Tepi Sungai Musi



Tepi sungai Musi

Saya dan Iwan sepakat untuk bertemu di rumah sekitar pukul 19.00 malam, Iwan berencana akan menjemput. Setelah bersiap-siap, saya menunggu Iwan dating menjemput sambil ngobrol dengan Bang Edi di teras depan rumah. Tidak lama kemudian sorot lampu sepeda motor dari arah gerbang komplek terlihat menuju rumah kami, “itu dia Iwan,” saya menuju halaman rumah. “ready bro,” Iwan terlihat penuh semangat dan saya segera meloncat ke atas sepeda motor. “kalau di Palembang ini enaknya kita jalan-jalan pakai sepeda motor bro, jadi ga kena macet,” oceh Iwan. Saya pun juga tidak berhenti bertanya tentang Kota Palembang.
Sebentar Saja dari rumah kami telah tiba di Kambang Iwak, salah satu tempat nongkrong ABG Palembang. Kambang Iwak itu ya kayak sejenis kolam ikan alias tabek gadang kalau di kampung saya cuma bedanya tabek ini ramai banget. Iwan memperkenalkan saya kepada beberapa orang temannya yang merupakan jurnalis dari berbagai media di Palembang. Senang sekali rasanya punya teman baru lagi dan tentunya juga cerita yang baru. Mereka menjamu kami dengan sangat baik, ada segelas bandrek, sepiring gorengan lengkap dengan cabe rawitnya. Banyak hal yang kami ceritakan, teman-teman Iwan juga ingin tahu lebih banyak tentang Sumatera Barat, dengan senang hati tentu saya akan berbagi cerita. Sesekali kami juga bercerita mengenai kondisi terkini terkait dengan isu-isu yang berkembang di Palembang, biasalah jurnalis apalagi omongannya selain isu terkini.
“baru sekali ini ke Palembang kan Nan? Jangan lupa foto di Ampera ya,” canda mereka. Hahahhaha…kebanyakan dari mereka mengaku belum pernah foto di jembatan Ampera, lain cerita jika mereka pergi ke Bukittinggi pastilah ada hasrat untuk berfoto di depan Jam Gadang :D.
salah satu jepretan kamera Iwan :D
Cukup lama kami ngobrol di Kambang Iwak, suasananya asik sekali karena kami hanya duduk di trotoar yang dialas dengan tikar plastik. Karena malam itu Iwan janji ngajak keliling, maka saya dan Iwan pamit untuk menuju BKB alias Benteng Kuto Besak. “jangan lupa foto di Ampera ya,” sorak mereka sambil tertawa sedang aku sudah diatas sepeda motor. Sungguh penasaran ingin melihat BKB yang merupakan salah satu destinasi favorit, karena BKB adalah salah satu tempat bersejarah di Kota Palembang. “nah itu kantor walikota kami,” kata Iwan menunjuk bangunan tua yang dihiasi lampu warna warni. Bangunan dengan ciri khas Belanda yang kelihatannya masih dipertahankan keasliannya. Kantor Walikota malam itu terlihat cantik dengan cahaya lampu warna warni.
Tidak jauh dari kantor walikota, kami sudah sampai di BKB terletak persis di tepi sungai Musi. Sebuah benteng besar dan panjang yang menghadap lapangan di pinggir sungai Musi lengkap dengan lobang-lobang bekas tempat menembakkan meriam. Walaupun bangunan BKB sudah tua tetapi kelihatannya masih sangat kokoh dan sepertinya tidak ada berubah sedikitpun. Bedanya sekarang BKB telah dialihfungsikan sebagai salah satu markas TNI, sehingga bangunannya lebih terawat dengan baik. Sayangnya kami tidak bisa memasuki areal dalam benteng. “kita parkir disini saja ya, nanti kita jalan ke Ampera,” ujar Iwan. Lapangan besar di depan BKB sudah ramai oleh orang-orang yang ingin melihat Ampera di malam hari, karena memang dari lapangan itu terlihat jelas Jembatan Ampera yang beberapa lampu hiasnya sudah tidak menyala lagi. Saya melihat sekeliling lapangan, beberapa dari mereka ikut serta membawa anak-anaknya, mereka bercengkrama, pasangan-pasangan muda juga terlihat, dan yang tidak bisa ketinggal sudah pasti para penjaja kaki lima yang menawarkan berbagai macam dagangan mereka.
Kami berjalan santai, saya benar-benar kepo dengan Palembang. Semoga saja Iwan tidak kewalahan bertubi menjawab pertanyaan saya. “Wan, Jembatan itu kenapa diberi nama Ampera, apa maknanya?,” cetus saya. “itu artinya amanat penderitaan rakyat,” ketawa Iwan.
Setelah itu, ia dengan sangat lugas menceritakan beberapa hal yang ia ketahui tentang Palembang kepada saya, alangkah senangnya saya mengetahui beberapa serpihan sejarah Kota Palembang. Salah satu yang menakjubkan adalah bangunan jembatan yang masih kokoh hingga sekarang, ternyata dahulunya bisa naik dan turun ketika ada kapal besar yang akan melewati jembatan. Itu kan mirip dengan jembatan di Eropa dalam filem-filem. Dua buah besi beton besar sebagai penyangga utama jembatan, di puncak dua besi beton terdapat satu ruangan yang kata Iwan itu berfungsi sebagai ruang kerja operator untuk mengontrol mesin hidrolik jembatan. “terakhir ini bisa naik dan turun tahun 1975,” sambil menunjukkan batas penyangga jembatan yang kini telah samar di tutup aspal.
Pemerintah Kota Palembang sepertinya paham sekali melestarikan asset sejarah dan budaya Kota sehingga mareka berencana mendirikan jembatan baru di samping jembatan Ampera yang kini telah selesai fondasinya. Tidak lupa sesuai dengan permintaan teman-teman Iwan maka saya mengabadikan beberapa momen ketika berada di salah satu jembatan bersejarah itu. Beberapa jepretan kamera Iwan cukup membuat saya puas, “nanti saya kirim ke email ya nda,” Iwan memperlihatkan beberapa hasil jepretannya.
salah satu arca dan ini juga foto favorit ane :D
Ketika ingin kembali ke lapangan saya melihat sebuah museum budaya, tentu saja tanpa fikir panjang lagi saya langsung ingin melihatnya. Saya mengajak Iwan untuk melihat lebih dekat Museum, daaaaannnnn abracadabra rasa penasaran saya ternyata berbuah hasil. Museum budaya memang tidak dibuka pada malam hari, tetapi beberap arca yang di pajang di luar museum cukup membuat saya terkesima. Dua buah arca Ganesha besar, yang satu terlihat sangat rapi pembuatannya sedang yang satunya lagi sepertinya belum selesai di kerjakan. Diantara dua Arca yang sudah dihiasi lampu terlihat potongan kepala arca yang mungkin saja terpecah dengan bagian tubuhnya di masa lalu. Saya lupa nama batu yang diukir sebagai bahan untuk membentuk arca, tetapi yang saya ingat adalah arca nya ditemukan di daerah Pagar Alam. “kalau kau punya waktu banyak disini boleh lah kita ke Pagar Alam, biar kau puas wisata sejarah disana,” kata Iwan. Andai Saja. Puas mengamati Arca, Iwan mengajak saya duduk di tepi sungai Musi menikmati malam Kota Palembang yang semakin malam semakin menarik, apalagi ditambah dengan cerita Iwan yang panjang lebar tentang Kota Palembang. Beruntung sekali rasanya bisa diajak Iwan keliling malam itu.
Waktu beranjak tengah malam cuaca dingin mulai rasuki tulang, tetapi Iwan meminta saya untuk duduk agak sebentar lagi sembari menunggu kawannya akan datang. “kedinginan kau nda?, hahahah..aku saja kepanasan.” gelak Iwan. Menjelang pukul sebelas malam teman Iwan datang, rupanya ia juga seorang fotografer yang dulunya juga pejuang pers mahasiswa, kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu beranjak dari tepian musi yang masih saja ramai ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. 

Pamit

Beruntung rasanya saya selama ini menjadi bagian dari keluarga besar BBC Palembang A Rivai, walaupun baru sebentar tetapi rasa kekeluargaan yang saya rasa amat tinggi. Setelah beberapa bulan saya mendapat surat mutasi dari kantor pusat untuk pindah ke BBC Pekanbaru maka pagi itu sebelum keberangkatan kami ke Pekanbaru terlebih dahulu kami pamitan dengan seluruh anggota keluarga BBC Palembang A Rivai. Briefing saya pertama kali dengan seluruh anggota kebun yang ternyata juga sekaligus menjadi briefing terakhir. “sebenarnya dimana saja berada sama saja, yang harus dilakukan adalah peningkatan kualitas,” pesan Pak Khairul Manager BBC Kebun A Rivai. Sedikit sedih memang, tapi setidaknya aku telah belajar banyak disini. Go Ahead! 

 Tamat. 

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )