Batu Hujan
Dua
minggu sudah Herman tidak menginjakkan kaki di ladang yang dua bulan lalu telah
ia panen, hasil panen wortelnya tidak seberapa karena cuaca yang tidak menentu.
Tidak hanya Herman, beberapa tetangganya juga mendapatkan hasil panen yang sama,
hampir seisi kampung terlihat lesu. Pagi itu Herman bergerak malas dari tempat
tidurnya, jika bukan karena ditarik oleh Surai, sang isteri, mungkin ia tidak
akan bangun hingga tengah hari. “bangun mas, bangun..sudah siang, katanya mau ke
ladang hari ini,“ Surai menarik kaki sang suami yang telah ia nikahi 10 tahun
silam. “sebentar lagi dik, semalam aku kan ikut ronda, “ balas Herman kembali
menarik selimut. Tidak heran jika dipagi hari semua orang betah berdiam diri
dikasur yang hangat dengan selimut tebal karena memang kampung yang mereka
diami terletak di lereng gunung, hawa dingin menusuk tulang, bahkan sebagian
orang masih mengenakan kain sarung di luar rumah pada siang hari. Tidak mau
kalah, Surai kembali menarik kaki suaminya, kali ini dengan sentakan yang cukup
kuat, “bangun mas ..jangan seperti anak kecil, ini sudah siang, lihat di dapur
tidak ada yang bisa kita masak!, “ bentak Surai.
Tidak
tahan dengan omelan sang isteri, Herman yang masih setengah telanjang beranjak
dari tempat tidur, ia berjalan gontai menuju sumur belakang rumah lalu membasuh
mukanya. “tidak ada gunanya juga aku meminta kopi, pasti tidak akan ada kopi
untuk dibuat,” pikir Herman dalam hati. Dalam angannya masih melekat bagaimana
cara mengolah ladang yang kering kerontang karena hujan tidak kunjung turun,
bahkan tanah pun mengeras tidak bisa dibajak apalagi dicangkul. Kembali dari
sumur ia mendapati muka Surai masih masam merah, rambutnya kusut, belum lagi Surai
berbicara Herman sudah menyambar baju kaosnya lalu pergi. “aku mau ke warung
dulu,“ kesalnya.
Beruntung
anak semata wayang mereka tidak mendengar percakapan kedua orang tuanya, karena
pagi sekali Akil telah berangkat sekolah, jelas Herman tidak sadar ketika
anaknya pamit pergi sekolah.
“kopi
satu sama pisang gorengnya mbok,“ Herman meminta pada Mbok Ras empunya warung.
“dibayar apa ngutang lagi?,“ timpal Mbok Ras. Tanpa menjawab Herman hanya
tersenyum. Beberapa temannya yang lain juga sesama petani tengah asik mengobrol
bagaimana cara agar hujan bisa turun di kampung mereka, “Man gimana kalau kita
coba buat saluran air dari kepala air kampung sebelah, “ tiba-tiba salah
seorang teman menepuk punggung Herman. Suasana warung Mbok Ras riuh
membicarakan pasal hujan yang tidak kunjung turun, Mbok Ras sendiri yang tidak
punya ladang juga merasakan dampaknya, bagaimana tidak, hanya sedikit pelanggan
warungnya yang membayar makanan dan minuman yang telah mereka santap pada hari
itu juga, selebihnya bon alias ngutang hingga panen datang.
Mbok
Ras percaya begitu saja karena sudah hafal betul dengan perangai para pelanggannya.
Cerita berbeda tentunya akan terjadi jika musim panen tiba, Mbok Ras bisa ketiban
untung berlipat-lipat karena siang malam warungnya tidak pernah sepi pelanggan.
Maklum warung satu-satunya yang ada di kampung.
Hilir
mudik omongan masih seputar hujan, “tidak mungkin kita membuat saluran air dari
kampung sebelah yang juga tidak cukup air untuk ladang mereka, bagaimana
mungkin kita akan meminta airnya,” sanggah Herman pada temannya. Jelas sekali Herman
menahan seleranya untuk melahap pisang goreng karena ia tidak ingin hutangnya
terlalu banyak. “benar juga kamu Man, tapi bagaimana dengan ladang kita, atau
kita alihkan air mereka ketika malam hari, “ temannya mencoba merayu Herman.
Mendengar ucapan kawannya, ia berdiri, wajahnya mengkerut, “itu bukan solusi,”
balas Herman. Walaupun tidak memiliki banyak uang dan hidup serba kekurangan, ia
sama sekali tidak pernah berniat untuk mencuri atau berbuat merugikan orang
lain.
Dua
potong pisang goreng membuat perutnya kenyang, ia sama sekali tidak ingat dengan
perut isterinya, rupanya kesal karena tadi pagi masih ia rasa. Kembali bingung
menghantuinya, bagaimana tidak, jika ia pulang sekarang maka tidak lain adalah
murka Surai yang akan ia dapat, “ah lebih baik aku pergi ke ladang saja, akan
lebih baik jika bisa santai berteduh di pondok,” pikir Herman. Tidak lama
setelah Herman pergi meninggalkan warung Mbok Ras, istrinya datang
tergopoh-gopoh, “mbok, Mas Herman tadi kemana?, ngumpet disini pasti,” Surai penuh
nada curiga. Mbok Ras yang sudah paham dengan suasana pun menjawab sambil
melempar senyum, “tadi dia disini, tapi sudah pergi…katanya mau ke ladang,” Mbok
Ras memasang beberapa tutup toples kue yang masih terbuka. Mendengar ucapan Mbok
Ras, amarah Surai mereda, setelah mengucapkan terima kasih ia pun pergi.
Terik
cahaya matahari tengah hari terasa menusuk ubun-ubun Herman, ladangnya cukup
jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, maklum ia tidak punya sepeda motor
atau sepeda ontel yang bisa ia kendarai menuju ladang. Satu-satunya sepeda
motor butut peninggalan bapaknya telah ia jual untuk membayar persalinan ketika
anak semata wayangnya lahir. Semua ludes. Biasanya ia menumpang dengan tetangga
yang satu arah ladang miliknya, tapi kini jalan menuju ladang sepi, hanya lalu
lalang beberapa orang dari arah ladang setelah memberi ternak mereka makan di
pagi hari. “woi mau kemana kau Man?, kering begini bisa apa?, “ Pak Raden menyapa
Herman, ia baru saja memberi makan sapinya, bahkan sekarang rumput pun harus ia
beli. Hanya tertawa kecil lalu Herman pun berlalu. Melewati beberapa ladang
milik orang lain dengan jalanan agak menanjak akhirnya Herman sampai di ladang
satu-satunya yang ia miliki, beberapa bulan yang lalu di kiri dan kanannya tumbuhan
hijau dengan berbagai macam sayuran, sekarang pemadangannya jauh berbeda,
gersang, kering dan panas. Beberapa petak dari ladang Herman masih ada yang
mencoba menanam sayur lobak, namun kelopaknya terlihat menguning kering.
Tidak
ingin terbakar matahari ia pun bergegas menuju pondoknya, dari atas pondok ia
bisa melihat hamparan lahan yang tiada lagi bisa ditanam, bahkan sebagian ada
yang telah dipenuhi gulma, tidak banyak memang warisan ladang bapaknya, tetapi
selama ini cukup untuk menghidupi ia bersama Surai. Biasanya pohon pepaya yang
tumbuh di belakang pondok berbuah lebat hingga menyentuh tanah, namun ketika ia
membuka jendela belakang yang ada hanya bunga pepaya telah berwarna coklat, tidak menjadi buah.
Sesaat
ia merebahkan diri, pikirannya melayang kemana-mana, mau buka usaha lain ia
tidak mengerti, mau cari kerja ia tidak punya ijazah, jangankan ijazah
pengalaman kerja tidak ia miliki. Semasa bapaknya masih hidup Herman tidak
diperbolehkan bekerja, apa yang ia minta pasti dapat, mainan baru, makanan
enak, baju baru, apapun itu. Kehidupan yang serba mewah berakibat pada rasa
malas yang tiada henti, tidak punya akal banyak untuk berbuat hal lain, semua
terasa buntu pada akhirnya. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, diantara
lamunan Herman tertidur, kepalanya hanya beralaskan karung bekas yang
ditumpuk-tumpuk.
Dalam
tidurnya Herman bermimpi, seseorang datang kepadanya, “ambillah batu ini, akan
berguna untuk mu,” bapak tua berjenggot putih memberikan batu hitam berkilau,
namun belum sempat ia gapai batu itu terasa jatuh dari tangannya berguling ke
bawah pondok. Herman yang kaget pun terbangun, badannya penuh dengan keringat,
teringat akan mimpinya ia bergegas menuju bawah pondok tempat beberapa ekor
ayam peliharaannya. Ia seperti orang yang sedang kalap, mengais-ngais tanah
mencari sesuatu, rupanya ia percaya dengan mimpi yang barus saja ia alami.
“pasti ada, pasti ada batu itu, “ tangannya terus mengais-ngais tanah. Tidak
lama di sudut pondok tangannya membentur sesuatu yang keras, bulat lonjong, ia
terus mengais lebih dalam, betapa kagetnya ia menemukan batu hitam berkilau
sebesar telur angsa, dengan cepat Herman membawanya ke atas pondok. Setelah ia
bersihkan dengan bajunya, batu tersebut ia amati dengan penuh kebingungan, lama
juga ia amati lalu disimpan di dalam
sebuah tas yang terbuat dari anyaman pandan.
Matahari
sudah mulai turun, sore menjelang, cahaya matahari membuat gunung di atas
kampung mereka diselimuti cahaya kuning emas. Herman pun berniat balik ke rumah
dengan sejuta rasa penasaran dalam dirinya, sesekali tangannya merogoh ke dalam
tas untuk memastikan bahwa batu yang baru saja ia dapat masih ada di dalam tas.
