Piring Antik



Suara kokok ayam jantan lengking memecah seisi kampung, diiringi sahutan tahrim yang syahdu menggema di masjid-masjid, seolah ingin membangunkan siapapun yang masih terlelap pada saat itu. Namun tidak halnya bagi Komar, seorang paruh baya dengan satu anak semata wayangnya Rama. Orang-orang memanggilnya Om Komar, karena ia kerap tampil necis ketika keluar rumah, walaupun hanya sekedar pergi ke warung di ujung jalan desa. Sebenarnya ia mendengar suara alunan dari masjid-masjid, tetapi rasa malas lebih kuat ketimbang kemauannya untuk bangun. Perlahan ia membuka mata, berat, lalu ditutupnya kembali, seketika ia kembali menarik selimut karena angin pagi yang dingin menusuk melalui ruas ruas ventilasi kamarnya.

Berbeda dengan isterinya, Mak Ipeh yang sudah sedari tadi berada di dapur, ia dengan sigap menyalakan kompor minyak tanah yang terkadang butuh perjuangan apabila sumbunya sedang tidak dalam kondisi baik. Sesekali ia berteriak memanggil suaminya dan anaknya Rama agar bangun dari tempat tidurnya, tetapi Komar sama sekali tidak peduli, ia semakin menggulung diri meringkuk di dalam selimut katun yang hangat.
“Bangun pak, sudah pagi,”sekali lagi Mak Ipeh berteriak dari dapur, sementara kompornya masih belum bisa dinyalakan sama sekali. Ia geram, suaminya seperti sedang berada diujung mimpi, tidak bergerak sama sekali.
Tidak putus asa dengan tingkah suaminya, Mak Ipeh membuka jendela kamar lebar-lebar agar angin bisa masuk, berulang kali ia membuka dan menutup kembali jendela supaya suara reot jendela dan dinginnya angin bisa membangunkan suaminya. Seketika Komar merasa pipinya ditampar segulungan es, dingin sekali.
“Tutup pintunya, aku masih ngantuk, “ ia merungut
Begitulah hampir setiap pagi keributan antara Komar dan isterinya, penyebabnya hanya satu, sifat malas Komar yang tidak disenangi isterinya, bahkan tidak jarang adu mulut terjadi hingga membangunkan tetangga sebelah rumahnya.
Dalam pikiran Komar setiap hari adalah sama, melakukan hal yang sama dan mendapatkan hal yang tidak berbeda, ia hidup seperti penuh dengan aroma pragmatis. Setiap pagi ia bangun, lalu sarapan dan bergegas menuju kantor tempat dimana hampir separuh hidupnya dihabiskan. Tempat itu adalah di satu-satunya perusahaan perkebunan kelapa yang ada di desa. Siang harinya ia akan balik ke rumah untuk makan siang karena memang jarak antara rumahnya dengan kantor tidak begitu jauh. Begitulah setiap hari.
Foto By Soekarno_Muda
Baginya penghasilan yang ia dapatkan di perusahaan sudah cukup untuk menghidupi keluarganya, dengan cekatan ia bisa mengukur pendapatan dan pengeluaran selama satu bulan penuh. Memang, jika dibandingkan dengan tetangga sekitarnya jelas Komar terlihat lebih berada. Rumahnya dibangun berlantai dua walaupun masih belum selesai sepenuhnya, dengan lantai keramik putih susu, dipagari besi runcing berkilau emas, dan beberapa tanaman bunga tumbuh di halaman hasil kerja isterinya siang dan sore hari.
“ibu, seragam aku mana,” Komar memanggil isterinya dari dalam kamar.
“di lemari pak, laci paling atas,” sahut isterinya dari dapur.
Dengan cekatan komar mencari seragamnya diantara lipatan-lipatan kain yang lain, ia segera berpakaian, rapih, bersih, tidak lupa menyisir rambutnya menyamping ke kanan. Sekarang ia sudah rapi.
“sarapan dulu pak,” Mak Ipeh baru saja selesai memasak nasi goreng ayam.
Komar begitu bersemangat, selain hari ini adalah hari dimana semua karyawan akan menerima gaji, hal lain adalah sepiring nasi goreng ayam buatan isterinya. Tidak butuh waktu lama menghabiskan sepiring nasi goreng. Lalu ia segera mengeluarkan sepeda motor antiknya yang di parkir di garasi kecil samping rumah.
“tolong sepatu aku bu, “ pintanya pada isterinya
Ketika ia akan mengenakan sepatunya, suara Bude Narsih memanggilnya dari luar pagar. “jamu Pak Komar? Eh Om Komar,” teriak Bude Narsih.
“tidak Bude, saya sudah minum teh tadi, “ komar membalas.
Brumm..brumm…suara khas motornya setiap pagi,
“kunci pagarnya bu, “ ia pun melaju meninggalkan halaman rumahnya.
Setibanya di kantor ia langsung menuju ruangan kerjanya, sambil bernyanyi kecil sesekali ia juga bersiul. Baru saja memasuki ruangan kerja ia tertegun melihat semua wajah rekan kerjanya, semuanya terlihat gelisah, gusar, sedih, raut wajah mereka jelas sendu. Beberapa orang mondar-mandir, ada juga yang matanya berbinar dengan wajah memerah. Suara ribut juga terdengar jelas dari ruang makan kantor.
          “setelah ini kita akan kerja dimana?,” dan suara – suara riuh lainnya.
“kenapa?, ada apa!,” Komar menepuk bahu Abidin, teman dekatnya. Tetapi temannya hanya diam, membuat Komar tidak tahan, “kan hari ini gajian, apa gajian ditunda?,” ia kembali menyela. Abidin menatap balik, sorot matanya tajam tetapi raut wajahnya sedih, “ perusahaan kita akan tutup, Mar,” matanya berbinar.
“ah kau yang benar saja, jangan bercanda!,” selidik komar.
Seakan tidak percaya, Komar bergegas menuju ruangan makan kantor, hampir semua teman-temannya berkumpul disana, piring-piring sarapan pagi masih utuh dengan makanan diatasnya, tidak seperti biasanya sudah ludes tak bersisa, bahkan segelas teh pun seperti tidak tersentuh. Canda tawa ruang makan berubah menjadi kecemasan, orang-orang saling bertanya satu dengan yang lain, semuanya panik tak menentu. Semua jawaban sama, isu perusahaan akan tutup terdengar memilukan membuat pikirannya melayang entah kemana.
Suasana riuh tiba-tiba hening oleh suara yang berasal dari pengeras suara kantor, semua karyawan diperintahkan untuk berkumpul di aula kantor. Tidak perlu waktu yang lama, semua karyawan sudah berbaris rapi, tetapi mereka masih bertanya-tanya.  
“ini berat tetapi harus saya sampaikan, “suara getir Pak Drajat dari atas pentas aula.
Beberapa saat Pak Drajat menjelaskan pengumuman penting, jelas ia terbata-bata, rupanya saat ini perusahaan tengah dilanda krisis keuangan, semuanya terdiam mendengarkan. Tidak hanya itu Pak Drajat juga memanggil beberapa nama yang ia bacakan dari secarik kertas.
“yang namanya tidak dipanggil dengan segala hormat diberhentikan dari perusahaan, “ ia melangkah keluar ruangan aula.
Semua karyawan berpandangan, tidak ada wajah yang gembira, karena mereka tidak akan lagi bersama dalam satu perusahaan. Tidak ada yang lebih pilu dari Komar, dia termasuk, namanya tidak dipanggil, ia tertunduk lesu, tubuhnya terasa melayang, dengan gontai ia melangkah menuju meja kerjanya, sejenak ia terdiam melihat beberapa dokumen yang masih berserakan di atas mejanya, sulit baginya menerima kenyataan. Setelah ia merapikan meja kerja untuk terakhir kalinya, beberapa teman datang padanya, dan mereka saling bersalaman.
Langkahnya terasa amat berat, berbagai hal menyangkut silih berganti dalam pikirannya, yang paling berat adalah ia tidak memiliki simpanan untuk menopang hidupnnya setelah ini. Penyesalan yang mendalam tiba-tiba datang, selama ini ia hanya berfoya-foya, menghabiskan uang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak berguna baginya. Tidak sekali dua kali isterinya mengingatkan. Terakhir kali ia membeli sebuah piring antik yang kata si penjual sudah ada sejak zaman kerajaan.
Komar menghela nafas, menyesal, pikirannya berkecamuk tidak bisa membayangkan kesedihan isteri dan anak semata wayangnya. Ia sama sekali tidak menyangka, hari ini adalah hari ia menerima upah untuk yang terakhir kalinya *Nanda Bismar

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)