Kampung Keling

Kota Medan masih semberawut, setidaknya itu adalah pendapat pertama yang saya rasakan ketika kembali menginjakkan kaki di Ibukota Sumatera Utara tersebut. Kira-kira dua tahun lebih saya sudah tidak pernah lagi berkunjung ke Medan, kebetulan ada urusan kantor maka saya kembali mendatangi Medan. Agaknya kata semberawut bukan saja cocok untuk Kota Medan tetapi juga beberapa kota besar di Indonesia, kondisi jalanan yang macet adalah pemandangan utama nan lazim. Sangat tidak penting kenapa saya datang ke Medan, karena hanya urusan kantor biasa yang akan membosankan jika saya ceritakan.
Perjalanan dari Pekanbaru menuju Medan bisa ditempuh dalam waktu satu jam jika menggunakan pesawat terbang, apabila dengan bus…yaaa bisa satu hari semalam. Soal naik bus untuk perjalanan jauh saya sudah kapok, sakit pinggang dan kepala, walaupun kadang naik pesawat juga tidak kalah pusingnya, maklum masih belum terbiasa ditambah lagi saya takut dengan ketinggian. Kondisi kesehatan saya ketika mau berangkat memang kurang fit, alhasil ketika pesawat akan landing kepala saya terasa sakit seakan mau pecah, telinga berdengung, ingin rasanya cepat sampai di hotel untuk tidur. Adalah perjalanan dari bandara ke hotel yang memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan Pekanbaru Medan, jalanan macet karena pas jam pulang kantor, belum lagi becak motor yang kalau mau belok cuma dia dan tuhan yang tau.

Satu jam lebih dari Bandara Kuala Namu akhirnya kami sampai di hotel, kepala saya masih terasa sakit, sesampainya di kamar saya merebahkan diri sejenak sambil menunggu air matang di teko listrik. Barangkali secangkir teh bisa mengobati sakit kepala yang terasa ngilu di antara dua mata. Sembari menikmati secangkir teh saya melepaskan pandangan jauh ke depan menyusuri deretan rumah, hingga terlihat dua puncak bukit menjulang tertutup awan. Deretan rumah dan gedung pencakar langit pemandangan khas kota besar. Aroma dan rasa teh lumayan membuat rileks, saya tidak buru-buru menghabiskan, saya menikmati sedikit demi sedikit, tiba-tiba saya teringat sebelum berangkat ke Medan saya mengajak Pak Helmi untuk bertemu, karena memang beliau sekarang telah bertugas di Medan. Dahulu kami satu bendera perusahaan, beliau adalah atasan saya, bagi saya tidak hanya atasan tetapi juga seperti guru dan bapak sendiri. Saya dengan sigap meraih telepon genggam, mengirimkan pesan bahwa saya telah tiba di Medan dan mengajaknya bertemu. Tidak menunggu lama beliau mengabari, setelah magrib dia akan mengajak bertemu, senang sekali tentunya.
Senja menjelang, matahari turun memancarkan sinar keemasan masuk menembus jendela kamar yang memang sengaja saya buka. Tidak ada perbedaan waktu yang terlalu jauh antara Pekanbaru dan Medan, hanya saja masuk nya magrib sedikit lebih lama disini, saya segera membersihkan diri, mandi dan merapikan pakaian yang akan di pakai untuk esok hari.
Selesai mandi terasa lebih segar walaupun sakit kepala masih terasa, kringg…kring…telepon genggam saya berdering, Pak Helmi rupanya, “ Nanda nanti kita jadi keluar ya, kira- kira setelah magrib soalnya aku mau buka dirumah dulu, “ seperti biasa memang beliau rajin puasa senin kamis. “oke pak saya tunggu di hotel ya,” sahut saya.
Kira-kira jam setengah delapan telepon saya kembali berdering, “ Nanda kamu tunggu di lobby ya, saya sudah dekat, “ pinta beliau. Saya langsung berganti pakaian dan turun ke lobby hotel, tidak berapa lama saya melihat sebuah mobil SUV masuk dan berhenti di depan hotel, tanpa pikir panjang saya langsung menemui beliau. “silahkan masuk Nanda, kamu apa kabar, “ kami berjabatan tangan tanda bahwa kami cukup lama tidak bertemu. “saya baik pak, semua baik keluarga juga baik,“ timpal saya. Malam itu pak helmi mengenakan pakaian gamis berwarna ungu kebiruan sedangkan saya celana jeans hitam dengan sweater hitam. Pertengahan tahun 2014 adalah terakhir kali kami bertemu berarti dua tahun sudah kami tidak bertemu lagi, walaupun terkadang komunikasi via telepon masih terjalin. Kami sama-sama mengomentari postur badan masing-masing, “kau terlihat kurus sekarang, kenapa?,” logat bataknya kental.
Mobil yang beliau kemudikan dengan santai memasuki jalanan yang cukup padat, lebih padat lagi jika malam minggu tiba jelas Pak Helmi. Di dalam mobil kami tidak berhenti bercerita, saya suka dengan tutur bahasa beliau, tegas dan lembut. “besok saya harus ke Sabang, ada acara kantor hingga hari minggu jadi malam ini adalah waktu untuk ketemu kamu,“ matanya terus sigap menatap jalanan di depan kami. Rasanya cukup tersanjung beliau masih menyempatkan waktu untuk bertemu dengan saya di sela kesibukannya. Tidak berapa lama mobil yang kami kendarai berhenti di pinggiran jalan yang cukup padat, saya melihat sebuah kuil hindu persis di depan kami, “ ini namanya kampung keling, lihat tukang parkirnya juga orang keling,” beliau menjawab sebelum saya bertanya. Memang benar di sekitar kami banyak terdapat orang keturunan India atau orang keling Medan. Para turunan India yang tinggal di Medan konon katanya memulai kehidupan mereka di tepi sungai yang terdapat tidak jauh dari daerah kampung keling saat ini.
Awalnya kami kesulitan mendapatkan tempat parkir, tapi tukang parkir yang lengkap masih berseragam orange dengan sigap mencarikan tempat parkir yang aman bagi kami. Pak Helmi dan saya turun, beliau mengajak saya menikmati sepiring nasi goreng, eittsss …tunggu dulu yang saya cicipi adalah bukan nasi goreng biasa. Warungnya makannya tidak terlalu besar tetapi ramai, sebelum nasi goreng pesanan saya datang sepiring sate kerang sudah tersedia di meja kami, yang membuatnya juga orang keling, saya takjub. Begitu hidangan utama datang saya sempat berfikir adalah sepiring nasi goreng biasa dengan telur mata sapi diatasnya, tanpa hiasan apapun di piring, hanya bawang goreng. Pertama kali mencicipi saya langsung merasakan bedanya dengan nasi goreng pada umumnya, “enak pak, tidak terlalu berminyak dan rasanya unik, “ saya terus menyantap. Pak Helmi tersenyum, “itu dibuat pakai margarin dan dimasak diatas tungku kayu, disini dinamakan nasi goreng polda karena dulunya di depan ini polda”. Tidak lupa saya mencicipi sate kerang yang terasa lembut dan manis di mulut, sambil menikmati hidangan, Pak Helmi meminta lagu pada pengamen jalanan. Jogjakarta dari Koes Plus.
*Saya dan Pak Helmi usai menyantap nasi goreng Polda
Obrolan kami kesana kemari, sesekali kami tertawa lepas tidak lupa ia sertakan nasihat-nasihat kepada saya, anjuran untuk selalu berusaha berbuat baik adalah hal yang paling sering ia katakan. Bagi saya hal itu juga telah mengubah cara pikir dan pola hidup saya selama ini. “selagi masih muda bantulah kedua orang tua kamu, itu adalah jalan yang akan memudahkan kamu, “ nasihat beliau. Perut saya pun kenyang, rasanya puas bisa menikmati salah satu sajian khas Kota Medan.
Rupanya beliau masih ingin memperkenalkan makanan khas Kota Medan kepada saya, lepas dari warung nasi goreng beliau mengajak saya untuk mengunjungi satu tempat lagi, tetapi bukan untuk makan melainkan untuk mencicipi minuman bandrek yang sering beliau kunjungi bersama isteri. “kalau ke Medan kau harus coba minum bandrek disini, buka sampai jam satu pagi, yang bikin bukan orang kita tapi keturunan arab,” jelas Pak Helmi. Memang Medan terkenal dengan keragaman etnik yang ada sehingga sulit menentukan mayoritas etnik yang menghuni Kota Istana Maimun tersebut. Cukup lama juga kami berbincang di warung bandrek hingga akhirnya Pak Helmi mengajak saya kembali ke hotel, di tengah perjalanan beliau mengajak untuk mencicipi durian ucok, satu lagi tempat nongkrong yang khusus menyediakan durian dan berbagai hasil olahannya, “wahh..saya sudah kenyang pak, lain kali saya akan coba duriannya, “ mobil kami melaju melewati pondok durian ucok yang empunya adalah orang minang.

Senang rasanya bisa bertemu lagi dengan beliau, selalu ada nasihat baru yang beliau sampaikan, rasa optimis yang begitu kuat jelas terpancar dari sorot matanya. *Nanda Bismar, 20 Agustus 2016.   

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )