Jumpa Dua Orang Kawan Lama



Jaka Baring Stadion

Ternyata tidak jauh dari tempat kami kena tilang, saya sudah berada di hadapan jembatan besi besar apalagi kalau bukan jembatan Ampera. Jembatan dengan desain klasik itu masih kokoh berdiri hingga saat ini diatas aliran sungai Musi. Warna jembatannya Merah menyala dengan empat tiang besi beton besar. Setelah melewati jembatan Ampera kami pun melewati jalanan yang tidak terlalu ramai karena sepertinya sudah agak dipinggiran kota. Di sisi kiri sebelum stadion berdiri megah sebuah bangunan perusahaan milik daerah Sumatera Selatan, Bank Sumsel Babel.
“siapkan uang lima ribu untuk masuk stadion,” ujar bang Edi. Aku pun merogoh kocek dan menyerahkan kepada petugas yang jaga digerbang pintu masuk stadion. Sekarang saya sudah berada dalam komplek Stadion Jaka Baring, komplek yang luas dan lumayan tidak terawat. Batu-batu kecil bertebaran dimana-mana akibat dari ulah suporter Sriwijaya FC kemarin sore yang terlibat bentrok antar sesama pendukung, aduhhh, apelah sama-sama dukung pun nak bentrok.
Salah satu sudut stadion kebanggan orang Palembang
 Komplek stadion Jaka Baring layaknya komplek olahraga pada umumnya, dimana terdapat beberapa venue olahraga di dalam komplek yang dihubungkan dengan jalan-jalan yang sedikit agak berlubang. Beruntungya cukup banyak pohon di Komplek Stadion sehingga tersedia tempat berteduh jika cuaca sedang panas. Berkeliling sebentar mengitari komplek stadion, kami pun memutuskan untuk duduk sejenak di pinggiran stadion dimana terdapat beberapa kelompok orang yang tengah asyik senam pagi. Nampak juga beberapa Polisi lalu lintas yang akan melakukan kegiatan uji coba kendaraan baru mereka. Saya duduk memperhatikan sekeliling stadion, lalu berjalan menuju gerbang stadion yang biasanya dilalui oleh mobil pemadam kebakaran. Gerbangnya tidak dikunci,” kesempatan masuk nih,” saya mendorong pintu gerbang besi. Terlihat dalam stadion banyak sekali petugas kebersihan yang membersihkan stadion, ada yang menyapu kursi penoton, memotong rumput, dan menyirami rumput, pakaian yang mereka kenakan serba kuning. Ketika saya hendak menghampiri rumput stadion, tiba-tiba petugas kebersihan yang sedang menyiram rumput berjalan ke arah saya dan saya segera mengurungkan niat untuk menginjak rumput stadion Jaka Baring.
Setelah puas melihat-lihat isi stadion dan mengambil beberapa dokumentasi lalu saya kembali menuju parkiran mobil. “masih pagi ini bang, kita kemana lagi ya?,” celetuk saya pada Bang Edi. Ternyata bang Edi juga tidak tahu hendak kemana karena tidak begitu hafal rute di dalam kota. Tiba-tiba saja saya teringat kepada salah seorang teman lama saya yang baru saja tamat kuliah di Universitas Sriwijaya. “halo bro ini aku lagi di Palembang, kita jumpa yok nanti aku traktir kau nasi Padang,” saya menghubungi Riki dengan selalu tertawa lepas. 


Bertemu dua orang kawan lama

Riki adalah teman saya sewaktu masih bimbel di Kota Padang, kami bertemu ketika ditakdirkan menyewa kos yang sama dan berpisah ketika SNMPTN  ternyata dia lulus di UNSRI dan saya di UNAND. Kawan lama yang ditunggu akhirnya datang juga, kami bertemu di Masjid Agung Palembang. Sengaja saya memilih masjid Agung karena memang saya penasaran dengan arsitektur masjidnya yang masih bercorak khas bangunan tua. Jelas nampak bentuk bangunan Masjid Agung terbentuk akibat dari akulturasi budaya. Sepertinya perpaduan antara budaya Cina, Jawa dan Arab, bagian dalam masjidnya pun tidak terlalu luas hanya ditopang oleh empat tiang kayu, lalu di depan terdapat mimbar klasik dengan beberapa anak tangga yang sering dijumpai pada masjid-masjid zaman dahulu.
“oi, masih hidup kau ternyata,” saya menyalami Riki, dan seperti biasa selalu keluar tawa khasnya. Ternyata tawa Riki masih sama seperti kami satu kos dulu, kulitnya berubah jadi lebih gelap, agak kurus mungkin karena efek beban kuliah, hahah. Kami bercerita tentang masa lampau tentang masa-masa kami bimbel sembari menuju rumah makan padang. “silahkan makan sampai puas bro,” aku memberikan bakul nasi kepada Riki. Makan siang saya terasa nikmat bersama dengan kawan lama sambil bercerita tentang masa lalu. Yang ada hanya tawa dan canda.
nah itu yang baju blaster namanya Iwan, yang biru riki
Selepas makan siang, saya berencana akan bertemu dengan satu lagi kawan lama, kali ini budak asli Palembang. Kebetulan Iwan tidak sedang sibuk, jadi kami bisa bertemu di kampusnya IAIN Raden Fatah. Letak kampus Iwan juga tidak terlalu jauh dari tempat kami makan, jadi hanya butuh beberapa menit saja untuk mencapai loaksi kampus Iwan. Setibanya di kampus, kami di ajak bersantai sebuah pendopo disamping sekretariat LPM Ukhuwah. Tidak hanya itu kami juga disuguhi hidangan khas Palembang, apalagi kalau bukan mpek-mpek, hahahha dan tidak lupa es teh manis.

“ini mpek-mpek ala mahasiswa nda, kau harus coba beda rasanya sama mpek-mpek mahal yang sudah kau coba,” kata Iwan tertawa. Walaupun lama tidak bertemu tetapi kehangatan yang sama masih terasa karena memang begitulah kehidupan para jurnalis harus bisa cepat beradaptasi. Di atas pendopo yang terbuat dari kayu itu tidak hanya ada Iwan tetapi juga ada beberapa anggota LMP Ukwuah yang datang, saya benar-benar merasakan bagaimana heroiknya ketika masih menjadi seorang wartawan kampus. Semuanya terlibat dalam obrolan yang seru sembari melahap mpek-mpek khas kampus. Suasananya yang begitu hangat dan cair. Cukup lama juga kami berdiskusi hingga petang menjelang, saya dan Riki pamit kepada Iwan dan berterima kasih atas jamuannya. “nanti malam jangan lupa ya nda, kita keliling malam ini,” ajak Iwan. Dengan senang hati tentu saja saya tidak bisa menolak ajakan Iwan. 

Bersambung.......

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )