Selamat Wisuda Lusi!

Jam pelajaran baru saja usai, aku masih menunggu seorang teman yang belum keluar dari ruangannya. Berbeda dengan ku jika bel jam pelajaran usai maka secepat kilat juga aku mengemas barang lalu segera menuju pintu keluar. Beberapa anak mendatangi master, sebutan untuk para pengajar bimbingan belajar. Kebanyakan dari mereka yang mendatangi master adalah anak-anak perempuan, kalau adapun laki-laki pasti dia teman si perempuan itu. Belajar di bimbingan belajar jauh berbeda dengan di bangku sekolah, bimbel lebih kepada belajar instan yang penting mudah dipahami dan lebih banyak trik untuk memecahkan soal sehingga terlihat lebih mudah. Terkadang pada saat jam pelajaran musik-musik mozart diputar yang katanya bisa meningkatkan kecerdasan otak, tapi bagi ku cuma membuat ngantuk, zzzZZZZz. Pernah sekali, aku mencoba rumus bimbel waktu jam pelajaran fisika di sekolah bukannya pujian yang aku dapat, malah guru fisika marah bukan kepalang. “pakai rumus sesuai buku, itu namanya jalan pintas,” geram sang guru. Aku hanya mangut-mangut menahan kesal.
Tidak berapa lama aku melihat Riki tergopoh-gopoh keluar dari ruangan belajar, “kok lama? Konsul sama master dulu?,” ledekku. Riki tertawa kecil, “ayok pulang tapi kita mau ketemu seseorang, ada yang mau dititip buat si Dimas, mungkin pacarnya,” kami pun meninggalkan halaman gedung bimbel. Sekira lima puluh meter dari tempat bimbel kami bertemu dengan seorang perempuan sebaya kami, ia mengenakan bando di kepala, cardigan warna biru, kulitnya putih, rambutnya ikal agak pirang mungkin terkena cahaya matahari, dengan sedikit kikuk ia menyapa kami, “kalian temannya Dimas kan?, tolong ya kasih ini sama Dimas, dia minta kemaren,” perempuan itu memberikan satu kantong berisi makanan tradisional. Kami baru tau bahwa perempuan itu adalah Lusi, setelah Dimas memberi tahu kami.

Sesampainya di kosan kami memberikan bungkusan berisi makanan kepada Dimas, “ayok dibuka aja, makan bareng-bareng biar asik,” basa basi Dimas. Alhasil kami menghabiskan sore sambil menyantap oleh-oleh yang dibawa oleh Lusi. Setelah perkenalan itu, aku tau bahwa Lusi memang tengah dekat dengan Dimas, tentunya agak tidak berani juga berteman dengannya, soalnya nanti silap-silap bisa dibilang makan punya kawan sendiri.
Masa-masa bimbel hampir berakhir, itu artinya ujian masuk perguruan tinggi semakin dekat. Entah kenapa semakin dekat dengan ujian hubungan aku dengan Lusi juga semakin dekat, dalam artian bahwa kami berteman dengan baik. Aku tau bahwa ia tidak lagi dekat dengan Dimas, jadi aku lebih leluasa untuk berteman dengannya, tanpa menanyakan apa sebab ia tidak lagi dekat dengan Dimas. Kami sering berkirim pesan, sesekali menelepon bertanya kabar dan bercerita tentang rencana jurusan yang akan kami ambil ketika ujian nanti. Kedekatan selalu menciptakan hubungan emosional, begitu juga dengan kami karena mungkin seringnya komunikasi yang terjalin. Lusi bagiku adalah tipe perempuan yang unik, bagaimana tidak? Kadang ia amat ceria, kadang sedih mendalam, kadang ia berapi-api, kadang ia juga tertunduk lesu, tetapi apapun itu pasti ia akan selalu menceritakan kepada ku. Hal yang sama juga akau lakukan tentunya.
“menurut kamu jurusan apa yang tidak ada pelajaran matematika?,” tanyaku padanya suatu malam. Seperti biasa ia terkekeh sebelum menjawab,” lho kok gitu,? Ambil jurusan sosial saja, tetapi kamu kan anak eksak,” balasnya. Maka jadi lah aku mengambil dua jurusan sosial dan satu jurusan eksak ketika ujian masuk perguruan tinggi.
Beberapa hari sebelum ujian, kami bertemu, bermaksud ingin pergi bersama sebuah acara motivasi yang diadakan pihak bimbel sebelum ujian. Sebenarnya aku beruntung karena  tidak tahu lokasi acara, alih-alih menemani dia, aku juga tidak akan tersesat tentunya..hahahaha. Kembali hari itu ia mengenakan cardigan biru dengan kaos putih plus bando, terlihat amat cantik. Dari kejauhan ia melempar senyum, “sudah lama ya?,” basa basi ku. Ia tersenyum,” belum kok, santai aja,” dia mengajak ku duduk di kursi halte. Cukup lama juga kami menunggu bus, suasana agak hening karena memang biasanya ditelpon kami lebih berani bicara, aku berusaha memecah suasana,” menurut kamu nanti tamat tahun berapa ya kita?,” pertanyaan ga penting pun muncul dari mulut ku. Agak lama juga ia menjawab, “nanti mungkin sekitar tahun 2012, itupun kalau kita disiplin kuliah,” jawabnya sembari tertawa. Aku semakin memberanikan diri, “kalau memang kita tamat tahun 2012 kita bakalan ketemu lagi kan disini,” basa basi lagi. Ia hanya mengangguk tersenyum tanda setuju, dalam hatinya mungkin terpikir “ini anak ngomong apaan sih”..hahaha.
Bus kami datang, ia terlebih dahulu naik di pintu depan aku mengikutinya tetapi malang sang kondektur menyuruh aku masuk lewat pintu belakang, memang begitulah aturannya, laki-laki lewat pintu belakang. Aku memang buta sama sekali tidak tahu tempat acara, tetapi tidak lama ia meminta turun pada supir, aku pun ikut loncat keluar bus. “wahhh....kelewat ini,” tawanya, akhirnya kami berjalan kaki beberapa meter. Sesampainya di tempat acara aku melihat sudah banyak anak-anak sebaya ku yang datang memenuhi ruangan, kami pun mendengarkan motivasi-motivasi dari beberapa alumni kampus terkenal di negeri ini. Paling tidak mereka tidak mengatakan bahwa ujian itu sulit, selalu ada cara. Selepas acara kami tidak pulang bersama, ia memilih pergi dengan temannya dan begitu juga aku. Tetapi kami kembali berjumpa malam harinya di telepon, kali ini diskusi kami alot, “yakin mau kuliah disana, ga mau kuliah disini,” ia berencana mengambil jurusan Administrasi Niaga di Universitas provinsi tetangga. Aku berteguh untuk tetap tinggal dengan mengambil pilihan di kampus kota kami. Sebenarnya kami tahu bahwa jika lulus nanti barangkali tidak akan bertemu lagi, sedikit duka memang malam itu tetapi demi masa depan yang lebih baik.
Hari itu pun datang, aku mengirim pesan penyemangat pada nya sebelum berangkat ujian, kembali ia balas dengan pesan yang sama. Cukup menegangkan memang ujian waktu itu, soal-soalnya menurut aku cukup sulit untuk dipecahkan ditambah dengan empat orang pengawas yang selalu mondar mandir. Bisa dibayangkan isi kelas cuma 25 orang tetapi yang mengawasi ada empat orang. Beberapa kali aku ke keluar ruangan sekedar mencari angin segar, tentunya tidak semua soal aku jawab karena sanksi pengurangan poin berlaku.
Ujian telah berakhir, kami harus menunggu paling tidak tiga minggu untuk menunggu pengumannya, hingga suatu malam ketika aku berada di kampung ia menelepon, “hey, kamu lulus Jurusan Administrasi Negara dan aku di Administrasi Niaga,” jelas sekali bahwa ia tengah senang mendengar kelulusan kami. Memang sebelumnya aku meminta ia untuk membantu melihat kelulusan ku di internet, karena  memang kampungku belum dialiri oleh internet yang cepat. Tidak sabar rasanya menunggu koran esok pagi untuk melihat nama ku menempel sebagai salah seorang peserta yang lulus ujian. Benar saja yang ia bilang semalam, aku lulus. Sebenarnya  di satu sisi aku senang degan kelulusan kami, namun disisi lain aku sedih karena harus berpisah dengan dia, teman baikku. Mungkin hubungan ini tidak lagi layak disebut dengan pertemanan, karena begitu kuat hubungan emosional yang terjalin tetapi tidak juga mengarah kepada yang anak zaman sekarang bilang “pacaran”. Tidak kami tidak begitu.
Menjelang keberangkatannya ke provinsi sebelah, kami sempatkan bertemu sekedar untuk melepas rindu. Sebelum bertemu dengannya aku membelikan sebuah gantungan kunci yang diukir, berwarna merah hati. “meskipun ini tidak seberapa, tetapi tolong simpan siapa tahu kita berjumpa lagi,” aku memintanya menerima.
Beberapa bulan setelah kami berpisah memang masih terjalin komunikasi yang intens, masih seperti biasa hingga ia mempunyai seorang lelaki pujaan hati, aku pun tidak mau kalah. Terus menelisik siapa lelaki yang mendekatinya ternyata adalah teman ku sendiri, Bayu. Walaupun cukup membuat kaget tapi aku tidak terlalu mempermasalahkan dia yang menjalin hubungan khusus dengan Bayu. Semenjak itu kami lagi menjalin komunikasi, tidak ada lagi pesan singkat, tidak ada lagi telponan, tidak ada lagi surel email. Tetapi aku masih menganggapnya sebagai teman yang baik dan menyenangkan.
Tahun 2012 berlalu, belum ada tanda-tanda bahwa kami akan keluar dari kampus dengan gelar sarjana, aku pasrah mungkin tidak akan lagi bertemu dengannya. Kampus begitu menyakitkan, sehingga kami punya istilah, “masuk gampang keluar susah”. Menginjak pertengahan tahun 2013 aku menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa, aku sempat mendengar bahwa ia belum menyelesaikan kuliahnya. Tidak ada keinginan lain dari orang tua ketika melihat anak nya telah tamat kuliah tentunya mendapatkan pekerjaan secepatnya, aku sadar maka dengan cepat aku menghubungi beberapa teman untuk mendapatkan pekerjaan. Hingga tawaran kerjaan dari salah seorang teman di kota provinsi sebelah, kota dimana Lusi masih berkutat dengan pelajaran-pelajaran kuliah. Niat sudah bulat ingin merantau, berbekal satu ransel pakaian dan tiga lembar uang sukarno aku pun berangkat. Dalam perjalanan aku teringat dengannya, apakah kami akan bertemu di kota dimana aku akan bekerja dan ia tengah kuliah. Masih tidak ada komunikasi, aku tidak memiliki nomor teleponnya.
Dua bulan merantau dan bekerja, aku cukup merasakan bagaimana kerasnya kehidupan di kota dan cara bertahan hidup yang harus kita miliki. Suatu hari aku mendapat giliran jaga pameran di salah satu pusat perbelanjaan, maklum kerjaan ku pada waktu itu adalah jualan mobil, kami merangkak dari mall ke mall untuk pameran produk. Ketika asik ngobrol dengan Fika, aku melihat seseorang dari kejauhan menuju pintu utama mall, terus aku memperhatikan hingga ia mendekat. “bukankah itu Lusi,” gumamku. Semakin dekat membuat degup jantung ku semakin kencang, aku terus memperhatikannya, benar dia adalah Lusi, sahabat lama yang hilang. Hari itu kami kembali bertemu, “hey Lusi,” aku memanggilnya ketika ia sudah berlalu. Ia menoleh, heran, keningnya berkerut, mungkin serasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat. “hey apa kabar, kok bisa disini? Udah berapa lama, sama siapa?,” Lusi menghujani ku dengan pertanyaan layaknya wartawan. Kami tidak bercerita panjang lebar karena ia sepertinya terburu-buru, belakangan aku tahu bahwa ia akan bertemu dengan pujaan hatinya, kali ini tidak dengan teman ku lagi.
Beberapa kali kami bertemu di pusat perbelanjaan yang sama, banyak hal yang kami bahas, bercerita tentang masa lalu, kegiatan yang ia lakukan sekarang dan tentunya kisah kuliahnya yang tidak kunjung usai. Dia jauh berubah sejak empat tahun yang lalu, terlihat lebih dewasa, cara bicara dan gayanya berpakaian cukup membuktikan semua itu. “sekarang aku lagi usaha jualan pakaian, mungkin itu yang membuat kuliah ku terbengkalai,” ceritanya. Aku berusaha memberikan semangat seperti dulu waktu kami sangat dekat. “tetap fokus, usaha bisa dilakukan lain waktu, selesaikan kuliah cepat,” aku selalu mengulangi kata-kata itu ketika kami bertemu.
Beberapa kali kami menyempatkan bertemu, di sore hari ketika aku pulang kerja dan Lusi tidak sedang sibuk, walaupun untuk sekedar minum kopi bersama tetapi kami bisa mengulang kembali nostalgia yang ada. Kami masih sama, sahabat yang baik bukan hubungan yang seperti telah aku ucap diatas, bukan!. Suatu sore kami tengah duduk menikmati kopi, ia mengeluarkan sebuah benda kecil dari dalam tas nya, “ingat ini ga?,” ia menyodorkan gantungan kunci yang aku berikan empat tahun yang lalu. Aku pun merasa kikuk, tidak menyangka ia masih menyimpan gantungan kunci lengkap dengan ukirannya. Aku terharu. Dilain hari dia juga kerap kali bercerita mengenai hubungan asmaranya dengan seseorang, dan lagi-lagi ia meminta pendapat kepada ku. Tetapi aku lebih senang jika ia membahas mengenai kuliahnya, aku ingin melihat ia menyelesaikan itu dengan cepat.
Satu tahun sudah semenjak pertemuan di mall itu, aku tahu ia sibuk dengan usahanya, tetapi terus aku ingatkan soal pendidikan. Hingga akhirnya aku mendapat kabar gembira bahwa ia akan diwisuda pada bulan ini, amat senang rasanya mendengar seorang teman baik yang unik telah menyelesaikan kuliahnya. Malam kemarin ia menelepon, “jangan lupa datang hari jumat esok, Lusi wisuda, “ pintanya. Jelas sekali aku tidak bisa datang, walaupun ingin datang tetapi sejak dunia ini ada hingga  sekarang hari jumat adalah hari kerja dan aku harus bekerja. “selamat wisuda ya, maaf aku tidak bisa datang, semoga sukses dan welcome to real world,” candaku. *Nanda Bismar (28/09/2015)

Selamat Wisuda Lusi, teman terbaik!

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )