A Dog Bites
Sekarang
lagi demam voli dimana-mana orang-orang bercerita tentang bola voli, bahkan aku
yang tidak suka dengan bola voli ikut-ikutan membicarakan tentang salah satu
olahraga bola tangan dengan enam pemain. Sebab musababnya adalah turnamen bola
voli yang tengah berlangsung di kampung saya. Turnamen antar desa yang digelar
setiap sore begitu terasa bergengsi apalagi jika ada pemain dari luar daerah
yang ikutan bermain. Setiap sore hampir seluruh masyarakat tumpah ruah menonton
pertandingan bola voli, tidak peduli laki-laki atau perempuan, anak-anak hingga
orang tua. Sorak sorai penonton terus bergemuruh apalagi melihat smash para
pemain mengenai kepala pemain lawan, “mati, kanai kapalo ang,” umpatan-umpatan
penonton.
Apabila
musim bola voli datang semua desa bergiliran mengadakan turnamen bola voli,
bahkan saya dan beberapa kawan rela pergi ke desa yang cukup jauh hanya untuk
menonton bola voli. Waktu itu anak-anak seumuran saya ingin menjadi pemain
voli, bahkan olahraga kasti yang biasanya dilakukan setiap jam pelajaran
olahraga berganti dengan bola voli. Kami juga membuat jaring net sendiri dari
tali plastik lalu merentangkannya di halaman sekolah, sebelum jam pelajaran
dimulai kami sempatkan bermain bola voli, jam istirahat, ketika pulang hingga
sore hari. Tidak sedikit juga beberapa orang teman saya loncat loncat sendiri
menirukan gaya pemain voli ketika melakukan smash, ventilasi pintu kelas sering
jadi korban loncat-loncatan mereka. Pokoknya setiap mau memasuki kelas harus
jalani dulu ritual loncat-loncat ala pemain voli menyentuh ventilasi. Tidak
hanya itu kami juga pernah mengadakan turnamen kecil-kecilan yang hadiahnya
sebungkus keripik pisang.
Tetapi
cerita indah musim bola voli berubah menjadi malapetaka bagi saya karena
insiden yang tidak akan pernah saya lupa seumur hidup. Saya digigit anjing.
Begini ceritanya, seperti biasa setiap sore kami selalu bermain bola voli di
lapangan yang sengaja kami desain di tepi sungai. Sehingga kerap kali juga kami
berenang mengejar bola ke sungai. Saya dan beberapa orang teman sepakat akan
bermain voli sepulang sekolah, maksud kami ingin datang lebih awal agar dapat
giliran bermain pertama maklum banyak anak-anak sebaya saya yang juga akan ikut
bermain. Sesampainya dirumah saya langsung berganti baju, ibu menyuruh saya makan
siang tetapi saya menolaknya bukan karena masih kenyang tetapi karena ingin
cepat sampai di lapangan voli. “ga usah nanti saja bu”, saya sudah berlari
menuju lapangan voli yang lumayan jauh dari rumah. Perut yang lapar tidak saya
hiraukan asalkan dapat bermain pada giliran pertama.
Dilapangan
voli saya melihat teman-teman sudah berkumpul, beberapa orang sedang memasang
net dari tali plastik buatan kami. Taruhan berupa minuman ringan disepakati,
lalu saya bermain pada giliran pertama. Saya memang tidak suka bermain voli
karena tidak dapat sama sekali feelnya bermain bola voli, hasilnya sangat
jarang teman yang ingin satu tim dengan saya. Benar saja, kami kalah dan saya
menjadi bahan makian karena bermain buruk. Saya pun tidak mau ambil pusing,
perut saya lapar lalu saya berniat membeli mi instan untuk dimakan langsung
tanpa direbus. Makanan biasa kami waktu kecil yang sebenarnya jauh dari kata
sehat. Karena tidak ada teman yang mau ikut membeli mie, saya terpaksa berjalan
sendiri menyusur gang sempit menuju warung.
Dari
ujung gang saya melihat seekor anjing yang sedang menyusui beberapa ekor anaknya
yang masih kecil. Ibu anjing rupanya. Awalnya saya ragu, karena gang tersebut
begitu sempit diapit dua bangunan yang cukup tinggi, ragu karena bisa saja
anjing tersebut merasa terganggu dan menggigit saya. Tetapi karena
cacing-cacing dalam perut semakin nyaring, saya memberanikan diri melewati gang
sempit dengan resiko berhadapan dengan ibu anjing yang sedang menyusui anakya.
Sebenarnya saya bisa saja mengambil jalan memutar lewat gang sebelah, tetapi
warung gang itu menjual mie instan lebih mahal dua ratus rupiah. Agak gugup
saya melewati jalan sempit berkerikil mendekati Ibu anjing saya semakin gugup
ingin rasanya berbalik tetapi tetap saya beranikan. “grrrrr...grrrr...grrrrr...”,
begitu kira-kira suara ibu anjing, matanya merah melihat tajam saya. Mencoba tetap
santai dan ketika saya berjarak kira-kira setengah meter dengan ibu anjing,
tiba-tiba anjing itu berdiri dan meloncat ke arah saya, spontan saya ketakutan
lalu meloncat jauh. Malang gigitan sang anjing sudah menempel di celana jeans
pendek saya, tidak tinggal diam lalu saya tendang hingga ia agak menjauh.
Kesempatan melarikan diri saya coba melompat ke arah warung tetapi malam anjing
itu dengan sigap menyambar betis saya, dan kali ini giginya melekat di betis
kanan saya hingga saya berteriak keras dan merigis kesakitan.
Beberapa
orang datang mencoba melempari anjing itu. Saya tidak sadarkan diri, yang saya
tahu darah mengucur deras dari betis kanan hingga telapak kaki, saya di gendong
dan dibawa ke puskesmas. Malangnya puskesmas sudah tutup, hingga akhirnya di
bawa ke bidan yang ada di dekat rumah. Isak tangis orang yang melihat saya
dengar, termasuk tangisan ibu saya. Bekas gigitan anjing dicuci bersih dengan
air sumur mengalir, lalu dengan lihai ibu bidan menjahit luka saya. 32 jahitan.
Saya masih setengah sadar, tiba-tiba sang pemilik anjing ikut datang dan
mengatakan “untungnya itu bukan anjing gila,”. Saya Lega.
Teluk Kuantan, 15 Juni
2015, 19.55 WIB.
Comments
Post a Comment