Do’a Dubalang
Sudah
beberapa hari aku tidak bersekolah karena kabut asap, terakhir kali aku
bercengkrama dengan teman senin pagi sebelum pengumuman bahwa sekolah akan
diliburkan karena kabut asap pekat terus menyelimuti desa kami. Seperti biasa
setiap hari senin pagi seluruh siswa dan guru turut serta dalam upacara
bendera, aku selalu berdiri di barisan paling depan. Terkadang aku juga
memimpin upacara sebagai komandan upacara, walaupun postur badanku kurus
lengking tetapi suaraku keras dan tegas. “seperti yang kita ketahui bahwa bencana
kabut asap telah melanda desa selama dua minggu ini, maka sesuai perintah dari
Dubalang sekolah kita akan diliburkan selama satu minggu,” begitu pidato kepala
sekolah saat upacara bendera. Seluruh siswa terdiam, tak terkecuali dengan aku yang
sebentar lagi akan mengikuti ujian akhir tingkat sekolah dasar. Perasaan aku mulai
tidak karuan, karena takut tidak bisa dengan leluasa belajar agar bisa lulus
ujian akhir.
Selepas
pengumuman itu, seluruh aktivitas belajar dan mengajar diliburkan semua siswa
dan guru meninggalkan sekolah. “sampai jumpa lagi minggu depan,” teriak ku pada
segerombolan teman di gerbang sekolah. Dengan tangkas aku mengayuh sepeda
menuju rumah, walaupun masih pagi hari tetapi asap yang pekat membuat mata dan
hidung ku terasa perih. Tidak terlalu jauh memang, tetapi terasa sangat lama
karena aku harus menghirup kabut asap yang aromanya menusuk hidung, “bau kayu
bakar,” gumamku.
Desa
yang biasanya selalu sibuk dengan aktivitas pagi terlihat sepi, tidak ada orang
yang bercengkrama di warung kopi seperti biasa, petani pun terlihat enggan
untuk menggarap sawahnya.
Setibanya
dirumah aku menyandarkan sepeda dibalik rumah, aku masuk lewat pintu belakang.
“bu, sekolah libur katanya karena kabut asap,” nafasku masih tersengal. “sampai
kapan?,” timpal ibu. “entahlah bu, katanya satu minggu,” aku pun berlalu.
Setelah melepas seragam, aku meraih buku di meja belajar,” bagaimanapun aku
harus tetap belajar walaupun sekolah libur,” pikirku dalam hati.
Ibu
yang biasanya ikut membantu ayah mencari kayu bakar di hutan kali ini lebih
memilih berdiam diri dirumah, ia tidak berani keluar karena asma yang di derita
akhir-akhir ini sering kambuh. “hati-hati ya pak, jangan terlalu lama nanti
bapak sakit coba tengok bukit itu sudah hilang karena asap,” ibuku menunjuk
bukit tempat ia kerap mencari kayu. Ayah hanya menggangguk, sambil melilitkan
selendang yang menutup hidung ia pun berlalu menuju hutan di belakang rumah. Ia
menyandang sebuah tas berisi bekal nasi seadanya dengan lauk ikan asin dan
sambal terasi yang telah disiapkan oleh ibu sejak pagi sekali.
Aku
terus melahap satu persatu buku bacaan dan mencoba memecahkan beberapa soal
ujian yang pernah diberikan oleh guru di sekolah. Dari dalam kamar aku
mendengar suara batuk ibu yang sesekali diiringi dengan tarikan nafas yang
panjang. Semakin lama suara batuk ibu semakin keras dan aku pun menghampiri
keruang tamu, “ibu minum dulu ya, jangan duduk di dekat jendela asapnya pekat,”
pinta ku pada ibu. Beberapa helai baju robek yang berusaha ia jahit jelas belum
selesai dikerjakan, “tidak apa-apa nak, sebentar lagi ibu masuk ke kamar ini
baju ayahmu sedikit lagi selesai,” ia masih berusaha kuat. Aku kembali masuk
kedalam kamar dan kembali membaca buku hingga siang menjelang.
Aroma
masakan ibu menusuk hidung, “ibu masak apa?, goreng ikan ya,” aku lapar rengekku.
Sebentar saja ibu sigap sekali memasak hingga menghidangkan lauk dan sayur di
meja makan, aku melihat tangannya gemetar membawa bakul nasi. Kami makan
bersama, “gimana ya bapak tadi, ibu sudah bilang tidak boleh terlalu lama di
hutan,” ibu mengambilkan nasi untuk ku. Belum lagi habis nasi dipiring kami,
suara bapak terdengar dari luar, “jang..jang...bujang buka pintu bapak diluar,”
panggil bapak. Aku pun bergegas keluar membukakan pintu, bapak baru saja
melepas beberapa ikat kayu bakar yang ia pikul dari hutan.
Kami
makan siang bersama, bapak bercerita ia bertemu dengan beberapa orang dari desa
sebelah yang baru saja selesai membuka lahan, “orang-orang itu membakar hutan tetapi
mereka tertawa, lebih murah katanya,” bapak menirukan logat mereka. Memang
sebuah tradisi buruk terus terjadi di desaku, banyak orang-orang membuka lahan
baru untuk pertanian dan perkebunan dengan cara membakar sehingga asap
menyelimuti desa, perilaku ini kerap terjadi pada musim kemarau.
Lepas
makan siang bapak istirahat sebentar lalu ia kembali ke belakang rumah,
memotong kayu menjadi bagian yang lebih kecil, ibu dengan sigap membantu bapak
merapikan kayu-kayu yang akan kami jual. Sebenarnya aku ingin bermain diluar,
pergi mandi di sungai atau sekedar pergi memancing ikan di empang, tetapi kabut
begini tidak mungkin kami berkeliaran diluar. Tidak hanya desa kami tetapi
beberapa desa juga mengalami hal yang sama. Sore pun berlalu, kilau emas
matahari sore yang biasanya terpancar kini tidak tampak lagi, yang ada hanya
kabut gelap seperti akan turun hujan namun tidak kunjung turun. Rumah kami
memang tidak ada televisi, apabila ingin menonton maka kami akan pergi
bertandang ke warung kopi yang tidak jauh dari rumah. Malam itu kami semua
lebih memilih dirumah, aku tidur lebih cepat dari biasanya sembari berharap
besok akan melihat cahaya matahari pagi tanpa kabut asap.
Belum
lama aku tidur, suara batuk ibu membangunkan ku, terdengar suara derap kaki
ayah ke dapur mengambil segelas air untuk ibu. “asma ibu kumat,” pikirku. Terus
mencoba untuk tidur tetapi suara batuk ibu semakin keras, aku pun meloncat dari
tempat tidur. “ibu tidak apa-apa?,” aku mulai cemas. Nafasnya tresengal seakan
sangat sulit baginya menghirup udara, aku ingat beberapa tahun lalu ibu sempat
tidak sadarkan diri karena asmanya kambuh. “nak, tolong jaga ibu sebentar bapak
akan kerumah mantri,” ayah bergegas mengenakan jaketnya lalu menembus malam.
Aku semakin cemas karena batuk ibu tidak berhenti, nafasnya terus terengah,
suara ibu sudah tidak jelas,” ambilkan ibu air lagi nak,” lirihnya. Tidak
berapa lama ayah datang dengan mantri desa yang kerap mengobati kami jika sakit,
beliau segera mengeluarkan sebuah botol lalu memberikannya kepada ibu, “coba
hirup yang dalam bu,” kata beliau menirukan adegan menghirup nafas panjang.
Berkat botol ajaib itu ibu bisa sedikit bernafas lega dan perlahan ia mulai
bisa tidur. Aku pun kembali ke kamar dan segera tidur, sedangkan bapak
mengantarkan mantri kembali kerumahnya.
Pagi-pagi
sekali aku sudah bangun, membuka jendela kamar dengan pandangan masih sama
tertumbuk pada kabut asap yang memutih dan gelap. Aku mendengar ibu dan ayah
bercakap-cakap dibalik rumah, “katanya hari ini dubalang mau datang bu, mudah-mudahan
asap ini segera hilang,” kata ayah menyandang tas nya. Seperti biasa ia akan
pergi ke hutan mencari kayu bakar.
Dubalang
adalah sebutan untuk pemimpin wilayah kami dimana terdapat beberapa desa yang
ia pimpin. Beliau terkenal sakti karena bisa mengobati orang yang tengah sakit
keras, terkenal juga sangat dermawan kepada kami yang tidak mampu. Pernah
sekali beberapa orang mencoba mencuri ternak milik warga desa, dengan sigap
dubalang menyuruh para abdinya untuk mencari orang tersebut maka setelah ditemukan
bukannya dihukum malah Dubalang mengampuni para pencuri itu dan memberikan
mereka pekerjaan yang layak. Lepas tengah hari orang yang ditunggu pun datang, Dubalang
dan abdinya mengendarai kereta kuda yang sudah ada sejak turun temurun dalam
silsilah keluarga Dubalang. Semua orang terlihat berbaris rapi, mereka bersorak
suka cita seolah tidak peduli dengan pekatnya asap yang melanda. Beliau
berhenti di lapangan desa, Dubalang turun dari keretanya, ia menyapa beberapa
orang,”saya kesini bukan untuk memadamkan api, tetapi ingin merasakan juga
penderitaan kita semua disini,” suaranya lantang. Dubalang tidak hanya membawa
dirinya sendiri, tetapi ia juga membawa beberapa karung beras, makanan, dan air
bersih. “saya akan perintahkan abdi saya untuk menangkap orang-orang yang
membakar hutan disini, serta beberapa mantri untuk mengobati jika ada yang sakit,”
perintahnya. Hanya sebentar ia berpidato di tengah lapangan besar, sebelum Dubalang
pergi ia terlebih dahulu memimpin doa agar turun hujan. Segera beliau menaiki
kereta kuda sembari melambaikan tangan kepada kami, sorak sukacita kembali dari
kami membalas kepergian Dubalang. Sekarang semua orang kembali kerumah
masing-masing, termasuk aku yang juga kagum dengan sosok Dubalang.
Menjelang
malam gemuruh menggelegar di langit, suara gemuruh seakan menembus dinding
rumah kami, aku melihat sambaran kilat lewat jendela kamar,“mungkin doa kami
bersama dubalang tadi dikabulkan,” gumamku. Benar saja tidak berapa lama langit
seperti menumpahkan isinya, hujan lebat menghantam atap rumah kami, sesekali
suara gemuruh masih terdengar, aku menghirup bau hujan yang bercampur dengan
asap. Kami tertidur pulas.
Esoknya
aku bangun kesiangan, hawa dingin menerpa wajahku ketika ibu membuka jendela
kamar, “asap sudah hilang, lekas mandi dan pergi kerumah gurumu mungkin besok
sudah mulai sekolah,” senyum ibu. Seakan tidak percaya aku pun bergegas ke
kamar mandi, sarapan pagi nasi goreng buatan ibu lalu mengayuh sepeda menuju
rumah bu guru. Hari-hari penuh semangat telah kembali tepat beberapa hari
sebelum ujian akhir sekolah dilaksanakan. *Nanda
Bismar (19/09/2015)
Comments
Post a Comment