Rencana



Akhirnya kami menikah, pada Jumat 14 April 2017. Saya butuh waktu setidaknya sekitar enam tahun untuk menentukan sikap, terdengar cukup lama bagi sebagian orang, namun sebenarnya waktu yang sebentar saja. Lalu kenapa harus begitu lama? bagaimana tidak.., menikah bukan perkara gampang, tidak hanya menyatukan satu manusia dengan manusia lain, tetapi juga menyatukan satu keluarga dengan keluarga yang lain, menyatukan hubungan antar satu kerabat dengan kerabat lain, jika berakhir tidak baik maka bukan hanya dua orang manusia yang tidak baik tetapi juga hubungan-hubungan lain yang ada di dalamnya, sebaliknya juga begitu.
Saya secara sadar dan waras bahwa nikah tidak butuh biaya karena memang dalam aturannya gratis jika hanya menikah di kantor KUA, tetapi bagaimana dengan resepsi? Nah ini mungkin yang sedikit rumit, sekelimit, pelik dan ah…membuat pusing, sekali lagi bukan nikahnya, tetapi resepsinya yang kadang membuat orang berfikir ratusan kali untuk menikah. Padahal memikirkan kehidupan setelah menikah jauh lebih penting daripada memikirkan acara resepsi pernikahan. Tidak jarang satu hubungan berujung tidak baik karena memikirkan biaya resepsi, semua sudah menjadi rahasia umum. Belum lagi bayangan-bayangan omongan orang sekitar, tetangga, orang lewat, membuat suasana semakin pelik, padahal itu hanyalah bayangan.
Walaupun begitu saya tidak akan membagi cerita tentang bagaimana resepsi pernikahan kami, siapa saja yang datang, kami mendapatkan kado apa saja, itu tidaklah begitu penting karena hampir sama saja hal itu akan dialami semua orang. Bagaimana cara saya mempersiapkan ini terasa lebih penting dan lebih bermakna untuk diuaraikan dalam coretan ini.
Menikah tidak hanya perkara keinginan semata, tetapi kondisi finansial adalah salah satu hal yang patut digodok untuk menempuh hidup setelah pernikahan. Oleh karena itu saya sadar mengharapkan keuangan dari kedua orang tua adalah hal yang sangat sulit, bukan berarti kedua orang tua saya tidak akan mampu, tetapi sebagai anak sulung dalam keluarga saya tahu betul bahwa tiga orang adik saya masih lebih membutuhkan keuangan demi kelansungan pendidikan mereka. Sedangkan saya? sudah selesai dalam studi hingga pendidikan tinggi dan seharusnya dalam posisi ini memberikan bantuan sebisa mungkin yang dilakukan.
Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang untuk membantu keluarga, sesuai atau tidak dengan kemauan saya tetap akan saya jalani. Banyak orang bilang “do what you love”, tetapi jika kita sudah dihadapkan kepada kepentingan keluarga dan keadaan mendesak maka kata-kata itu akan berubah menjadi “love what you do”. Saya bekerja apa saja dan menabung adalah ritual rutin yang harus lakukan setiap bulan, menyisihkan sebagian uang yang saya dapat dari pekerjaan untuk ditabung, dan sebisa mungkin tidak membuka celah pinjaman, karena memang memang hemat pangkal kaya. Bukan berarti pelit ya…J.
Saya mulai memikirkan skala prioritas dalam hidup, tidak terlalu banyak mengumbar uang untuk hal yang tidak penting. Pundi-pundi pertama yang terkumpul saya niatkan untuk membangun rumah bagi kedua orang tua dikampung dan tentunya untuk biaya pernikahan jika suatu hari saya menikah sehingga tidak terlalu merepotkan orang tua, skala kedua. Sadar bahwa menabung adalah kondisi dimana keuangan tidak berkembang secara signifikan, saya mencoba peruntungan dengan berusaha investasi di perkebunan, yaa… walaupun masih dalam skala kecil-kecilan, saya dan seorang teman dapat cukup uang untuk ditabung kembali.
Dalam masa ini saya belum berani menjanjikan akan menikahi seorang pun karena saya tahu yang perlu saya lakukan hanyalah bersiap diri secara lahir dan bathin.
Bagi saya omong kosong seseorang yang bermanis kata akan menikahi perempuan pujaannya sedangkan tidak ada usaha untuk mewujudkan hal itu. Perlahan tetapi pasti satu persatu keinginan mulai saya wujudkan, membantu kedua orang tua membangun rumah, membeli kendaraan sendiri, kelengkapan hidup sendiri, adalah bagian dari rencana, semua terasa nikmat karena semua berasal dari keringat dan jeripayah kita sendiri yang tentunya tidak menyusahkan orang lain. Rumah sudah selesai, saya beralih kepada misi berikutnya, menikah tetapi saya masih tidak mempunyai wanita yang saya janjikan untuk saya nikahi, membiarkan diri ini berusaha adalah pilihan yang lebih baik. Walaupun disana sini mulai ada kegelisahan, kapan menikah? kapan menikah? Suara-suara seperti kicauan burung pagi yang merdu untuk dinikmati. 
Senyum kalo udah sah kayak gini..hehe

Dalam visi yang utuh pasti ada misi-misi seperti puzzle yang harus disatukan, setelah menguras cukup banyak uang untuk membangun rumah saatnya kembali fokus menabung untuk keinginan selanjutnya, semua timeline sudah digoreskan. Hingga waktunya tiba, saya beranikan diri untuk mengajukan diri sebagai seorang suami bagi seorang wanita yang telah saya pilih untuk menemani hidup dihari-hari berikutnya. Niat baik, diterima dengan baik, sekali ucapan qabul dan kini saya telah menjadi seorang suami bagi dia, saya tidak kuasa membendung air mata pada hari menjelang semua orang melaksanakan ibadah sholat jumat. Saya meneteskan air mata bukan karena sedih, tetapi kegembiraan karena satu lagi keinginan telah terwujud. Jika dalam filem hacksaw ridge sang aktor meminta bantuan tuhan untuk menolong nyawa seorang prajurit lagi, maka kali ini saya meminta “ Tuhan, izinkan saya terus untuk mewujudkan misi-misi ini”, *Nanda Bismar

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)