Napak Tilas PJTL Pertama Genta Andalas (Bag.2)



Entah berapa hari, entah sudah hitungan minggu entah itu sudah bulanan saya tidak menulis, seperti biasa selalu ada aktivitas lain yang harus dilakukan, ditambah lagi dengan libur lebaran yang cuma ada sekali dalam setahun. Bahkan permainan favorit di hape tidak saya sentuh ketika libur lebaran, alhasil level saya menurun drastis. Tetapi kali ini saya tidak akan bercerita mengenai permainan favorit melainkan saya akan meneruskan bagaimana Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) pertama Genta Andalas dilaksanakan.
Rapat proker masih berlangsung, kami bingung dengan perkataan Andrea, sepertinya ia serius dengan ucapannya karena selama ini kami kru Genta hanya sebagai peserta di berbagai PJTL yang diadakan Pers mahasiswa lain. Misalnya Andrea yang pernah datang ke Medan untuk ikut salam ulos di Suara USU, atau Yoga yang pernah datang ke lampung mengikuti PJTL bersama Teknokra, dan Saya dengan Eni yang datang ke Pekanbaru untuk menghadiri PJTL bersama kawan-kawan Bahana Mahasiswa.
“kita berangkat dari sebuah pengalaman yang telah kita alami sewaktu kita mengikuti PJTL, maka kita juga harus bisa menyelenggarakannya,” tukas Andrea. Setelah pembahasan yang cukup alot maka rencana untuk mengadakan PJTL tidak dicantumkan sebagai prioritas utama dalam program kerja kami.

Wajah Andre sedikit kecewa, dia memang terkenal ambisius dengan apa yang telah ia rencanakan. “jika tidak terlaksana pada periode ini maka periode tahun depan harus dilaksanakan,” semangatnya. Tidak terasa waktu magrib sudah masuk, kami menyudahi rapat program kerja yang cukup menegangkan. Tidak jarang juga kami kembali larut malam dari sekre karena melakukan beberapa kegiatan. Genta dibawah komando Yoga berjalan dengan baik, tabloid-tabloid yang semula harus dibeli oleh mahasiswa seharga 1000 rupiah sekarang dibagikan secara gratis untuk menarik lebih banyak pembaca. Banyak pembaca berarti banyak pengaruh. Beberapa program tetap terlaksana dengan baik, mulai dari pengkaderan anggota baru, pelatihan dasar jurnalistik, pekan jurnalistik dan beberapa kegiatan lainnya. Hubungan sesama pers mahasiswa juga cukup baik ditambah dengan di deklarasikannya Asosiasi Pers Mahasiswa Sumatera Barat dimana Yoga ditunjuk sebagai salah seorang deklarator.
Genta memang menyibukkan kami dengan segala aktivitas yang tiada matinya, hingga kami lupa bahwa setahun telah berlalu dan saatnya pergantian nahkoda dilakukan. Seperti biasa kami kembali melakukan musyawarah besar Genta Andalas di ruang studio PKM  Lt. 02. Suasana hiruk pikuk sidang kembali melahirkan seorang nahkoda baru, pemimpin baru itu adalah saya. Haru biru menyelimuti diri, tanggung jawab besar di depan mata. Siklus itupun kami mulai lagi dari awal, membentuk awak baru dan merencanakan program-program baru.
Oh ya....sewaktu diminta untuk keluar ruangan sidang, saya dan andrea sempat berbincang-bincang. Ia masih teringat dengan program yang dulu tidak terlaksana, mengadakan rangkaian acara PJTL untuk pertama kalinya. “jika sebelumnya kita belum bisa, maka saat ini adalah waktu yang tepat,” ia menghisap rokoknya dalam. Saya pun tidak berani memberikan janji bahwa kegiatan tersebut akan berlangsung dalam masa kepengurusan saya, tetapi saya mengatakan bahwa tidak ada yang tidak mungkin.
Secara resmi kami telah dilantik dan mulai memilah kembali program kerja prioritas yang akan dilakukan, saya kembali mengingatkan memori lama kepada pemimpin litbang yang baru bahwa kami pernah berencana untuk melaksanakan PJTL untuk pertama kalinya. Manusia itu adalah Arga, yang punya 1001 ide tetapi jika sisi perempuannya muncul maka tidak akan ada satupun yang berani mendekat...hahahaha...piss Arga. Tema acara telah ditentukan, “Jurnalisme Budaya” yang mungkin tidak ada arti yang pasti tetapi kami menganggap bahwa menulis tentang kebudayaan amat diperlukan. Walaupun pro dan kontra rencana pelaksanaan PJTL terus mengalir saya dengan mantap meyakinkan kawan-kawan bahwa kali ini adalah saat yang tepat.
Saya masih bisa merasakan bagaimana suasana diskusi kami hingga malam hari membahas mengenai konsep acara dan berbagai persiapan yang akan dilakukan. Bagi saya satu suara adalah sebuah kekuatan untuk mengalahkan rasa keraguan yang timbul, saling memberi semangat akan menepis rasa ragu. Esoknya saya melihat Arga menenteng sebuah gulungan kertas karton warna putih, “nantinya kita akan membuat kalender kegiatan PJTL disini, sehingga kita tahu progress persiapan kita PU,” ide Arga membuat saya kagum. Semua anggota paham yang dimaksud oleh Arga, ia memetakan dengan rinci, semua panitia tahu kapan harus bergerak dan kapan harus selesai. Kami masih ingat dengan jelas bahwa perkiraan anggaran yang dibutuhkan cukup banyak, lebih kurang sebesar 20 juta rupiah setelah dihitung oleh bagian keuangan. “kita butuh sponsor banyak dan besar,” tegas Dini.
Semua lini panitia diberikan kebebasan bekerja dan memberikan laporan setiap minggunya, lihat saja Yusran dengan beberapa kawan lain selaku panitia acara yang gesit melakukan lobi-lobi dengan berbagai narasumber yang kami anggap kompeten untuk memberikan materi sewaktu pelatihan. Tangan-tangan gemulai Rian memberikan nuansa apik dalam poster dan undangan yang kami buat. Kerja mulai menampakkan hasil, saya melihat kami bekerja sebagai sebuah tim. Hari demi hari berlalu, kami masih sibuk mempersiapkan berbagai persiapan demi terlaksananya PJTL pertama Genta Andalas. Lebih kurang enam bulan kami berjibaku hingga mencapai titik dimana kami mulai menghadapi beberapa permasalahan. Proposal-proposal yang telah kami sebar tidak kunjung membuahkan hasil, kas menipis.
Suatu sore salah seorang panitia bagian dana menumpahkan keluh kesahnya kepada saya,”maaf PU, kami tidak bisa bekerja dengan maksimal sehingga kita masih kekurangan cukup banyak dana,” ia meneteskan air mata. Kening saya mengkerut, diam sejenak, “bagaimana kalau kita cetak kembali proposal dan mencoba alternatif lain sehingga kita bisa mendapatkan dana yang cukup,” saya memberi ia semangat. Selepas sore yang haru saya meminta panitia inti untuk berkumpul di sekre esok harinya guna membahas kesiapan kami. Semuanya hadir tidak satupun yang izin, kecuali ada satu atau dua yang terlambat, kami maklum bahwa genta bukanlah prioritas melainkan kuliah adalah pioritas kami ke kampus. Ditengah-tengah diskusi saya menyarankan untuk mengubungi alumni-alumni Genta Andalas yang telah bekerja diberbagai tempat untuk dapat membantu kelangsungan acara. “saya akan membuat grup kita di facebook, lalu meminta beberapa alumni untuk turut berpartisipasi, “ berusaha menyemangati kawan-kawan yang sepertinya sudah mulai pesimis. Hari itu lahirlah grup keluarga besar Genta Andalas yang masih eksis hingga sekarang.
Langkah untuk menghubungi alumni membuahkan hasil, kami mendapatkan dana segar untuk membuat proposal kembali lalu menyebarkannya dengan strategi baru agar proposal kami tidak terbuang percuma. Dua bulan menjelang acara, undangan telah kami sebar ke beberapa pers mahasiswa mencakup pulau sumatera, jawa hingga sulawesi. Satu persatu balasan konfirmasi kehadiran telah kami terima, peserta kami targetkan hanya berjumlah 20 orang agar diskusi berjalan dengan baik. Jumlah peserta melebihi ekspektasi kami.
Saya dan Arga kembali melihat progress di kalender kegiatan, kami berdiri di depan kalender dan arga menjelasakan dengan seksama, dua bulan sebelum acara berlangsung seharusnya yang tinggal hanyalah persiapan teknis, tetapi ternyata tidak demikian adanya. Kami masih memiliki banyak kekurangan terutama soal dana yang masih sangat amat jauh dari perkiraan. Pada suatu rapat, panitia bagian dana menyampaikan bahwa hingga satu bulan menjelang acara kami hanya memiliki dana sebesar lima juta rupiah, minus 15 juta dari perencanaan semula. Rasa pesimis jelas tergambar, tetapi saya dan Arga tetap berusaha menyemangati kawan-kawan yang mulai kehilangan semangat. Alhasil dengan dana yang ada kami berusaha memutar otak bagaimana melakukan efisiensi dengan sebaik-baiknya. Beruntungnya kami mendapatkan souvenir secara gratis, termasuk aksesoris opening acara yang kami dapatkan dengan cara meminjam. Saya pun melakukan lobi dengan rektor untuk mendapatkan izin menggunakan bus kampus secara gratis, tetapi tetap harus membayar biaya makan supir, berkat kenal dengan beberapa supir saya tidak mengalami kesulitan berkomunikasi dengan mereka.
Panitia bagian perlengkapan juga memutar otak untuk mencari penginapan, kami mendapatkan sebuah penginapan sederhana dan cukup murah dengan negosiasi yang cukup lama. Semua persiapan teknis telah kami persiapkan, satu persatu peserta undangan mulai berdatangan, saya masih ingat dengan sangat bahwa yang datang pertama kali adalah Abdul H Nasution dari Aklamasi UIN Riau, yang sekarang beliau masih menjadi teman baik saya. “saya bingung bagaimana cara kalian bisa mendapatkan anggota sebanyak ini,” kata Hamid waktu itu kami berkumpul di pustaka pusat dalam rapat terakhir sebelum gelaran acara dimulai.
Persiapan kami juga tidak lepas dari sosok yang bernama Andrea, dengan senang hati membantu kami dalam hal transportasi, ia dengan sigap menjemput beberapa peserta di terminal dengan mobilnya. Beberapa perlengkapan makannya juga kami pinjam. Bahkan Andrea rela mengantarkan beberapa panitia berikut dengan persiapan alat masak dengan mobilnya ke Kota Bukittinggi. Tanpa kami bayar sepeserpun.
Acara pembukaan secara sederhana dimulai, saya melihat Arga tertunduk lesu diluar ruangan, mukanya pucat badannya panas ia tertunduk lesu. “sepertinya kita akan gagal PU,” lemas Arga. Saya menarik nafas, memahami kondisi Arga  karena saya tahu bahwa ia jatuh sakit bisa saja disebabkan persiapan acara kami yang amat menguras tenaga dan fikiran. Setelah pembukaan acara selesai kami berangkat bersama dengan menggunakan bus kampus menuju Kota Bukittinggi. Beberapa diantara peserta yang datang adalah dari Jakarta, Lampung, Riau, dan Medan, mereka terlihat bersemangat sekali. Saya juga melihat raut wajah kecewa dari Yusran yang gagal mendatangkan pemateri sesuai rencana semula sehingga kami harus menggantinya dengan pemateri yang juga tidak kalah berkualitas. Terkait dengan pemateri saya mendengar beberapa komentar miring dari peserta, tetapi tidak saya hiraukan karena hanya akan membuat kami patah semangat. Pada bagian ini ada beberapa hal yang tidak pantas saya sebutkan tetapi telah kami lakukan demi penghematan.
Singkatnya rangkaian demi rangkaian acara telah kami lalui dengan cukup baik, kami bertolak menuju Batusangkar yang dikenal sebagai salah satu kota budaya untuk mengakhiri rangkaian acara. Sebelum berangkat menuju Batusangkar, saya mengajak beberapa orang panitia berkumpul di sebuah kamar. Itu adalah pagi yang tidak akan saya lupakan, “kas kita sudah minus PU, kita tidak punya lagi cadangan dana bahkan untuk makan siang peserta nanti sepulang dari sini,” ujar salah seorang panitia. Saya tertunduk lemas, pikiran saya kacau dan kalut. Air mata saya pun menetes. “kita harus tetap tenang, kita bisa manfaatkan dulu dana pinjaman nanti kita pasti akan dapat mengembalikan kas kita,” getir saya begitu yakin. Setelah sarapan bersama kami pun mengakhiri rangkaian acara di Kota Batusangkar, di sebuah pohon beringin rindang tidak jauh dari Istano Basa Pagaruyung.
Kami selaku tuan rumah tidak segan meminta kritikan dan saran dari peserta. Beberapa diantara mereka memberikan apresiasi dan ada juga yang memberikan kritikan, tetapi pada intinya mereka memahami bahwa kami dalam proses belajar dan baru pertama kali. “kami maklum ini adalah kegiatan kalian pertama kali dan terima kasih kami telah diundang, makanannya enak-enak walapun kami tahu kalian dalam kesulitan tetapi kalian berhasil mengadakan sebuah acara yang kita tahu bersama adalah tidak mudah untuk dilaksanakan,” ujar salah seorang peserta dari Medan. Semuanya bertepuk tangan, saya melihat senyuman merekah dari kami semua. Beberapa panitia juga tidak keberatan membantu para peserta mendapatkan tumpangan tempat tinggal sementara sebelum para peserta kembali ke tempat tinggalnya masing-masing.
Lalu bagaimana dengan kas kami yang minus? Tidak butuh waktu lama kami mampu mengembalikan kas tersebut secara utuh bahkan melebihi target plus sebuah kamera DSLR pertama Genta Andalas. Sebuah pelajaran yang benar-benar berharga telah kami dapatkan. Kami adalah Genta Andalas di PKM sayap kanan Lt. 02.
“tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh keluarga Genta Andalas yang telah berusaha dengan keras sehingga kegiatan ini terselenggara dengan baik”
Teluk Kuantan, 01 Agustus 2015



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )