Gadis Jendela

Aku duduk termanggu menikmati segelas kopi di sebuah warung kopi tepat di tengah blok diantara rumah ku dengan gedung walikota. Adalah suatu kebiasaan bagiku duduk menikmati segelas kopi  dengan satu balok waffle rasa coklat yang disiram dengan saus vanilla. Kebetulan musim dingin, dimana-mana salju menyelimuti, atap gedung tertutup salju, jalanan memutih, mobil yang diparkir pun tak bisa mengelak dari selimut putih salju. Suasana warung kopi sore itu tidak seperti biasanya, kali ini terlihat lebih ramai mungkin karena efek musim dingin. Biasanya aku menikmati segelas kopi sambil menonton filem serial animasi kesukaan ku, tapi kali ini, aku harus menikmati kopi tanpa filem animasi karena tadi pagi aku lupa mengisi baterai laptop. Sembari menikmati alunan musik dengan ritme rendah kadang meninggi, mungkin tergolong musik pop.
Semua orang terlihat begitu gembira, beberapa dari mereka sengaja datang bersama dengan sejumlah orang kawan untuk menikmati kopi dan waffle paling enak di kota ini. Rasa penat selepas kuliah tidak akan terasa jika sudah mencium aroma waffle yang wangi dan jika dimakan akan terasa lembut mulut. Sebenarnya aku lebih suka bagian yang renyah dari waffle karena itu aku memakan pinggirannya terlebih dahulu.

Hujan salju terus turun, aku memandang ke seberang jalan dimana apartmen kelas menengah berdiri kokok lebih tinggi dari warung kopi. Kenapa kelas menengah? Karena memang apartmen itu dihuni oleh umumnya mahasiswa dan para pekerja kelas buruh. Umumnya adalah mahasiswa luar negeri karena tinggal di apartmen semacam itu bisa memberikan mereka keuntungan, selain dekat dengan kampus juga tentunya harga sewa yang tidak terlalu mahal. Beberapa dari mereka hanya berjalan kaki menuju kampus, kebanyakan juga mereka tidak tinggal sendiri karena semakin banyak teman maka harga sewa yang mereka bayar tentu lebih murah. Aku melihat beberapa lampu dari dalam kamar apartemen sudah menyala, maklum sebentar lagi malam menjelang. Dalam hati aku menghitung jumlah jendela dari lantai atas hingga bawah untuk menghilangkan suntuk, pandanganku berhenti pada satu jendela di lantai 10 dimana aku melihat bayangan seorang wanita mendekati jendela, ia menutup tirai sambil melihat keluar jendela. Rambutnya panjang, mengenakan syal yang aku tidak tahu persis warnanya tetapi jelas terlilit di lehernya. Tidak sedikitpun aku memalingkan pandangan, yang aku lihat cuma bayangan seorang wanita.
“hey, apa kabar?”, Toni menepuk punggungku, ia datang bersama dengan Hasan. Beruntungnya aku, mereka membawa laptop dimana kami bisa menghabiskan senja bersama, menonton filem animasi sambil menikmati sepiring waffle. “aku pesan rasa coklat,” Hasan memberikan secarik kertas pesanan kepada pelayan.
Perkenalkan mereka berdua adalah teman baik ku, Hasan adalah seorang warga negara Turki sedangkan Toni berasal dari Kuba, kami bertemu pada musim semi tahun lalu melalui sebuah forum filem animasi. Karena hobi kami yang sama maka tidak jarang kami bertemu dan menghabiskan hari menonton filem animasi. Mereka berdua juga kuliah di kampus yang sama dengan ku, kami berbeda jurusan, Hasan mengambil jurusan sejarah, Toni asik dengan Robotik dan aku sendiri adalah mahasiswa jurusan ilmu politik.
Menjelang pukul delapan malam kami beranjak dari warung kopi, diantara kami hanya Toni yang tinggal dirumah pribadi sedangkan aku dan Hasan tinggal di satu apartmen hanya saja kami beda kamar. Hujan salju masih mengguyur kota, aku dan Hasan mempercepat langkah, walaupun masih satu blok dengan warung kopi tapi salju yang lebat tetap membuat bagian luar jaket parasut kami basah kuyup. Aku segera menuju kamar dilantai 11, membayangkan hangatnya perapian sambil menonton Televisi.
Setelah selesai mengganti pakaian dengan yang lebih kering dan hangat, aku seketika meloncat ke sofa yang persis berada di depan perapian. Sofa itu merupakan kiriman orang tua ku, daerah kami memang penghasil sofa terbaik dengan kapas yang lembut dan kulit bulu domba yang hangat. Karpet merah beludru itu aku pesan ketika Hasan pulang ke Turki dua bulan yang lalu, ia memberikan aku harga spesial karena kebetulan orang tuanya memiliki usaha perdagangan karpet. Kadang aku suka berbaring di karpet itu sambil menonton TV, tetapi kali ini aku lebih memilih menonton di atas sofa. Beberapa serial aku tonton, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tiba-tiba aku mendengar suara dari jendela,”krek...krek...”, rupanya suara jendela yang belum tertutup rapat. Tirainya melayang-layang karena angin mulai kencang jelang tengah malam, aku bergegas menuju jendela bermaksud menutupnya lebih rapat. Melongok ke kiri dan kanan yang aku lihat hanya hamparan salju yang semakin tebal menyelimuti jalan, “warung kopi sudah tutup,”gumam ku. Memang pukul sembilan biasanya warung kopi itu sudah tutup kecuali pada malam minggu, biasanya buka lebih lama.
*Ist
Ketika ingin mengunci jendela, aku kembali melihat ke apartmen di seberang warung kopi, pandangan ku agak ke kiri, tepat di jendela tadi sore, gadis itu kembali berdiri, ia sepertinya sedang menelepon seseorang. Rambutnya yang panjang berkilauan terkena sinar lampu pijar. Lama juga ia berdiri dan aku juga tidak mau beranjak, terus memandanginya hingga akhirnya ia pergi dari jendela dan tidak ada lagi lampu yang menyala. Aku pun beranjak ke tempat tidur, merebahkan badan ingin sekali tidur rasanya. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku tentang gadis yang aku lihat dua kali di jendela hari ini, mungkin ini hanya sebuah kebetulan pikirku. Ah...gadis itu menganggu pikiran ku.
Esok paginya aku bangun lebih awal, walaupun sebenarnya tidak ada jadwal kuliah pagi. Beranjak malas dari tempat tidur, aku menuju jendela untuk menghirup udara segar, kali ini aku tidak lagi melihat gadis yang di jendela semalam. Lama aku berdiri dia tidak kunjung juga menampakkan diri, aku segera menuju kamar mandi.
Jadwal kuliah baru akan dimulai pada pukul sepuluh pagi, jadi aku bisa membuat roti bakar selai kacang kesukaanku. Ibu mengajariku dengan baik soal membuat roti bakar selai kacang, ini adalah selai kacang buatan tangan Ibu, rasanya tidak terlalu manis. Dua balok roti selai kacang siap disantap, tentunya tidak lupa sambil menikmati serial animasi yang tidak pernah ada habisnya. “kringg...kringg..”, telepon genggam ku berdering, “halo..ada apa san? oke nanti bareng ya berangkat”, Hasan mengajakku untuk pergi ke kampus bersama. Tidak berapa lama ia datang, ketika roti selai kacang ku tinggal dua gigitan terakhir. “ayo berangkat,” roti masih memenuhi mulutku. Kami keluar masih dengan jaket parasut yang tebal, walaupun cuacanya cerah tetap saja hawanya dingin menusuk tulang.
Salju tebal dijalanan mulai mencair, tetesan air di pohon menyerbuk jika angin datang menerpa. Kami sekarang berada persis di depan warung kopi, aku melihat ke seberang jalan persis di jendela dimana aku melihat gadis itu. Tiba-tiba seorang gadis keluar dari pintu bawah apartement, dia berdiri persis di seberang jalan sejajar dengan ku. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang, benar saja seorang perempuan dari sebelah kirinya memanggil, dengan setengah berteriak, “Laura..Laura....maaf aku terlambat”, perempuan itu mempercepat langkahnya. Gadis itu bernama Laura, matanya indah, kulitnya putih, rambut sebahu, hari itu ia mengenakan jaket parasut berwarna pink, dengan sepatu boot warna coklat. “kamu lihat apa?, lihat cewek itu ya,” Hasan menarik tanganku. Kami pun bergegas menuju kampus.
Beberapa kali aku selalu melihat gadis itu di jendela kamarnya dilantai 10, hingga suatu pagi aku memberanikan diri berkenalan dengannya. Sengaja aku tidak mengajak Hasan dan Toni ke kampus, aku berjalan pelan hingga warung kopi, “biasanya jam segini pasti ia sudah keluar,” pikirku. Bagai gayung bersambut, ia muncul sama seperti hari sebelumnya di depan pintu bawah apartmennya. Dia melihat ke arah ku yang persis berdiri di seberang jalan dihadapannya, aku gugup dan salah tingkah, tetapi ia tersenyum. Tanpa fikir panjang aku segera menyeberangi jalan yang tidak terlalu ramai, semakin dekat aku semakin gugup.
“hey kamu yang tinggal di lantai 10 kan?,” aku mengulurkan tangan sembari berkenalan. Tidak ada kikuk pada dia yang aku lihat, dia sangat santai, “iya..kenapa? kamu yang sering lewat disini setiap hari kan?,” balasnya tersenyum.
Setelah perkenalan singkat itu aku memberanikan diri mengajaknya ke kampus bersama, jalan kaki tentunya, karena aku tidak memiliki kendaraan pribadi. “kamu jurusan apa?, sepertinya kamu masih baru disini,” aku mulai tidak kikuk mengawali pembicaraan dengannya. “iya, jurusan teknik sipil, semester dua,” jawabnya pendek.
Laura juga bercerita banyak tentang keluarganya yang harus pindah ke Italia karena perang saudara yang terus berkecamuk di negara asal ibunya, Korea. Jelas sekali bahwa ia adalah seorang blasteran Korea dan Italia, matanya yang agak sipit dan tajam mungkin berasal dari ibunya. Aku suka melihat mata dengan alisnya yang hampir menyatu. Beberapa hari setelah masa yang kikuk itu, kami sering bertemu, kali ini tidak hanya berangkat ke kampus bersama, terkadang juga kami pergi ke perpustakaan sekedar untuk berselancar di dunia maya.
“kamu tidak suka menggambar, coba lihat ini, bagus tidak?”, ia menyodorkan selembar kertas padaku. Aku takjub melihat gambar yang ia baru saja selesaikan, sketsa rumah dengan desain minimalis. “aku tidak suka menggambar, karena kalau menggambar aku cuma bisa membuat gunung dan empat petak sawah,” aku mengenang gambar yang sering aku buat waktu masih kecil. “aku juga dulu suka menggambar seperti itu”, dia tertawa lepas.
Suatu hari ia mengajak aku ke taman kota, “akhir pekan ini kamu mau kemana? jika tidak ada acara, bagaimana kalau kita ke taman kota, barangkali ada yang bagus untuk kita potret,” ia mengajakku lewat telepon. Beruntungnya kami memiliki hobi yang sama, aku bukan fotografer profesional tetapi sekedar suka karena foto adalah bagian penting dari kehidupan. Dibadingkan dengan fotografer kelas atas aku masih debu yang beterbangan, lebih suka dengan foto-foto realitas sosial dan keindahan alam.
Pada minggu sore yang telah disepakati kami bertemu di perempatan jalan dekat kantor walikota, kami masih sama-sama mengenakan jaket parasut, dia menutup kepalanya dengan topi goofy yang telinganya memanjang hingga bahu. Kami berkeliling lalu berhenti di beberapa spot yang umumnya adalah hamparan bunga yang kali ini tidak merekah dengan sempurna, maklum musim dingin, ditengahnya terdapat taman bermain bagi anak-anak, jika salju tebal maka permainan lempar bola salju menjadi pemandangan sehari-hari disini. Aku tidak membuang kesempatan, beberapa kali aku mengarahkan lensa membidik senyum manis laura, kami bahkan juga menyempatkan foto bersama.
“bagaimana kalau kita ke warung kopi setelah ini, menyantap satu atau dua balok waffle”, ajakku ketika ia tengah membidik bunga mawar. Ia mengangguk pertanda setuju dengan ajakanku, puas memotret dan berkeliling di taman kota kami duduk sebentar di kursi yang mengarah langsung ke gedung walikota. “coba kamu lihat gedung itu, dibangun pada tahun 1955 oleh seorang arsitektur jerman,” ia menunjuk gedung walikota yang memang berdiri paling megah diantara semua bangunan. Matahari mulai condong ke barat, kilau emasnya menerpa tumpukan salju seperti es serut yang diberi sirup lemon.
Kami beranjak dari kursi dan menuju warung kopi, untuk menyantap waffle plus kopi yang meghangatkan. “waffle strawberry ya, sama kopi arabica,” Laura memang pecinta kopi jenis arabica. Kali ini aku memesan kopi yang sama dengannya, tetapi waffle coklat dengan saus vanilla tetap menjadi pilihan ku seperti biasa. Benar-benar quality time bagi ku, sesekali aku melirik matanya dan ia tersipu malu. “jangan melirik begitu nanti kamu bisa jatuh hati,” ia tertawa. Kami menghabiskan waktu di warung kopi hingga menjelang pukul delapan malam, hingga aku memintanya untuk pulang karena hujan salju semakin lebat.
Selepas malam itu kami selalu bertemu di jendela, kali ini aku bisa dengan mudah mengbunginya jika kami ingin bertemu via jendela. Mungkin ini aneh tapi kami suka melakukannya. Musim salju telah berakhir, bunga-bunga merekah, burung gereja mengepakkan sayapnya dan beterbangan ria di antara atap gedung, matahari terasa lebih hangat. Tidak terasa aku sudah mengenalnya cukup lama hingga kami kerap kali menghabiskan waktu setiap hari. Sesekali ia juga membawakan aku sarapan roti bakar buatannya, meski tidak dilapisi selai kacang tetapi tetap saja enak, kami sering memakannya di perpustakaan.
Sebenarnya aku berharap bisa terus dekat dengannya, namun tidak semua yang kita ingin bisa terwujud, tepat satu malam sebelum ujian semester Laura meneleponku, “kamu sudah tidur? Maaf mengganggu tapi esok pagi aku harus balik ke Italia, ibu sakit keras”, lirihnya. Aku melihat jam weker menunjukkan pukul 01.15 dini hari, bergegas aku ke jendela dimana aku melihat ia tengah berdiri melihat ke arah ku. Ingin sekali rasanya menemuinya langsung malam itu, tetapi itu sangat tidak mungkin karena sudah larut malam, adalah bahaya jika kami keluar pada waktu-waktu seperti ini.
“sebentar lagi ujian, kuliah kamu bagaimana?, ibu pasti akan baik-baik saja”, usahaku menenangkannya. “aku tidak bisa memikirkan kuliah saat ini, tiket pesawat sudah dipesan papa, dan aku harus berangkat jam empat pagi ini ke bandara”, jelas dari suaranya ia bersaha tegar. Aku terdiam, ia melambaikan tangan seolah akan pergi sangat jauh, bagaimana tidak, jarak antara Italia dengan tempat tinggal kami saat ini dalam hitungan ribuan mil.

Beberapa hari setelah kepergiannya kami masih berkomunikasi via email, ia memberitahu bahwa ibunya sedang sakit berat dan masih dalam perawatan khusus, aku terus berusaha menenangkannya. “sepertinya aku tidak bisa lagi kembali ke sana, ibu tidak bisa aku tinggalkan, beliau sakit, senang kenal dengan mu, terima kasih atas hari-hari yang menyenangkan selama ini”, emailnya yang membuat aku semakin terenyuh, terbayang tidak ada lagi hari yang menyenangkan, tidak ada lagi canda tawa. “aku akan ke italia,” balasku singkat. *Nanda Bismar, 11 Oktober 2015

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )