Karto Yang Malang



Masih segar dalam ingatan saya tentang kisah pilu tadi siang. Kisah dimana mengajarkan betapa pentingnya nilai hati-hati harus disematkan dalam sebuah kepercayaan. Sebut saja nama bapak itu Karto dan temannya bernama Herman. Siang itu Karto dan dua orang anaknya tengah memanen di kebun sawit yang telah ia beli dari Herman sepuluh tahun yang silam. Memang Karto selama ini mengenal Herman adalah orang yang baik, jujur dan dapat dipercaya, lagian tidak ada yang akan menaruh prasangka buruk kepada seorang Herman karena dia merupakan orang yang cukup terpandang di desanya. Dalam kesehariannya, Herman banyak bergaul dengan warga sekitar, ia ikut dalam rapat desa, gotong royong bahkan Herman juga dikenal sebagai seorang yang taat dalam beribadah. Tidak heran bahwa ia memilik banyak teman karena tingkah lakunya yang baik, bahkan untuk menunjukkan status sosialnya dimasyarakat, ia memiliki benda-benda dan rumah dalam kategori mewah. Soal kebun sawit Herman punya puluhan  hektar lahan sawit yang lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya.
Salah seorang anak Karto tengah memanen buah sawit
Suatu hari, Karto dan Herman tengah berbincang di kedai kopi tempat biasa mereka menghabiskan waktu sore menjelang malam,“disini kopinya enak Man, apalagi pisang gorengnya,”awal mula perbicangan. Mereka berdua pun memesan segelas kopi dengan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Baunya khas wangi kopi arabika dengan gelas keramik berlukis bunga teratai. Karto dan Herman terlibat pembicaraan yang kadang serius kadang juga dipenuhi gelak tawa, mereka terlihat benar-benar menikmati sore yang indah di desa yang cukup jauh dari keramaian hiruk pikuk perkotaan. “To, bagaimana kalau kamu beli kebun aku agak dua hektar?, aku lagi butuh uang untuk buka usaha,” mulut Herman asik mengunyah pisang goreng. Karto tidak langsung menjawab, ia menarik cangkir kopinya lalu meneguk satu dua tegukan,“ahhh,,enaknya..kamu mau jual berapa Man? Kebetulan saya mau beli kebun juga,” balas Karto. Dengan perdebatan dan tawar menawar yang cukup alot maka mereka sepakat dengan harga 50 juta rupiah untuk dua hektar lahan kebun sawit dengan tanaman yang masih berumur sekira tiga atau empat tahun. Sudah berbuah pasir. Keduanya sama-sama senang karena merasa saling untung.
Sejak itu Karto sering bolak balik ke kebun yang baru saja ia beli dari Herman, ia sepertinya sangat menyayangi kebunnya, kadang ia rela pulang agak sore demi merawat kebunnya. Surat tanah sudah ia simpan walaupun masih atas nama Herman, tidak masalah pikirnya. Tiga tahun berlalu, persahabatan mereka masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, barangkali tiga hingga empat kali mereka menikmati kopi bersama untuk sekedar berbincang-bincang. Hasil panen kebun Karto sudah lumayan, cukup untuk menghidupi ia dan anaknya serta membangun sebuah rumah untuk keluarganya. “kebun kamu sudah bagus sekarang ya To, udah bisa menghasilkan banyak uang,” puji Herman. Karto pun hanya tersenyum. Usaha toserba Herman pun tidak kalah maju, sekarang ia akan membangun sebuah toko yang lebih besar dari biasanya, tetapi ia masih belum memiliki cukup uang.
Seperti biasa mereka berdua berbincang lagi di kedai kopi yang sama, kali ini Herman membujuk karto untuk meminjamkan surat tanah yang telah ia jual dengan alasan untuk mengembangkan usaha. “To, kebun kamu kan sudah maju sedangkan saya masih butuh uang untuk bangun toko, saya mau pinjam surat tanah kebun itu bisa kan?”, bujuk Herman. Awalnya Karto ragu karena Herman tidak menjelaskan untuk apa surat tanah itu ia pinjam, tetapi tingkah laku dan kebaikan Herman selama ini menepis rasa ragunya dengan begitu cepat, namun Karto juga tidak bodoh. “baiklah, tetapi saya dapat apa?”, timpal Karto. Sebagai gantinya Herman merelakan surat tanah toko beserta rumah ia berikan kepada Karto sebagai jaminan atas pinjaman surat tanah kebun. Setelah perbicangan itu mereka masih terlibat beberapa kali pertemuan dan Karto pun masih sibuk dengan kebunnya.
Toko herman sekarang sudah besar dan dibuat bertingkat dua dengan rumah diatasnya. Waktu terus berlalu, Karto sudah jarang bertemu dengan Herman karena sering mendengar herman pergi ke luar daerah. Ia tidak curiga karena memang  biasanya Herman membeli alat-alat toko diluar daerah. Lama-kelamaan Herman makin jarang pulang, mereka tidak lagi minum kopi bersama, usaha toserba Herman juga terlihat menurun drastis hingga akhirnya tutup. Karto mulai cemas dan mencari informasi keberadaan herman kepada isterinya, “katanya sih di daerah lembah catir, dia punya isteri baru disana,” jawab isteri pertama Herman.
Hingga suatu hari setelah sepuluh tahun merawat dan memanen kebun kesayangannya, Karto didatangi beberapa orang yang berpakaian rapi lengkap dengan alat tulis dan kamera. “permisi pak, saya mau nanya benar ini kebunnya Pak Herman?,” tanya pemuda itu ramah. “iya benar pak, ada apa ya,” Karto amat penasaran. Dua anaknya yang tengah memanen buah sawit pun ikut menghampiri, “perkenalkan pak, nama saya Sapta dari bank dan dua teman saya lagi akan menilai kebun bapak untuk kami lelang,” jawab Sapta. Terkejut bukan kepalang, Karto terdiam, sorot matanya berubah layu dan ia seperti kehilangan semangat. Seketika ia teringat beberapa tahun silam Herman pernah meminjam surat tanahnya.
Walaupun tidak keberatan kebunnya dinilai, tetapi jelas sekali bahwa Karto merasa sangat menyesal dan merasa tertipu. Ia tidak berheti bertanya kepada Sapta tentang bagaimana nasib kebunnya,”malangnya nasib ku pak..pak..aku tertipu selama ini, sekarang ludes sudah kebunku,” lirihnya. Sapta coba tetap menengkan Karto, “bapak sabar dulu jika bapak nanti bisa menebusnya akan lebih baik”. Tetapi Karto mengaku tidak memiliki uang yang cukup untuk menebus harga sesuai dikatakan oleh Sapta. “tidak punya uang saya pak,” matanya berbinar.
Penilaian telah selesai dilakukan, Sapta meminta izin dan berterimakasih kepada Karto yang telah membantu. Belum jauh Sapta berlalu, tiba-tiba ia mendengar suara Karto memanggilnya dari belakang sambil berlari-lari. “pak..pak, jadi bagaimana nasib saya ini? saya masih boleh memanen kebun ini apa gimana?,” nadanya sudah terbata-bata dan nafasnya sesak. “masih boleh kok pak, bapak rawat saja seperti biasa yang bapak lakukan,” senyum Sapta. Karto menyalami Sapta untuk yang kedua kalinya sampi mengucap terima kasih berulang kali. *NB

Teluk Kuantan, 08 Agustus 2015

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )