"Rasaki Inyiak"
Tengah
malam mulai menjelang, angin kencang seolah bergulung menyapu pepohonan dari
puncak bukit, dari kejauhan terlihat sekelompok pemuda tanggung sedang
berkumpul di sebuah rumah kayu yang terletak tidak jauh dari bibir bukit pinus.
Mereka terlihat mengelilingi perapian mempersiapkan suatu rencana, tidak ada
satupun dari mereka yang tidak mengenakan jaket, maklum saja udara di kampung
kami sangat dingin apalagi ketika malam tiba. Masing-masing dari mereka juga
menggengam lampu senter besar, beberapa kali lampu senter mereka arahkan ke
atas pohon durian. Kelompok mereka tidak memiliki pimpinan tetapi ada satu
orang yang berpengaruh, namanya Ismail. Lain dengan kelompok ku, kami tidak
memiliki senter besar tetapi kami punya tekad yang sama, bergerilya mencari
durian di kebun orang lain pada tengah malam. Iya…benar sekali kami adalah
kelompok pencari durian yang hanya akan berkumpul pada musim durian tiba.
Pada
masa itu terdapat filosofi semakin kecil jumlah kelompok maka semakin besar
peluang untuk mendapatkan durian yang banyak. Dari tahun ke tahun jumlah
kelompok ku tidak lebih dari empat orang dengan orang yang sama, Aku, Mahlil,
Hendra, dan Alim. Kami adalah empat orang sahabat sebaya, tidak hanya pada
musim durian, bermain sehari-hari kami juga kerap bersama-sama.
Musim
durian adalah musim yang paling ditunggu oleh hampir semua orang di kampung,
tidak hanya para pemuda tanggung seperti kami tetapi juga para pria lanjut
usia, mereka seakan tidak mau kalah, semua begitu bersemangat. Sebenarnya semua
orang bisa saja membeli buah durian yang banyak dijual ketika musim durian,
tetapi mencari durian pada tengah malam adalah suatu sensasi yang amat berbeda
dan menyenangkan. Jika musim durian tiba hampir tidak ada orang tua yang tidak
mengijinkan anaknya keluar rumah pada malam hari, sebagian malah menyuruh
anaknya untuk keluar malam agar mereka dapat menikmati segarnya buah durian
yang baru jatuh dari batangnya. Malam itu kebetulan malam minggu, artinya aku
dan tiga orang teman akan berkumpul untuk merayap ke dalam kebun durian pada
tengah malam hingga subuh menjelang. Jika kami beruntung maka setiap dari kami
akan membawa paling tidak satu atau dua buah durian pada pagi harinya, siapa
yang mendapatkan durian paling banyak atau berukuran besar maka akan menjadi
kebanggan tersendiri.
Sepulang
sekolah aku langsung berganti pakaian dan makan dengan tergesa gesa,
“pelan-pelan makan nya nak, nanti perut mu sakit,” ibu mengingatkan aku. Tetapi
aku terlanjur bersemangat, seketika nasi dan lauk habis tak tersisa. “ibu aku
pergi dulu,” aku bersorak dari halaman rumah. Selepas sholat jumat kemarin,
kami sudah berjanji akan berkumpul pada sabtu siang untuk mempersiapkan segala
sesuatu yang akan dibutuhkan nanti malam, sesampainya di rumah Hendra, ketiga
orang teman ku sudah asik dengan senternya masing masing. Maklum saja senter
adalah bagian penting untuk berjalan pada malam hari, tanpa senter hanya ada
keajaiban untuk mendapatkan durian. Aku pun mengeluarkan senter yang semula aku
selipkan di saku belakang celana, “Lim coba deh lihat senter aku, cahayanya
agak redup padahal baterainya masih baru,” aku memberikan senter isi baterai dua
kepada Alim. Ia pun memeriksanya dengan seksama, tangannya cekatan membongkar
senter milikku, sementara Mahlil asik memantulkan cahaya senternya ke dinding
kamar mengatur besaran cahaya. Diantara kami hanya Hendra yang punya senter
besar baru dengan baterai empat, cahanya nya menyilaukan mata, maklum ayah Hendra
adalah seorang pemburu babi pada malam hari, peralatan senternya lengkap. Sebentar
saja Alim kembali membuat cahaya senter ku kembali terang, rupanya penghubung
antara baterai dan bola lampunya agak renggang.
Setelah
semua siap, kami merencanakan rute yang akan dilalui pada malam hari, “pertama
kita ke kebun Pak Samat, lalu kebun di pinggir bukit pinus, sepertinya malam
ini akan ramai, “ tukas Hendra.
Walaupun
kami mencari buah durian ke kebun orang lain tetapi kami juga memiliki etika,
misalnya jika sang empunya durian sedang menunggui duriannya pada malam itu
kami tidak akan ikut mencari durian disana melainkan kami akan mencari ke tempat
lain atau menunggu sang empu pergi karena bosan atau sudah mendapatkan durian yang
cukup. Semua dari kami sepakat dengan usulan Hendra, kami akan bertemu lagi
setelah selesai makan malam. Aku pun kembali pulang ke rumah, membersihkan diri
dan makan malam bersama keluarga. Jika musim durian tiba, ibu pasti tahu bahwa setiap malam minggu aku berada dirumah, jadi
tidak sungkan lagi untuk meminta izin. “jangan lupa pakai jaket,” ibu
memberikan jaket kulit milik bapak padaku.
Rumah
Hendra memang tidak berada jauh dari rumahku, tetapi maklum saja di desa tidak
ada lampu penerangan jalan, jadi aku harus menyalakan senter melewati kebun coklat
dengan merunduk perlahan. Wajah Hendra sumringah, ia terlihat bersemangat
sekali ketika aku datang, menyusul tak berapa lama Alim dan Mahlil yang selalu
mengenakan penutup kepala hingga hanya kedua belah mata dan hidungnya saja yang
tampak. “tunggu apalagi ayo kita jalan!,” Alim langsung mengajak kami. Serentak
dari kami langsung mengikuti langkah Alim karena memang dia biasanya yang
memimpin jalan. Pada malam minggu begini tidak heran jika kampung akan ramai,
cahaya senter silih berganti membalas dan terlihat melayang dari kejauhan, hal
itu seolah menjadi pertanda bahwa beberapa orang sedang berjaga di bawah batang
durian. Beberapa orang juga menyalakan api sebagai pertanda dan tentu saja kami
tidak akan datang kesana.
Kami
memilih berdiam di pondok kayu milik Pak Samat, sambil menyalakan api sesekali kami
mematut matut buah durian yang masih menggantung di tampuknya. “buahnya cukup
lebat,” gumamku. Menjelang tengah malam tidak satupun buah durian jatuh dari
tampuknya, merasa putus asa kami pun melangkah pergi, tiba…tiba…dentuman keras terdengar
menimpa tanah,..tanpa pikir panjang kami langsung berhamburan…saling sikut…adrenaline
serasa dipacu…tidak berapa lama ”hey sudah…sudah tidak usah cari lagi ini dia
buahnya,” Alim tertawa kecil memperlihatkan buah durian yang ia dapat. Tentu saja
kami bertiga kesal, tetapi itu hanyalah sebagian kecil dari keseruan kami dan
masih banyak batang durian yang akan kami jelajahi. Semakin pagi udara semakin
terasa menusuk tulang, tetapi kami masih merayap di dalam kebun durian hingga
cahaya sang surya perlahan menampakkan kilaunya di ufuk timur, malam itu hanya
aku yang tidak mendapatkan durian, ah malangnya. Begitulah kami setiap malam
minggu jika musim durian tiba, biasanya dua sampai tiga bulan, terkadang kami
membawa banyak durian untuk dimakan, tak jarang juga hanya tangan kosong yang
kami bawa pulang.
Sekarang
musim durian telah melewati masa jatuh beruntun artinya buah durian telah mulai
berkurang, hanya tinggal dua hingga lima buah saja yang masih menggantung di
tampuknya. Lelucon kami menyebutkan “durian tampuk besi” namun dibalik itu kami
percaya bahwa durian yang paling lama bertahan adalah durian dengan rasa yang
paling lezat. Kini malam minggu tidak lagi seperti biasa karena selain buah
durian yang telah sedikit, ada legenda yang lebih mengerikan sehingga membuat
orang di kampung tidak akan berani menghampiri batang durian menjelang musim
berakhir. Kisah adanya “rasaki inyiak” menjadi penghalang utama niat kami,
tidak ada yang berani mengambil resiko untuk keluar malam. Bahkan ada cerita
bahwa kerap kali ditemukan kulit buah durian yang terbelah di tengah-tengah
kebun padahal tidak ada orang maupun pemilik batang durian yang datang. Kami percaya
bahwa “inyiak” atau dalam kepercayaan kami sebagai sosok harimau jelmaan para
leluhur juga mempunya rejeki pada musim durian tiba. Tidak ada hal yang
merugikan kami selama ini, tetapi kepercayaan telah kami pegang teguh hingga
saat ini, hanya sedikit saja dari kami yang sanggup bepergian ke batang durian
pada menjelang penghabisan buah durian, tidak hanya malam namun juga siang
hari. Legenda “inyiak” membuat kami tidak merasa terganggu, karena musim durian
juga akan terus datang setiap tahun walaupun sekarang susah ditebak bulan-bulan
yang menyenangkan itu. *Nanda Bismar, 04
September 2016.
Comments
Post a Comment