Kembali ke Masa Lalu
Setelah
dua bulan vakum dalam segala bentuk kegiatan tulis menulis, pagi ini selepas
menyeduh segelas susu saya dengan sigap meraih notebook yang belakangan ini
juga jarang dibuka. Beberapa hari yang lalu sempat saya gunakan untuk mengunduh
beberapa filem, ah jadi teringat masa-masa kuliah dimana mengunduh filem adalah
kegiatan sampingan yang kadang jadi prioritas utama di sela-sela kesibukan
kuliah. Tengok saja di sudut-sudut kampus yang menyediakan wifi gratis maka
disitulah para aktivis unduh filem berada, mereka rela berjam-jam menunggu
hanya untuk mendapatkan satu atau dua filem yang mereka suka, bagian yang tidak
enak adalah ketika tiba-tiba seroang kawan datang dan berkata, “ bagi filemnya
dong”, dengan wajah yang amat polos. Tetapi bagi sebagian teman yang memiliki
perasaan maka ia akan ikut dalam ajang unduh filem dengan skema unduh filem
yang berbeda dan nanti apabila sudah selesai filem tersebut akan di barter.
Selaku
pecinta filem saya tahu persis filem-filem apa yang mereka pertukarkan, mulai
dari filem animasi, serial animasi, filem aksi, filem romansa, dalam pada itu
ada porsi yang cukup lapang untuk pertukaran filem semi dewasa. Hanya beberapa
saja dari mereka yang mengunduh filem dokumenter dan berbau sejarah karena
mungkin agak membosankan.
Saya
kira sudah cukup bernostalgia ria pada salah satu momen keindahan semasa di bangku
kuliah, jika saya jelaskan secara rinci maka tak akan cukup pagi ini. Beberapa kali
dalam sela tulisan ini saya sruput susu yang tidak terlalu manis, sembari
membuka toples berisi wafer yang baru dibeli tadi malam, satu toples lagi
berisi kacang kulit rasa bawang putih. Saat ini saya belum cuci muka dan gosok
gigi, perasaan sedih begitu membuka blog mengurungkan niat untuk mencuci muka. Sesekali
saya melayangkan pandangan pada tumpukan buku yang saya taruh bersusun di atas
sebuah kotak rice cooker, maklum saya belum punya lemari buku yang bagus untuk
beberapa buku itu, “kalian telah membuat blog sepi”, pandangan itu saya
lepaskan.
Sekarang
susu yang saya seduh sudah habis, tinggal wafer dan kacang yang sesekali saya
kunyah. Karena begitu lama tidak menulis saya jadi teringat akan kata-kata
salah seorang penulis terkenal Indonesia, Dewi Lestari Simangunsong...sang
penulis pernah bilang, “write what you
know dan what you do”, apa itu artinya?, kurang lebih seperti ini, tulislah
apa yang kamu tahu dan kamu alami, yap benar sekali itu adalah cara paling
mudah untuk menulis. Bilamana nanti kita sudah tiada maka semoga karya ini
tetap menjadi pengalaman berharga bagi semua orang.
Sebentar,… saya mau cuci gelas dulu, maklum
gelas hanya satu di kamar jadi harus dipakai bergantian, sekarang saya haus dan
harus minum. Ahhh…segarnya…mari kita lanjutkan lagi, kali ini di minggu pertama
suasana hari raya Idul Fitri saya hanya akan sharing pengalaman dan sensasi
lebaran tahun ini sekaligus evaluasi resolusi 2016 yang saya tulis di awal
tahun. Evaluasi adalah penting untuk menilai setidaknya mengingat kembali apa
yang telah kita rencanakan, skemanya adalah rencana, implementasi, dan
evaluasi.
Masih
sama dengan lebaran sebelumnya, saya dan seluruh anggota keluarga, Mama, Papa, Erit,
Debi, Satria berlebaran hari pertama di kampung halaman, bagi yang tidak tahu
dimana kampung halaman saya bisa bertanya langsung di kolom komentar…eheheh :D.
Hanya sekali dalam hidup saya tidak berlebaran di kampung dan rasanya lebaran
amat tidak lengkap. Sekitar pukul tujuh pagi sholat Ied dimulai kami bertolak dengan
menggunakan mobil hasil rentalan yang memang sengaja saya rencanakan agar kami
bisa berkumpul dan tertawa bersama menjelang sampai di kampung, sebelumnya kami
selalu pulang dengan menggunakan sepeda motor, tidak ada salahnya juga saya
mengeluarkan sedikit biaya lebih demi gelak tawa yang tidak ternilai harganya. Benar
saja walaupun hawa dingin menusuk jantung, kabin mobil yang dikendalikan oleh
papa penuh dengan canda tawa, saya amat senang, jalur yang sebenarnya cukup
ekstrim kami lewati dengan suasana suka cita.
Hingga
setengah jam kemudian kami telah sampai di halaman masjid yang sudah dipenuhi
oleh orang-orang yang berpakaian serba putih. Hari itu hampir semua orang bergerak
menuju masjid satu-satunya di kampung, sesekali terdengar suara letusan petasan
yang juga sering saya mainkan sewaktu kecil. Sekali pernah saya nekat
meledakkan petasan dengan cara memegangnya sehingga ujung telunjuk imut ini
berdarah, ah betapa bodohnya masa kecil. Selepas menunaikan sholat Ied bersama,
kami dalam hal ini tidak hanya keluarga saya tetapi hampir semua kelurga besar
berkumpul di rumah gadang, tempat dimana kakek dan nenek membesarkan tujuh
orang anaknya. Tidak ada yang berbeda, karpet dibentangkan lalu kami duduk
bersama, makan pagi bersama, mulai dari anak nenek, cucu, hingga cicit,
semuanya penuh dengan suka cita dan keriuhan. Seperti biasa selepas makan
bersama kami tidak lupa berdoa atas diberikannya rejeki dan keselamatan sembari
berharap dengan sangat ramadhan tahun depan tetap bisa berkumpul kembali.
Ritual Tahunan Doa Bersama di Rumah Nenek |
Setelah
ritual tahunan itu berlangsung saya dan mama mulai bersilaturahmi ke
rumah-rumah sanak family sebagai tanda bahwa kami adalah bagian dari mereka
begitu juga sebaliknya, setelah mengunjungi rumah anak nenek yang paling tua,
mama mengajak saya untuk berkunjung ke rumah dimana tempat masa balita saya
dihabiskan, rumah itu terletak sekitar tujuh kilometer dari kampung dengan
kondisi jalan yang cukup buruk. Begitu sampai mama terlebih dahulu memasuki
rumah, diikuti saya yang tiba-tiba langsung dipeluk oleh seorang wanita paruh
paya dan seorang lelaki yang juga paruh baya, “ndehh,,alah godang anak apak yeh”,
logat khas orang Limapuluh Kota, memang daerah itu sudah masuk Kabupaten Limapuluh
Kota. Saya tidak kaget karena disepanjang perjalanan mama mengurai cerita
bagaimana pahitnya masa kecil dirumah itu, mulai dari memakai popok dari karung
beras yang dijahit oleh mama hingga tinggal disebuah pondok di dalam kebun,
kehidupan masa itu amat sulit dan pedih, dalam masa menyetir mobil saya menelan
ludah beberapa kali untuk menyembunyikan raut muka sedih yang sebenarnya tidak
kuasa lagi ditahan.
Sekarang,
26 tahun sudah saya kembali kerumah dimana saya berasal, semua pengasuh dan
tetangga pada masa itu memeluk dan mencium saya dengan erat, bahkan bapak yang
tadi memeluk saya tidak percaya bahwa saat ini saya masih hidup dan terlihat
sehat. Beberapa kali beliau melirik saya lekat seakan tidak percaya, saya amat
senang bisa bertemu dengan orang-orang yang begitu mencitai dan merawat saya
sejak kecil. Walaupun kami tinggal di daerah yang kala itu masih tertutup hutan
tetapi semangat hidup tidak pernah kendur sedikitpun. Sekarang keadaan sudah
berbeda, beberapa orang disana telah memiliki perkebunan jeruk dan saya
menyempatkan diri untuk memetik beberapa buah jeruk untuk dibawa pulang. Puas melepas
rindu dan mengenang masa lalu, saya dan mama berpamitan pulang. Jeruk yang baru
saja kami petik terasa manis dan segar menemani perjalanan pulang ke rumah
nenek.
Setibanya di rumah
nenek kami sekeluarga kembali berpamitan, dari sorot mata beliau jelas terlihat
masih rindu dengan cucu-cucunya yang hanya bertemu sekali dalam satu tahun. Tidak
lupa pesan dan nasihat beliau sampaikan pada kami. Beberapa saat kemudian mobil
yang kami tumpangi melaju meninggalkan kampung halaman, garis kuning emas
langit menjelang malam jelas terlihat di beberapa puncak bukit menjulang yang
kami lalui. Rasa senang dan suka cita mampu menghapuskan lelah hingga kami
selamat kembali sampai ke rumah. Rumah baru kami (masih belum jadi 100 %). Setidaknya kami sudah bisa tempati dan
evaluasi tahun ini masih berjalan sesuai skema. Puji dan syukur hanya pantas
untuk-Nya. *Nanda Bismar
Jadi dima kampuang bg??
ReplyDelete