Sengaja ia tidak memberitahu Surai tentang batu yang ia simpan di dalam tas, karena
bukan wajah riang yang ia dapat hanya murka yang akan ia rasa, batu itu ia
simpan di dalam lemari kamar Akil agar tidak diketahui oleh Surai. “hari ini ke
ladang dapat apa mas,” Surai memberikan handuk pada suaminya. “tidak ada, aku
hanya menengok ladang dan ayam-ayam kita, bagaimana mau diolah tanah kering
begitu,” balas Herman.
Selepas
makan malam ia bercakap cakap dengan Akil, “bagaimana sekolah mu nak? Bukankah
sebentar lagi ujian kenaikan kelas?,” ia mengelus lembut kepala anaknya. “iya
yah, tiga minggu lagi, kalau aku dapat rangking satu belikan hadiah ya,” Akil merengek
pada ayahnya.
Menjelang
pukul sembilan malam Herman beranjak tidur, badannya terasa lelah sekali, ia
melihat Surai sudah tertidur pulas, jika sedang marah Surai kerap membelakangi Herman
di tempat tidur. Hanya sekejap ia sudah tertidur karena kelelahan, dalam
tidurnya, ia kembali didatangi oleh kakek tua yang memberikan batu tadi siang,
“kau usap batu itu tujuh kali maka hujan lebat akan turun,“ lagi-lagi ia
terbangun nafasnya tersengal. Keringat dingin mengucur tubuhnya, ia urungkan
untuk mengambil batu hitam itu karena takut ketahuan oleh Surai, sedikit saja
bergerak dari kasur, Surai akan langsung terbangun.
Keesokannya
di hari minggu, pagi sekali Akil sudah bangun mendahului orang tuanya, ia lalu
meraih baju di dalam lemari karena kemarin sepulang sekolah telah sepakat
dengan beberapa orang temannya untuk mandi di kali desa sebelah. Ketika
tangannya menggapai baju kesayangannya, sebuah benda hitam jatuh nyaris menimpa
kakiknya, tapi ia tidak memperhatikan, tangannya memungut benda itu dengan
cepat lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Secepat kilat akil berlari kerumah temannya,
dia tahu benar bahwa semua temannya pasti telah menunggu sedari tadi pagi. Bahkan
ayah dan ibunya mungkin tidak mendengar ketika akil berteriak meminta izin
untuk mandi di kali. Tidak berapa lama kemudian Herman bangun, ia meloncat lalu
menuju kamar Akil, wajahnya terlihat gusar, satu persatu lipatan baju ia
periksa, tapi benda yang ia cari tidak kunjung ketemu. Dalam fikirannya pasti yang
ia dengar di dalam mimpi semalam adalah benar, batu itu akan mendatangkan
hujan. “dik..dik…mana batu yang aku simpan di lemari Akil,” suaranya setengah
berteriak pada Surai. Kaget dengan suara sang suami, Surai pun terbangun, ia
bingung dengan batu yang ditanyakan sang suami. “batu apa mas?, aku tidak
melihat batu apapun,” kening Surai mengkerut.
Seluruh
isi lemari anaknya telah ia keluarkan, berserakan di lantai kamar, batu itu
juga tidak kunjung ketemu, “oo,,pasti ini ulah Akil, pasti dia mengambil batu itu,
“ belum lagi ia memakai bajunya Herman langsung berlari menuju sungai tempat Akil
mandi bersama kawan-kawannya. Benar saja, ia mendapati anaknya tengah bermain
air bersama beberapa orang kawannya, “Akil, kesini..mana batu yang ayah simpan
dalam lemari kamu,” ia berteriak memanggil anaknya dari tepi kali yang cukup
deras. Satu dua kali Akil tidak mendengar ayahnya memanggil, Herman mendekat,
ia menarik tangan anaknya, “mana batu itu!?, “ bentaknya. Akil pun ketakutan,
ia menunjuk kemudian mengambil celana yang ia letakkan diatas batu kali, “tadi
aku simpan disini yah, tapi sekarang tidak ada, mungkin jatuh ke sungai,”
jawabnya polos.
Mendengar
ucapan anaknya, emosi Herman semakin meluap hingga ubun-ubun, pikirannya kalap,
kata-kata orang dalam mimpi merasukinya, “tidak mungkin hilang, asal kau tahu
itu batu sakti, bisa mendatangkan hujan, kau harus mencari batu itu sampai
ketemu!!,” ia menendang anaknya hingga tergelincir masuk ke dalam kali, kepala
anaknya membentur sebuah batu besar. Darah segar mengambang diatas air, Herman terkejut,
segera ia raih tubuh anaknya, darah bercucuran dari kepala bagian belakang,
dengan sekuat tenaga Herman berlari untuk mencari pertolongan, dalam masa itu
sayup terdengar suara Akil berbicara padanya. “ayah, aku minta maaf…” suara lirih
anakya menutup mata selamanya. *Nanda
Bismar
Comments
Post a Comment