Ibu Ku Seorang Pembohong

      “Bu...apakah aku sudah boleh sekolah?”, tanyaku pada ibu yang sedang memasak goreng ikan di dapur. Ibu tersenyum mengampiriku, “umur kamu masih empat tahun nak, itu artinya belum cukup untuk bisa bersekolah”, ibu membelai rambut ku. Tapi aku terus bersikeras ingin bersekolah, aku bosan dirumah apalagi ketika itu rumah kami hanya berjarak lima meter dari sekolah. “aku mau sekolah bu, kalau tidak boleh, aku mau ikut taman kanak-kanak saja,” kerasku. Ibu ku begitu sabar, ia memberitahu ku bahwa taman kanak-kanak hanya ada di ibukota kecamatan sedangkan kami berada satu jam dari ibukota kecamatan, satu jam karena jalan yang begitu buruk pada waktu itu. Hujan saja sedikit maka dijamin kendaraan akan susah payah memasuki desa kami.
      Ibu ku adalah salah seorang dari tamatan sekolah pendidikan guru atau SPG yang ketika itu mengabdi di sebuah sekolah inpres. Jumlah ruangan kelas hanya empat ruangan saja, sedangkan jumlah guru hanya ada tiga termasuk ibu, sedang satu orang lagi bolak-balik dari ibukota kecamatan. Sekitar tahun 1994 aku dan ibu telah menginjakkan kaki di desa itu, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kendaraan bermotor, yang ada hanya suara jangkrik dan ayam jantan jika pagi menjelang. Kala itu desa kami belum dialiri listrik, sehingga kami harus puas dengan lampu teplok, semua aktivitas malam bergantung pada lampu teplok. Membaca buku, menulis, mengaji, semuanya mengandalkan lampu teplok.

      Setiap hari aku selalu meminta untuk sekolah kepada ibu, kadang aku merengek tetapi ibu selalu tersenyum. Memang aku dibawa setiap beliau mengajar di kelas tetapi aku ingin memakai seragam merah putih, dasi dan topi warna merah. Aku ingin pandai membaca, menulis dan berhitung.
      Hari itu adalah hari pasar di ibukota kecamatan, tepatnya setiap hari selasa maka ratusan mungkin ribuan orang datang berbondong-bondong pergi ke pasar kecamatan. Aku dulu suka pergi ke pasar, merasakan sensasi keramaian dan hiruk pikuk pasar, sekarang tidak lagi, aku benci dan tidak suka dengan pasar. Hanya ada satu kendaraan dari desa kami berupa mobil jenis pick up yang diberi tempat duduk dua baris berhadap-hadapan, dengan itu lah masyarakat desa pergi ke pasar setiap hari selasa. Jika kita tidak berhati-hati maka jangan heran kepala akan terkena atap mobil pick up karena lobang-lobang sebesar kolam ikan yang akan dilalui. Tidak jarang juga kita melihat kelompok-kelompok orang yang rela berjalan kaki dari pagi untuk mencapai pasar, bisa dibayangkan bahwa dengan menggunakan kendaraan bermotor sudah menghabiskan waktu cukup lama, tapi mereka tetap semangat berjalan kaki. Biasanya pasangan muda-mudi. Selepas mengajar ibu memberitahu ku bahwa kami akan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan makan selama satu minggu. Sudah aku bilang tadi di atas bahwa aku senang jika ibu mengajak ke pasar, kami naik mobil pick up bersama dengan orang desa lain yang kebanyakan adalah ibu-ibu. Beberapa dari mereka ada yang juga memeluk anaknya, sedangkan beberapa lelaki memilih berdiri menggelantung dibelakang mobil. Ramai sekali di dalam mobil, penuh sesak.
      Kira-kira satu jam kemudian kami sampai di pasar, semua penumpang turun termasuk aku dan ibu ku. Kami berjalan kaki beberapa meter untuk masuk ke dalam pasar, ibu mengajak ku menyantap sate terlebih dahulu karena memang kami belum makan siang. Semua kebutuhan yang kami perlukan disediakan oleh pasar, minyak goreng, beras, lauk pauk, ikan asin, sayur, pakaian, semuanya ada. Karena masih kental dengan konsep tradisional maka suara tawar menawar menambah suasana riuh pasar. Ibu juga tergolong kepada penawar ulung, ia selalu berpesan kepadaku bahwa hati-hati dalam membeli sesuatu. “kalau tidak penting dan mendesak kita tidak usah beli dulu,” beliau selalu mengingatkan aku. Tidak butuh waktu berapa lama, keranjang belanjaan ibu sudah penuh berisi berbagai macam barang. Tiba-tiba ibu menarik tangan ku, “sini nak, mau baju yang mana”, ibu memberikan aku beberapa pilihan baju sekolah. Aku kaget, kemarin ibu masih belum mengijinkan aku untuk sekolah. “pilih dulu, coba kamu pake dulu”, ibu menyodorkan satu stel baju merah putih. Pas, dan ibu kembali melakukan tawar menawar dengan penjual baju, kali ini cukup alot sehingga aku pun cemas apabila ibu tidak sepakat dengan harga yang ditetapkan penjual. Cukup lama aku menunggu, akhirnya bungkusan plastik berisi seragam sekolah itu aku genggam. Jantung ku berdebar, aku masih empat tahun, “ah yang jelas aku ingin sekolah”, gumamku.
      Kami kembali ke desa dengan menumpang mobil yang sama, kali ini lebih sesak karena ibu-ibu pulang dengan membawa keranjang penuh terisi, bahkan atap mobil pun tak luput dari tumpukan barang, umumnya kelapa. Setibanya dirumah aku langsung membuka bungkusan plastik hitam, kembali aku kenakan sembari aku berlagak di depan kaca lemari. Ayah ku hanya tersenyum melihat tingkah laku ku, maklum beliau tidak terlalu banyak bicara soal pendidikan. Tidak sabar rasanya menunggu hari esok, mengenakan seragam dan belajar bersama ibu.
      Pagi-pagi sekali ibu membangunkan aku, “mau sekolah kan? Ayo bangun lagi nanti terlambat,” ibu menyentuh pipiku dengan tangannya, dingin. Cara ibu membangunkan dengan menyentuh pipih masih aku rasakan hingga sekolah menegah atas, selalu dingin karena ibu baru saja selesai mandi. Aku meloncat dari tempat tidur, bergegas mandi dan mengenakan seragam baru yang dibelikan ibu kemarin, aroma khas pakaian baru. Tidak lupa aku mengenakan sepatu yang dibelikan oleh ibu waktu lebaran tahun kemarin, “sudah rapi anak ibu, ayok makan dulu lepas itu kita berangkat”, ibu menyuapi aku nasi dengan telur mata sapi. Aku masih empat tahun dan sekarang aku berada di dalam ruangan kelas dengan anak-anak berumur enam tahun, sama hal nya dengan mereka cuma saja aku belum terdaftar sebagai siswa resmi. Hanya mengikuti yang dijelaskan oleh ibu di depan kelas, sesekali ibu datang ke mejaku yang berada persis di depan mejanya, ia membetulkan caraku memegang pensil. Susah sekali memang belajar menulis untuk pertama kalinya, begitulah seterusnya hingga beberapa bulan kemudian aku sudah bisa menulis dan membaca dengan lancar.
      Atas prestasiku yang bisa membaca diumur empat tahun ibu sering membanggakan aku di depan ibu-ibu yang lain, “Diko umur empat tahun sudah bisa membaca dan menulis,” begitu ibu selalu bilang.
      Ibu tidak hanya terampil mengajar di kelas, bagiku ia adalah sosok yang serba bisa. Suatu kali kami tidak memiliki lauk untuk dimasak, ibu langsung mengajak aku dan ayah pergi ke sungai menangkap udang dan ikan kecil yang nantinya bisa kami santap. Waktu itu aku masih belum bisa berenang, jadi aku selalu berpegangan pada tangan ayah. Kami bertiga menuju hilir sungai untuk mencari udang dan ikan kecil, hingga sore hari setengah kantong yang terbuat dari anyaman daun pandan sudah terisi udang dan beberapa ikan kecil. Tidak hanya kami, kebanyakan dari warga desa masih memanfaatkan alam sebagai sumber kehidupan. Walaupun ibu seorang guru, tapi pada masa itu menjadi guru adalah pekerjaan yang menyakitkan jika diukur dari segi kesejahteraan.
      Sesekali ayah mengajak aku pergi ke hutan untuk menembak burung sebagai lauk makan malam kami, “Ko, kemaren ayah lihat ada pohon yang berbuah, sepertinya banyak burung disana,” ia mengajakku. Terkadang kami hanya pergi berdua ke dalam hutan, sering juga bersama beberapa orang teman ayah. Aku selalu bertugas sebagai tukang kumpul burung yang telah terkena tembakan, kadang kasihan tetapi kami butuh makan. Ayah rela bergelantungan di atas dahan kayu, mengendap diantara semak belukar dan menunggu dengan sabar hingga burung datang menghampiri batang kayu yang ditargetkan. Sama dengan kebanyakan anak lainnya, aku juga sering menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman sebaya, belajar menjerat burung, main perosotan tanah, membuat miniatur kapal lalu kami lombakan di sungai, berbagai macam permainan yang semuanya kami dapatkan secara gratis.
      Tidak terasa dua tahun sudah kami tinggal di desa, dan aku tidak pernah libur sekolah hingga akhirnya surat keputusan ibu keluar, beliau ditugaskan untuk mengajar di sekolah dasar negeri ibukota kecamatan. Aku senang, sekarang aku sudah berumur enam tahun artinya aku bisa menjadi seorang siswa resmi. “besok mulai sekolah lagi, masuk kelas satu jangan malas-malas kayak dulu lagi,” memang aku agak malas waktu masih di desa. Beruntungnya aku, adalah ketika proses belajar dan mengajar terjadi aku hampir paham semua yang diajarkan oleh guru, kali ini bukan ibu lagi yang jadi guru. Aku membaca dengan lancar sehingga teman-teman yang lain iri kepada ku. “anak guru panteslah bisa langsung,” begitu cemoohan yang selalu aku terima. Walaupun begitu aku tidak pernah mendapatkan ranking satu, Ifanna selalu ranking satu dan aku rangking dua begitu terus hingga aku menamatkan sekolah dasar.
      Sekolah menengah pertama adalah masa-masa sulit, karena aku mendapatkan lebih banyak saingan murid-murid yang pintar dan aku adalah orang yang benci dengan matematika. Kehidupan kami semakin sulit, karena tidak hanya aku tetapi dua orang adek ku harus bersekolah, sedangkan gaji ibu dengan penghasilan ayah yang tidak menentu mulai menimbulkan masalah bagi kami. Maklum ayah tidak memiliki pekerjaan tetap, walaupun begitu beliau juga bisa menghidupi kami secukupnya. Kadang beliau berjualan rotan, kayu, kadang buah manggis, kadang sarang walet apapun itu yang menghasilkan uang.
      Suatu sore aku menghampiri ibu yang tengah menggoreng tempe di dapur, wajahnya terlihat sedih, seperti ada sesuatu yang merasuki fikirannya. “kenapa bu?, ada yang salah?”, tanya ku. Ibu menghampiri aku, memeluk ku tidak seperti biasanya, ia menangis, “belajar yang rajin ya nak, pokoknya anak ibu harus lebih baik dari ibu dan ayah, ibu sudah menabung untuk kuliah kamu nanti”, ibu terisak. Aku bingung, air mataku ikut menetes, “iya bu aku janji bakalan membuat ibu bahagia kelak,” aku menahan tangis agar tidak terisak. Waktu itu aku masih kelas dua sekolah menengah pertama. Berbeda dengan teman yang lain aku bahkan tidak punya uang jajan berlebih untuk aku tabung, tidak jarang juga aku tidak jajan disekolah cuma cukup untuk ongkos naik ojek ke sekolah. Aku tidak sedih, tidak takut dan juga tidak gentar menghadapi kenyataan ditengah orang lain mampu hidup berkecukupan. Buktinya prestasiku juga tidak terlalu buruk di sekolah, selalu berada dalam lingkaran lima besar, masih tidak bisa menjadi ranking satu. Aku juga terpilih menjadi ketua OSIS sewaktu SMP, yang aku sendiri tidak paham kenapa aku bisa menjadi ketua OSIS.
      Masa SMP berlalu, sekarang masa yang orang-orang paling indah, masa SMA. Kami masih belum bisa keluar dari masa-masa sulit, tetapi ibu selalu berusaha memberiku semangat, kata-kata tabungan rahasia selalu ia bisikkan ke telinga ku. Beberapa minggu sebelum ujian nasional aku berbicara pada ibu, “bu nanti aku mau melanjutkan kuliah, bagaimana menurut ibu?”, aku sedang mengerjakan PR di meja belajar. “tenang nak..sekarang belajar dulu yang rajin, soal kuliah ibu sudah ada tabungan cukup hingga kamu tamat kuliah”, ibu menenangkan aku. Aku mendapatkan nilai bagus ketika ujian nasional di SMA kecuali nilai matematika, lagi-lagi matematika. Tidak ada hal yang paling aku ingin waktu itu selain melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tingggi, aku ingin kuliah seperti kebanyakan anak lain. Keinginan yang tinggi aku padukan dengan usaha dan doa, aku lulus seleksi dan diterima di perguruan tinggi ternama. 
*ist
      Girang bukan kepalang, aku menagih janji ibu untuk membayar biaya awal kuliah. “bu aku lulus, besok harus daftar ulang, syarat dan biayanya cukup banyak,” aku menyampaikan berita gembira itu. Ibu tersenyum, senang jelas nampak dari raut wajahnya, namun kerut di keningnya seperti ada hal buruk yang sedang ia khawatirkan. “besok ibu temani daftar ulang, kita berangkat pagi-pagi esok,” ibu menenangkan aku.  
      Malam harinya aku mempersiapkan beberapa berkas yang akan aku bawa besok hari, ketika melewati kamar ibu, aku mendengar nya sedang bercakap-cakap dengan ayah. “besok Diko mau daftar ulang, dia begitu bersemangat, sedang kita tidak punya uang, bagaimana yah?”, aku mengentikan langkah. Mereka jelas tidak mendengarkan derap langkah ku, “coba nanti dulu aku akan cari pinjaman buat dia besok”, timpal ayah. Mendengar ucapan ibu aku tertunduk lesu, aku mengerti selama ini dari kecil ibu telah membohongi aku, ia berpura-pura memiliki tabungan untuk kuliah ku, agar aku tetap semangat sekolah. Air mataku menetes, sedang mereka masih berdebat soal uang pendaftaran esok hari, aku pun berlalu kembali menyiapkan berkas, mengigit bibirku.

      Dalam benaku masih berkecamuk, di satu sisi aku ingin sekali kuliah mengecap pendidikan tinggi, sedangkan sisi lain kedua orang tua ku sedang terseok mencukupi kebutuhan kuliah ku. Esok paginya ibu membangunkan aku dengan tangan nya yang dingin menempel di pipi ku, “bangun nak,.. kan mau daftar ulang,” ia tersenyum. Sekarang aku tahu semua kebohongan ibu selama ini, aku sadar ia berbohong untuk kebaikan dan aku tidak akan memberikan celah kegagalan. Kami berangkat, aku serasa kembali menjadi anak umur empat tahun. Ibu....terima kasih atas kebohongan yang pintar selama ini. 
*nanda bismar, 18.10.2015

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )