Kawan Lama di Gondangdia
Semalam
saya bertemu dengan kawan lama, kawan semasa kuliah satu visi di organisasi
namanya Fadli tetapi orang-orang sering menyebutnya Paik. Biasalah kalau di Minang memang nama orang bisa
berbagai, seperti ada nama orang Satria pasti dipanggil Saik, entah kenapa bisa
begitu. Karena ia lebih tua dari saya maka
saya memanggilnya Da Paik. Kami bertemu usai saya menyelesaikan training hari keduapukul
lima sore, tetapi saya agak telat karena harus menunggu rombongan lain yang
satu bus dengan kami.
Alhasil
Da Paik yang telah berada di Hotel harus menunggu agak lama, hingga akhirnya
kami bertemu pada pukul 18.30 di lobby hotel beruntungnya sore itu tidak ada
macet yang berarti. Da Paik sore itu
mengenakan kemeja kotak-kotak, yang sudah tidak rapih lagi, cealana jeans biru
dongker dan sepatu olahraga warna putih, sebuah tas ransel tentunya tidak akan
pernah ia lupa. Sepintas ia tidak ada ubahnya sewaktu kami masih dikampus.
Begitu bertemu saya langsung menyalami Da Paik lalu meminta izin untuk berganti
pakaian, selanjutnya ia mengajak saya pergi makan diluar. “jalan kaki nda?,”
ajak Da Paik, dengan senang hati tentu saja saya mengiyakan karena memang jalan
kaki lebih menyenangkan jika sedang berada di Jakarta. Satu-satunya resiko
adalah polusi yang bisa membuat kerongkongan kering.
Ia
berencana mengajak saya untuk makan di salah satu tempat makan yang katanya
tidak begitu jauh dari Hotel. “mau makan masakan jawa nda? ada yang enak di
dekat stasiun Gondangdia,” katanya.
Di
sepanjang jalan kami bercerita mengenai banyak hal, mulai dari cerita masa
kuliah hingga kehidupan di Jakarta. Kami tidak menghiraukan bunyi klakson, deru kendaraan dan ramainya
orang yang lalu lalang karena asiknya bercerita. Ternyata hanya beberapa blok
dari hotel,
kami sudah sampai di tempat makan yang dimaksud Da Paik.
Rumah
makannya sederhana saja, terlihat bersih dan cukup ramai. Hidangan disediakan
secara prasmanan jadi pengunjung bebas untuk memilih lauk yang ingin disantap.
Lauk yang disediakan juga beragam,
mulai dari yang digoreng hingga lauk yang berkuah. Beberapa sayur segar juga
terletak diatas meja, tidak lupa tentunya sambal yang langsung disediakan di
atas ulekannya. “silahkan ambil sendiri mas,” ujar bapak yang punya berdiri didepan meja kasir,
ramah sekali.
Kami
makan dengan lahap seperti orang kelaparan, menurut saya masakannya mirip
dengan masakan Padang cuma memang rasa pedasnya masih dalam level easy, semakin tidak terasa karena Da
Paik tidak berhenti juga berceracau tentang kehidupannya
di Jakarta. Sepertinya rasa semangatnya sama dengan rasa laparnya. Sehingga
Lauk yang kami pesan tidak ada sisa kecuali tulang dan bagian kepala udang goreng yang saya tidak suka.
Selepas
itu kami bercerita sebentar di meja makan lalu saya mengajak Da Paik keluar
rumah makan karena saya ingin merasakan suasana jalanan kota pada malam hari.
“sebentar kita beli minum dulu,” Da Paik membeli dua botol minuman ringan. Kami
kembali menyusuri trotoar sambil bercerita, maklum saja lama tidak bertemu jadi
ada saja topic yang kami bicarakan.
Di
Persimpangan jalan antara Hotel dan Stasiun Gondangdia kami duduk di atas pagar
beton berjuntai kaki, orang-orang tidak henti lalu lalalng di depan kami tapi
tidak kami pedulikan sama sekali. Saya lebih tertarik dengan cerita Da Paik
yang harus berjuang setiap pagi untuk bisa berada dalam gerbong kereta yang
mengangkut ribuan manusia ke pusat ibu kota. Ternyata cerita dan tontonan dalam
TV yang saya lihat selama ini memang benar apa adanya, bedanya adalah sekarang
tidak lagi ada manusia yang berjubel di atas kereta api. “setiap pagi abang
harus menahan sesak di dalam gerbong seperti ikan sarden, “ kelakar Da Paik.
Walaupun mengaku tidak nyaman tetapi memang itu adalah jalan yang mungkin ditempuh untuk bisa tetap pergi ke kantor.
Saya tidak bisa membayangkan jika berada dalam
kerumunan manusia seperti yang ia ceritakan, belum lagi berhadapan dengan
berbagai hal seperti terjepit, disikut, dicopet. Beruntungnya jika terjepit
diantara para wanita, hahahaha. “sayangnya gerbong wanita berbeda,” penyesalan
mendalam terlihat di raut wajah Da Paik. Wkwkkwkw.
Kemudian ia bercerita mengenai kehidupannya selama
menjadi enginer, sudah beberapa
minggu ini ia harus berurusan dengan mesin, kebanyakan adalah persoalan
kelistrikan. Ungkapan demi ungkapan Da Paik bisa saya tangkap bahwa untuk saat
ini dia sangat menikmati menjadi seorang yang berurusan dengan mesin, selain
memang selaras dengan jurusannya semasa kuliah. “tidak menyangka bisa berurusan
dengan mesin lagi nda, dan memang mau tidak mau harus dinikmati,” sorot matanya
tajam. Tetapi dibalik semua yang ia geluti sekarang, maka masa lalu rasanya
masih ingin ia garap. Yap, benar sekali Da Paik sudah memulai beberapa usaha
semasa kuliah, berjualan baju, catering makanan dan lain yang sudah ia geluti.
Namun sepertinya takdir berkata lain, sepertinya ia harus kembali ke dunia
mesin. “ini untuk sementara nda, dikemudian hari pasti abang akan kembali
membuka usaha, dan disanalah cita-cita,” tegasnya. Senang sekali rasanya bisa
bercerita dengan Da Paik, selain mengobati kangen ingin bertemu dengan teman
cerita kami malam itu juga memiliki makna tersendiri bagi saya. Walau
perjuangan keras di Ibukota tetapi nampaknya ia masih sangat optimis, “selamat
di Jakarta berarti selamat hidup di kota lain,” senyum khas Da Paik sambil
membenarkan kacamatanya.
Di Persimpangan Stasiun Gondangdia
Jakarta, 22 Oktober 2014
Comments
Post a Comment