Untuk Dinda, Raka dan Danu


“Jang..nanti sore bapak mau ke ladang, pulang sekolah bantu bapak di warung ya,” ujar bapak padaku di pagi hari Senin sebelum aku berangkat sekolah. Maklum saja semenjak Ibu meninggal dunia setahun yang lalu, aku beserta tiga orang adikku harus berjuang hidup bersama dengan bapak yang sekaligus menjadi ibu bagi kami. Tidak akan pernah luput dari ingatan ku ketika hari-hari terakhir ibu menderita sakit yang perut yang aneh, sudah sebulan ibu terus didera sakit itu, selalu datang menjelang tengah malam hingga pagi hari. Orang kampung sekitar banyak menyebut ibu terkena penyakit semacam santet yang sehingga tidak ada dokter yang mampu menyembuhkannya. Walaupun kami sekeluarga tidak mempercayai hal-hal demikian tetapi memang tidak ada dokter yang bisa menjelaskan jenis penyakit yang ibu derita. Bahkan pernah sekali bapak memecahkan celengan satu-satunya yang ia punya untuk biaya berobat ibu ke kota yang jaraknya ratusan kilometer dari desa kami. Tetap saja tiada hasil memuaskan, hingga akhirnya ibu pasrah dan ia meminta untuk beristirahat dirumah. Hari memilukan dan tidak terlupakan tepat seminggu sebelum lebaran, aku bermaksud membangunkan ibu untuk sahur karena bapak tengah memasak dengan Dinda adik ku yang masih SMP. “bangun bu, bangun kita sahur”, aku memegang bahunya. Biasanya sekali saja aku membangunkan ibu langsung menggeliat bangun, kali ini tidak, ia hanya diam, aku meraba keningnya, dingin kaku. Tidak ada lagi kata yang terucap, kakiku serasa amat berat untuk melangkah, mulutku terkunci, sekujur tubuhku dingin, aku memeluk ibu untuk yang terakhir kalinya, tangisan ku memenuhi seisi rumah. 
Setahun berlalu aku harus lebih kuat daripada ketiga adikku, aku adalah anak yang paling tua yang berarti menjadi orang kedua setelah bapak dalam keluarga. Setiap hari aku mengayuh sepeda sejauh lima kilometer untuk pergi sekolah disebuah sekolah menengah atas satu-satunya di kampung kami. Letaknya di dekat kantor camat dimana segala aktivitas kecamatan terpusat disana. Sekarang aku sudah duduk dibangku kelas tiga SMA semester dua, yang berarti tidak akan lama lagi aku akan ikut dalam ujian kelulusan tingkat nasional.
Ketika bel jam istirahat berbunyi aku membantu Ibu Hasna, guru bahasa indonesia kami untuk mengantarkan beberapa buku pelajaran yang kami pakai ke mejanya, kantor guru hanya berjarak beberapa ruang kelas dari kelas kami, “ngomong-ngomong setelah ini engkau mau kuliah dimana Jang,” Bu Guru bertanya padaku ketika kami memasuki ruangan guru. Aku tidak begitu langsung menjawab, diam sejenak,” aku belum tau bu, sepertinya membantu bapak saja di warung,” senyumku. Bu Hasna memang kerap kali menanyakan hal itu kepada ku, tetapi aku selalu tidak bisa menjawab dengan pasti karena yang aku ingat hanya ketiga orang adikku setiap kali Bu Hasna bertanya. Begitu bel jam pelajaran usai aku langsung bergegas menuju parkiran sepeda di belakang sekolah karena aku harus pulang cepat untuk membantu bapak menjaga warung, maklum saja tiga orang adikku masih terlalu kecil untuk menjaga warung kelontong yang telah turun temurun dari kakekku.
Dinda dan Raka belum menampakkan batang hidungnya, mungkin mereka masih sibuk dengan kegiatan di sekolahnya, Dinda duduk dibangku kelas tiga SMP sedangkan Raka satu tingkat dibawahnya, adikku yang paling kecil Danu baru saja masuk sekolah dasar. Sesampainya dirumah aku melihat ayah telah bersiap untuk pergi ke ladang, ia dengan cekatan menyiapkan semuanya sendiri, aku juga kerap kali memeriksa isi tas bapak agar tidak ada suatu barang yang ketinggalan. Satu kotak kue kering dan air minum wajib ada dalam tas bapak, jika ibu masih hidup pasti bapak tidak akan serepot itu. “parangnya sudah pak?,” aku kembali mengingatkan bapak. Sorot matanya yang tajam seperti memancarkan semangat yang tidak pernah padam, “semuanya sudah, sekarang bapak ke ladang dulu tolong jaga warung baik-baik, kalau Raka dan Dinda sudah pulang jangan lupa ingatkan mereka untuk makan,” bapak menyandang tas anyaman bambu buatan ibu. Semua tugas yang dulu ibu lakukan sekarang bapak menggantikan dengan baik, beliau selalu mengajarkan kemandirian kepada kami sehingga tidak satupun dari anak bapak menjadi orang yang manja.
Ladang kami tidak begitu jauh dari rumah, namun untuk sampai diladang kami harus menyeberang sungai yang hingga sekarang hanya pohon kelapa sebagai jembatannya sehingga jika musim hujan tiba kami akan memutar lebih jauh untuk sampai ke ladang. Luas ladang yang tidak sampai setengah hektar membuat bapak harus memutar otak untuk bertanam, kadang ia menanam kentang, berikutnya bawang, cabai, tomat, begitu seterusnya karena memang tanaman sayur cocok tumbuh di kampung kami yang terletak di ketinggian dengan udara yang dingin. Setiap hari bapak harus ke ladang untuk menyiram tanaman bawang kami karena hujan jarang turun kahir-akhir ini, jika hari minggu tiba makan saya dan Raka yang seharian di ladang. Bertani adalah pekerjaan yang dijalani oleh hampir semua orang di kampung ku, tidak terkecuali mereka yang bekerja sebagai guru, pegawai camat, setiap orang memiliki lahan masing-masing.
Aku menjaga warung sambil membuat tugas sekolah yang diberikan Bu Hasna, karena malam hari tidak ada waktu bagiku untuk mengerjakan tugas, sebab aku harus membantu bapak menyiapkan makan malam dan juga membantu Danu belajar. Tidak berapa lama Dinda dan Raka menyapaku dari dalam rumah, “Bapak ke ladang ya bang? Kami baru pulang latihan nari untuk acara besok di kecamatan,” Raka mengambil segelas air putih dan menegukknya hingga habis. “sana makan dulu, bapak sudah siapkan makanan,” aku meminta mereka berdua untuk mengisi perut, tidak ada cekcok yang berarti diantara kami. Aku dan ketiga adikku selalu akur, mereka juga tidak pernah meminta hal yang berlebihan seakan mengerti dengan keadaan, Danu yang paling kecil juga tidak pernah meminta mainan dimana anak seusianya lazim berlaku demikian. Sebenarnya aku tidak tega melihat bapak yang harus pulang menjelang malam dari ladang dan juga harus menyiapkan makanan bagi kami ketika malam tiba, tetapi tidak terlihat sedikitpun raut wajah lelah padanya. Seperti biasa menjelang matahari kembali keperaduan dan bulan menyembul dibalik awan, bapak kembali dari ladang, ia segera menuju pancuran di belakang rumah kami untuk membersihkan diri. Semua dari kami menunaikan ibadah magrib, tanpa terkecuali, bapak selalu jadi imam.
Malam ini kami tidak memasak karena sisa lauk kemaren masih cukup untuk kami santap bersama, bapak memantik rokok kreteknya, “gimana jang, rame hari ini di warung,” ia melepaskan kepulan asap ke langit-langit rumah. “lumayan pak, rejeki lagi bagus hari ini,” jawabku. Seperti biasa aku selalu menemani Danu belajar dan bapak kembali membuka warung selepas magrib hingga pukul sembilan malam.
Detik berlalu haripun terus berganti, semakin dekat dengan ujian kelulusan aku semakin gelisah, semakin sering Bu Hasna bertanya kemana aku akan pergi setelah tamat, sepertinya ia menaruh harapan besar kepadaku untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Aku berulang kali bingung menjawab jika Bu Hasna mencecarku dengan pertanyaan, “jika kamu mau ibu bisa bantu untuk masuk jalur khusus di perguruan tinggi,” Bu Hasna terus mencari celah. Kegelisahan yang terus aku rasa ingin aku tumpahkan, kepada teman telah aku ceritakan tetapi tidak ada jawaban yang memuaskan. Tidak mungkin hal ini aku ceritakan kepada ketiga orang adikku, pasti akan membuat semangat mereka jatuh.
Suatu malam aku menghampiri bapak yang baru saja selesai menutup warung, ia nampak merapikan beberapa barang untuk esok pagi, “pak, sebentar lagi aku tamat SMA, aku ingin kuliah tetapi sudah pasti tidak akan sanggup kita membayarnya, kuliah kan mahal dan jauh dari kampung,” aku berdiri di depan bapak. Ia menatapku, menghela nafasnya, “jika memang kamu bersungguh ingin kuliah bapak senang dan kita akan berusaha mencari jalan untuk biaya kuliah mu,” bapak mencoba meyakinkan aku. Walaupun demikian aku tetap bisa melihat bahwa berat hati bapak mengucapkannya, aku bisa bayangkan betapa mahalnya biaya kuliah yang harus bapak keluaran selama aku di perguruan tinggi, belum lagi biaya untuk tiga orang adikku. Penghasilan dari warung dan ladang yang tidak seberapa jelas tidak cukup bagi kami, bahkan bapak tidak punya celengan lagi. Aku terus memikirkan jalan keluar hingga larut malam, aku ingin sekali melanjutkan kuliah tetapi itu tidak mungkin karena adik-adik ku juga harus bersekolah.
Hari yang tidak kami sukai akhirnya datang, ujian telah berlalu saatnya pengumuman kelulusan, kami semua dikumpulkan dilapangan sekolah. Beberapa dari mereka aku lihat tidak tenang, gelisah bagaimana jika tidak lulus, betapa kecewanya orang tua yang telah berupaya selama ini. Tidak dengan ku, aku sama sekali tidak gelisah memikirkan hasil kelulusan karena tetap saja bayangan setelah ini menghantui ku, “kalo lulus kamu mau kemana jang?,” Hendra menepuk bahu ku dari belakang. Aku hanya tersenyum, suara gaduh mulai terdengar ketika masing-masing dari kami menerima amplop dari kepala sekolah. Sesaat suara tangisan haru menyelimuti kami, “tahun ini sekolah kita lulus seratus persen,” suara khas kepala sekolah dari pengeras suara. Dengan girang aku segera mengayuh sepeda pulang kerumah, sesampainya aku langsung memberikan amplop itu pada bapak, “aku sudah lulus pak, aku lulus,” loncat-loncat kegirangan di depan bapak. Ia membaca isi amplop dengan seksama, ia terlihat amat senang,”jika ibu mu tahu pasti dia akan ikut senang,” bapak melempar senyum ke arah foto Ibu yang terpajang di warung. Malam harinya bapak mengajakku ke dapur untuk memasak, syukuran atas kelulusan. Hidangan makan malam begitu istimewa, bapak memasak ikan bakar kesukannku.
Esok paginya aku menghampiri bapak yang tengah membuka warung, “sudah saya putuskan pak, saya tidak akan melanjutkan sekolah, saya akan bantu bapak di warung juga di ladang,” sambil merapikan beberapa toples permen. Sejenak bapak terdiam, “kamu keras kepala seperti ibu mu,” ia meletakkan pintu warung yang terakhir. Sejak hari itu aku dan bapak sama-sama membuka warung dipagi hari, sekarang saya lebih sering di warung dan bapak ke ladang. Suatu hari Danu bertanya padaku, “kenapa abang tidak kuliah,” lagaknya seperti orang dewasa. Aku tidak menjawab melainkan hanya tersenyum sambil mengusap kepalanya. Aku sudah memasang tekad bahwa ketiga orang adik ku harus lebih baik, mereka harus lulus hingga sarjana.
Dinda dan Raka sekarang sudah duduk di bangku SMA, sekarang aku telah memegang penuh keuangan keluarga, perlahan aku menabung untuk menambah modal usaha. Berkat keuletanku dan nasihat dari bapak sekarang kami tidak hanya punya warung kelontong, aku dan bapak juga telah membeli dua ekor sapi dan beberapa ekor ayam untuk kami ternakkan. Barang dagangan terus aku tambah sehingga pelanggan kami semakin hari semakin banyak, aku sibuk, sehingga Dinda dan Raka lebih sering membantu Danu belajar di malam hari.

Tidak terasa tahun-tahun yang berat telah kami lalui, kini kedua orang adikku Dinda dan Raka telah wisuda, Dinda adalah seorang akuntan dan Raka adalah seorang arsitek. Sekarang mereka telah sibuk dengan pekerjaan masing-masing di kota, sekali dalam sebulan mereka pulang ke kampung dan kami berkumpul bersama, Danu juga sudah beranjak dewasa. Aku telah melarang bapak pergi ke ladang dan membayar beberapa orang pekerja untuk mengurus ladang kami. “sudah saatnya bapak pensiun, biarkan kami anak bapak yang bekerja,” aku memeluk tubuhnya yang tidak setegap dulu lagi. *Nanda Bismar    

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )