Gadis Jendela Bag. II "Tawaran dari Rosie"

Sudah beberapa hari ini aku tidak berkunjung ke warung kopi dimana tempat biasa aku, Hasan dan Toni menghabiskan sore menjelang malam. Barangkali karena bayangan tentang Laura selalu merasuki ketika aku memasuki ruangan warung kopi yang hangat, persis ketika mendorong pintu masuk maka meja dimana aku dan Laura kerap menikmati kopi bersama dengan dua balok waffle. Seperti biasa dia hanya menghabiskan satu setengan balok, lalu setengahnya tiba-tiba sudah berada di depan mata ku, “nih makan,” sendok Laura sudah berada di depan mulut ku. Jika aku menolak maka raut mukanya langsung berubah menjadi cemberut manja. Tentu saja aku sesekali berpura-pura untuk menolaknya karena aku sangat suka dengan tingkahnya yang manja. Itu hanya sedikit kenangan yang membuat aku enggan untuk memasuki warung kopi walaupun Hasan dan Toni mengajak, aku tidak bergeming.
          “sore ini kita ke warung kopi yok, sudah lama tidak kesana, iya kan Ton,” Hasan mengajak aku dan Toni ketika kami santap siang di kantin kampus. “aku sih mau aja, tapi sepertinya kawan kita yang satu ini masih belum bisa, masih ingat masa lalu,” Toni meledekku. Entah kenapa aku serasa terbius dengan perkataan Hasan, “ayok siapa takut, nanti jangan lupa bawa laptop ya,” timpalku pada mereka. Kami sepakat untuk bertemu pukul lima sore di warung kopi.

Hari itu mata kuliah ku hanya tinggal satu pukul dua siang, kali ini aku harus datang lebih awal karena siapapun yang telat sedetik saja maka akan menutup pintu dari luar. Ya..dia adalah dosen paling killer di fakultas kami, namanya Bu Betty perawakannya agak gendut, pendek, rambut diikat kebelakang jika digerai sebahu, kadang ia mengenakan kacamata besar, jika dia lewat maka semua mahasiswa akan menghindar. Bu betty adalah dosen senior, dia adalah seorang profesor politik luar negeri maka tidak heran beliau begitu disegani dikalangan dosen, tahun lalu adalah tahun terakhirnya menjadi dekan di fakultas kami. Selepas menyantap makan siang aku melihat arloji di tangan masih menunjukkan pukul satu, “masih lama,” pikirku.
Hasan dan Toni langsung bergegas menuju ruang kelas karena jam pelajaran mereka tepat pukul satu, karena tidak ingin duduk sendiri di kantin maka aku memutuskan untuk pergi ke pustaka kampus. Gedung pustaka kami besar, lantainya ada tujuh dimana masing-masing lantai dipenuhi dengan buku-buku yang tersimpan rapi di dalam rak-rak yang panjang dan tinggi. Tidak hanya buku tapi akses internet yang super cepat juga disediakan, maka tidak heran jika pustaka selalu padat dengan mahasiswa yang betah berlama-lama duduk di kursi yang empuk sambil menikmati internet yang super cepat. Siang itu aku memilih tempat duduk khusus ruang baca, jadi tidak ada suara berisik karena yang ada hanya beberapa mahasiswa yang asik membaca buku. Aku mengitari rak demi rak untuk mencari buku sejarah sebagai bahan bacaan, bagiku sejarah adalah sama pentingnya dengan pelajaran lain karena sejarah adalah cerminan dari masa lalu yang berguna untuk masa sekarang.
Pandanganku terhenti pada sebuah buku bersampul merah, berjudul sejarah bangsa arya, lekas aku mengambilnya dengan hati-hati lalu membaca sinopsis di sampul belakang. Perlahan aku berjalan menuju meca baca, lembar demi lembar aku baca dengan seksama, buku yang tidak terlalu tebal. Lebih dari setengah setengah halaman isi buku sudah aku baca tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang, “hey jam berapa sekarang,” ujar seorang lelaki kurus berambut gondrong dengan beberapa buku di tangan kirinya. Pandanganku beralih ke arah jam tangan,” jam dua kurang lima menit,” balasku kaget, aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk kembali meletakkan buku yang telah aku baca. Lelaki kurus itu bengong dengan tingkahku.
Jarak antara pustaka dengan fakultas memang tidak terlalu jauh, tetapi aku tidak punya waktu banyak karena jam kami tidak selalu sama dengan jam tangan Bu Betty, aku berlari sambil mengingat bayangan Bu Betty yang sangar sudah berdiri di depan kelas. Ruangan kelas yang berada di lantai tiga fakultas menambah kesengsaraan dan benar saja belum sempat menghela nafas setibanya di ruangan kelas pintu sudah tertutup, suara Bu Betty yang keras juga terdengar dengan lantang. Usahaku terasa sia-sia, seluruh badanku terasa lemas, aku tersandar di dinding masih mengela nafas. Beberapa saat aku berfikir untuk mencoba mengetuk pintu dan masuk, ah mungkin saja itu usaha yang sia-sia karena pasti Bu Betty tidak akan memberikan toleransi keterlambatan. Ditengah fikiran yang kacau aku memberanikan diri membuka pintu kelas, suara derit pintu sontak membuat semua isi kelas kaget dan menoleh ke arahku, tidak terkecuali Bu Betty. Mukanya merah padam, matanya melihat ku dengan tajam, “kamu, kenapa terlambat? Kenapa masih mencoba masuk,” suaranya seperti dentuman meriam, lalu sejenak hening. “saya dari pustaka membaca buku hingga lupa waktu,” jelas ku, belum selesai Bu Betty sudah memotong, “ jangan banyak alasan, jika benar coba jelaskan isi buku yang kamu baca,” hardiknya. Aku semakin gugup, tetapi aku tidak akan melewatkan kesempatan, segera berdiri di depan kelas lalu aku menjelaskan beberapa hal mengenai kehidupan bangsa arya. “cukup..kali ini kamu saya izinkan masuk kelas, lain kali saya tidak terima alasan apapun, “ suasana kembali hening. Aku beruntung.
Dua jam mendengarkan Bu Betty di depan kelas terasa sangat lama, soal nilai dia juga tidak kompromi, kami tidak pernah mendapatkan nilai A jika mengambil mata kuliah dengan Bu Betty. Pernah sekali aku dan Thomas dilempar kapur karena kami tertidur saat Bu Betty tengah mengoceh di depan kelas, maklum kelas pagi selalu berat bagiku. Detik-detik  yang ditunggu pun datang, soal keluar ruangan kelas Bu Betty juga tepat waktu, pukul empat tepat ia segera meninggalkan ruangan kelas,” sampai jumpa minggu depan,” nadanya ketus. Kami juga berhamburan keluar kelas, seperti ingin mengambil udara segar tak pelak canda tawa teman-teman ku kembali menghiasi ruangan. Sembari menunggu Toni dan Hasan aku kembali menuju pustaka untuk menyelesaikan buku yang tadi aku baca, pustaka kampus tutup jam lima sore.
Setibanya di pustaka aku masih melihat laki-laki kurus berambut gondrong duduk sembari membaca dengan beberapa tumpukan buku juga dihadapannya. Aku tidak menggubrisnya dan segera mengambil buku yang tadi aku baca untuk aku lahap menjelang pukul lima sore. Musim semi jarang sekali turun hujan, cuaca selalu cerah dengan udara yang hangat jadi kami tidak perlu khawatir hujan akan turun di sore hari. Beberapa saat kemudian telepon genggamku berdering, pesan singkat dari Hasan untuk mengajakku segera ke warung kopi. Aku kembali merapikan meja baca dan bergegas pergi. Tidak berapa jauh dari warung kopi aku menoleh kembali ke jendela dimana Laura pertama kali aku lihat, serasa ia sedang tersenyum kepada ku dari atas jendela. Bayangannya pun terasa berputar dikepala, aku mempercepat langkah.
Di warung kopi aku melihat Hasan dan Toni duduk di meja tempat biasa aku dan Laura menghabiskan waktu di sore hari, “ah sial kenapa mereka duduk disana,” gumamku. Mereka sudah siap dengan laptopnya, “kalian mau pesan apa? Sepertinya ada menu baru,” aku mengeluarkan laptop dari dalam tas. Belum lagi kami memesan tiba-tiba barista sekaligus pemilik warung, Rosie datang menghampiri kami,” sepertinya kalian sudah tidak lama kesini, kamu yang sering datang dengan Laura kan,” ia melirik ke arah ku. “aku dengar Laura tidak disini lagi, dia pulang ke italia apa itu benar?,” tanya Rosie. Aku hanya mengangguk. Rosie adalah juga seorang darah campuran Italia dan Jerman, walaupun umurnya tidak lagi muda tetapi ia masih terlihat cantik, sikapnya yang ramah membuat semua pengunjung menyukainya. Kami memesan langsung padanya, dua gelas kopi untuk Hasan dan Toni sedang aku memilih menikmati teh hijau hangat karena akhir-akhir ini perutku tidak bersahabat dengan kopi. Tidak menunggu terlalu lama Rosie datag dengan pesanan kami, benar-benar beruntung kami sore itu dilayani langsung oleh sang pemilik. “saya dengar kamu ingin pergi ke italia, apa itu benar?,” aku sontak kaget dengan pertanyaan Rosie. “jika benar saya bisa membantu kamu untuk sampai kesana,” ia pun berlalu dari hadapan kami, saya membalasnya dengan senyuman.
Kami menikmati sore menjelang malam di warung kopi yang hangat dengan alunan musik instrumen yang lembut, aku dan ketiga teman ku larut dalam percakapan serial favorit kami. Tidak terasa jam dinding klasik yang menempel di dinding belakang kami berdentang tujuh kali,” balik yok, sudah malam,”ajakku pada Hasan dan Toni. Mereka serempak mengangguk, setelah membayar minuman kami, aku dan Hasan segera menunju apartmen. Menu makan malam kali ini aku dan Hasan sepakat untuk memasak bersama, kami memang memiliki hobi yang sama, Hasan selalu bisa memasak daging dengan baik. Selepas santap malam, aku kembali ke kamar, masih teringat dengan ucapan Rosie tadi sore, aku masih tidak mengerti dengan ucapannya yang ingin membantuku bertemu dengan Laura. Aku mencoba merebahkan diri di sofa tapi kata-kata Rosie masih terbayang, sejenak aku duduk lalu berdiri begitu aku ulangi hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengirim email ke Laura.

Sudah dua hari ini Laura belum membalas emailku, aku selalu memikirkan hal-hal yang baik tentangnya, berharap ibunya lekas sembuh dan ia kembali kesini. Benar saja, emailku dibalas, senangnya bukan kepalang, “maaf beberapa hari ini aku sibuk, tidak hanya mengurus ibu tetapi juga membantu bapak panen anggur di kebun, bagaimana kabarmu? Apakah kamu serius ingin kesini? Aku tinggal di sebuah desa di florence, keadaan ibu sudah mulai membaik, tapi aku akan tetap tinggal disini untuk menjaganya”. Kami  berbalas email beberapa kali hingga Laura meminta izin untuk tidur. Tidak sabar rasanya menunggu esok pagi bertemu dengan Rosie, aku tidak ingin membuang kesempatan untuk bertemu dengan Laura. To be continue...... *nanda bismar

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )