional. Maka sejak itu lah saya mulai aktif menjadi kuli tinta, memburu berita seputar kampus maupun diluar kampus karena sesekali tabloid kami juga mengangkat tema dari luar kampus.
Salah satu memory sewaktu masih di Genta Andalas
Banyak pengalaman berkesan bagi saya pribadi selama menjadi wartawan kampus yang tidak akan pernah saya lupakan selama hidup. Hal itu diantaranya adalah ketika saya ditugaskan untuk meliput tentang dugaan adanya praktik salon plus-plus di salah satu pusat pertokoan di kawasan pasar Kota Padang. Saya harus berfikir bagaimana cara agar saya bisa mendapatkan akses untuk mewawancarai narasumber yang notabene mereka adalah pelaku dari praktik tersebut. Untungnya adalah saya punya kawan yang merupakan putra daerah asli Kota Padang maka melalui dia lah saya meminta bantuan untuk mendapatkan akses masuk kedalam tempat pijat atau salon yang berjejer di lantai dua pertokoan. Tantangan itu mampu saya takhlukan dengan mampu untuk menuliskannnya dalam sebuah tulisan narasi yang telah dimuat di tabloid kami. Uniknya adalah orang-orang yang dalam benak saya sebelumnya adalah tidak bersahabat dan susah untuk dikorek informasinya ternyata mereka adalah orang-orang yang sangat bersahabat. Memang kalau dari segi fisik mereka kebanyakan sudah tua namun masih memiliki tingkat kecentilan yang tinggi. Pokoknya asyik deh.
Selanjutnya adalah ketika saya juga diberikan tugas untuk meliput kehidupan para anak jalanan Kota Padang yang kebanyakan adalah anak-anak dengan aliran punk. Waktu itu saya masih ingat kami bersama bang Arif dan Yona ikut dalam liputan, dan betapa kagetnya kami dengan organisasi anak punk Padang yang sangat solid. Mereka bukan hanya sekedar para anak jalanan yang menari dan bernyanyi di lampu merah, tetapi mereka adalah satu kesatuan organisasi yang solid. Tidak hanya di Padang, tetapi mereka punya kepengurusan organisasi seluruh Indonesia bahkan mereka juga punya tabloid buatan mereka sendiri. Misalnya punk Padang membuat tabloid lalu mereka akan bertukar tabloid dengan Punk cabang kota lain. Coba tebak apa isi tabloid mereka? Ya benar sekali isinya adalah penuh dengan coretan tangan dan ada beberapa halaman yang dicetak rapi. Isinya penuh dengan kata-kata perjuangan dan suara-suara idealisme, di beberapa halaman juga saya lihat puisi dan lagu-lagu yang mereka buat sendiri.
Dari semua keterangan mereka yang paling mengejutkan bagi saya adalah beberapa diantara mereka adalah berasal dari keluarga yang kaya raya buktinya mereka memiliki beberapa mobil bagus, hanya karena mereka tidak mendapatkan perhatian dari orang tua makanya mencari kehidupan lain di luar. Kebanyakan orang menilai bahwa punk adalah aliran orang-orang yang anti mandi, mungkin saja ada benarnya juga karena dari keterangan mereka tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar-benar sebuah aliran anti kemapanan.
Selanjutnya adalah pengalaman yang juga berkesan bagi saya adalah dipanggil oleh beberapa petinggi kampus terkait dengan berita yang kami terbitkan di tabloid. Pernah waktu itu saya dan bang Arif dipanggil oleh pembantu rektor II yang waktu itu masih dijabat oleh bapak WDT, beliau ingin bahwa berita yang kami buat tentang BHP agar tidak dimuat karena menurut beliau isinya tidak baik. Namun berkat negosiasi yang alot maka kami tetap bisa mempertahankan bahwa isinya harus kami sampaikan kepada seluruh mahasiswa. Sewaktu saya telah menjabat sebagai pemimpin redaksi di Genta juga pernah dipanggil oleh wakil dekan fakultas sastra yang saya sudah lupa nama bapaknya. Beliau meminta berita kami soal pungutan beasiswa untuk diklarifikasi, namun saya tetap bersikukuh bahwa kami punya bukti kuat bahwa prkatik itu memang terjadi pada masa itu.
Pengalaman-pengalaman berkesan diatas hanyalah sebagian kecil dari pengalaman yang telah saya alami di Genta, hingga akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dengan salah satu radio swasta di Kota Padang mencoba terjun ke dunia jurnalis yang sebenarnya. Radio tempat saya mengasah kemampuan jurnalis saya adalah Radio yang pertama kali saya dengar ketika menginjakkan kaki di Kota Padang. Selain beberapa senior saya di Genta juga ada di sana, hal lain adalah karena Radio tersebut memang lebih banyak berisi muatan news sehingga saya rasa adalah tempat yang bagus untuk belajar tentang jurnalistik. Bergabungnya saya menjadi salah satu reporter di Radio adalah bentuk dari ketidakpuasan saya terhadap kegiatan-kegiatan saya di kampus dan ingin merasakan bagaimana menjadi seorang the real journalist.
Crew Radio
Niat utama saya pada masa itu bukanlah mencari uang dari profesi yang saya geluti sebagai reporter namun lebih kepada ingin mengasah kemampuan karena memang dari segi gaji tentu saja belum memadai. Awal nya saya berlatih dengan reporter senior di Radio merupakan mahasiswa di fakultas sastra UNP. Ia tidak bosan mengajari saya tentang bagaimana melakukan liputan dan melaporkan langsung peristiwa dari tempat kejadian.
Bermula dari sinilah saya mengetahui kehidupan para jurnalis yang sebenarnya, entah ini hanya berlaku di daerah tapi saya juga yakin hal ini berlaku bagi jurnalis-jurnalis yang berada di Ibu Kota Jakarta yang kebanyakan adalah  jurnalis media nasional. Bukan tidak beralasan saya menyebut seperti itu karena penuturan langsung saya dapatkan dari salah seorang jurnalis salah satu media nasional bahwa memang praktik-prkatik penyelewengan yang dilakukan oleh para jurnalis  memang ada benarnya terjadi. Namun beliau menyebutkan bahwa semakin ke daerah praktik tersebut semakin banyak terjadi, karena banyak dari media daerah masih belum stabil dan tidak sehat dalam artian memberikan kesejahteraan kepada para jurnalisnya.
 “ini adalah soal perut, siapa yang bisa menolak urusan perut ketika perut lapar,” kata beliau yang dulunya juga adalah aktivis pers kampus.
Bumbu-bumbu dan doktrin idealisme saya serasa retak seribu mendengar penuturan beliau yang seperti itu, awalnya sih memang saya tidak percaya tapi hari ke hari saya jalani sebagai reporter maka praktik-praktik itu semakin jelas nampak. Hal yang paling klasik dan klasik sekali adalah soal amplop, maka tidak heran ada julukan yang sering kita dengar adalah wartawan amplop. Anehnya julukan tersebut digaungkan oleh kebanyakan insan jurnalistik itu sendiri yang berarti dalam bahasa minang “sia nan bakotek itu nan batalua” hahahahha. Istilah wartawan bodrex pun bermunculan dan saya juga tidak tahu kenapa mereka yang disebut berasal dari media tidak jelas dinamakan bodrex.
Bukan tidak nyata, tetapi memang benar adanya bahwa dalam beberapa kali liputan dan semuanya liputan acara seperti persemian, rapat-rapat dan liputan acara lainnya maka mereka akan ramai datang entah dari media mana. Tidak hanya dengan tangan kosong tetapi mereka juga dibekali dengan kartu pers yang menurut saya itu adalah mereka buat dengan sendiri nya, benar-benar sebuah keberanian yang luar biasa.
Jurnalis Siaga Bencana Kota Padang di Pulau Sikuai
Tidak jarang juga saya mendengar dari beberapa ocehan kawan-kawan jurnalis di Padang masa itu, “kalau parengkeh nyo saketek ndak mantap tu do,”.
Parengkeh? Apa pula itu parengkeh? Itu adalah sebutan lain untuk amplop  yang diberikan oleh empu yang punya acara. Seperti semacam kode rahasia bukan?. Bahkan kadang sampai mereka bertengkar karena tidak kebagian amplop. Hal itu telah saya alami sendiri sebagai penerima amplop dengan alih-alih amplop itu adalah uang transport. Suatu hari saya juga pernah bertengkar dengan salah satu wartawan media jaringan nasional di Padang karena ia merasa saya tidak membagikan amplopnya dengan merata, karena kesal saya sampai berucap kata-kata kotor pada dia yang adalah perempuan.
“kok kami ga dapat? Kami kan juga ikut meliput acaranya,” kerasnya di telepon waktu itu.
Saya yang merasa semua wartawan yang di undang sudah kebagian maka saya tidak lagi mengurusnya yang berarti bahwa ia masuk dalam kelompok yang tidak di undang, dan itu adalah perilaku dari wartawan jaringan media nasional. Tidak hanya ketika liputan acara tetapi juga ketika saya mewawancarai salah seorang informan yang meminta saya untuk tidak meliput salah satu isu krusial dan dialihkan kepada isu lain lalu ketika setelah selesai wawancara maka amplop pun sudah ada di depan mata saya.
“ini untuk beli bensin,” kata nya sambil tersenyum puas. Idealisme pun luluh lantak dan luntur seketika.
Praktik simbiosis mutualisme pun seakan telah menjadi tradisi. Amplop seperti buah simalakama, tidak diterima maka kita akan dibilang sok idealis diterima ya tekanan batin akan terus terasa. Amplop juga menjadi alat untuk menjalin silaturahmi karena dengan amplop maka akan banyak kawan, yang berarti juga banyak info yang akan mengalir. Saya pun terkadang sulit membedakan antara pemburu berita dengan pemburu amplop.
Rutinitas sebagai seorang reporter di Radio saya lakoni hampir selama satu tahun setelah akhirnya saya putuskan untuk berhenti dengan alasan ingin fokus terlebih dahulu menyelesaikan skripsi saya. Diantara pengalaman yang saya dapatkan di radio ada satu pengalaman unik yang juga akan selalu saya ingat adalah ketika saya menggunakan recorder telepon genggam ketika wawancara dan lupa untuk mematikan nada deringnya, alhasil ketika wawancara terjadi dengan gubernur telepon saya berdering yang sempat membuat gaduh suasana. Saya pun dinasehati oleh beberapa wartawan senior agar tidak menggunakan telepon genggam ketika wawancara karena dapat mengganggu teman-teman wartawan yang lain.
Setidaknya saya sudah punya basic apabila saya ingin tetap menjadi jurnalis ketika telah tamat kuliah, itu lah yang saya fikirkan ketika keluar dari Radio. Namun apa yang terjadi ketika saya telah menamatkan kuliah? Apakah saya masih ingin jadi Jurnalis? Ya benar sekali saya masih ingin menjadi seorang jurnalis.

Bersambung......... :)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )