Mbok Rasmi



Hai pembaca yang budiman, kali ini saya masih punya cerita untuk saya bagi kepada para pembaca semuanya. Sedikit agak berbeda kali saya tidak lagi menceritakan sosok bung karno tetapi akan bercerita mengenai sosok lain yang menurut saya beliau punya faktor x yang patut kita teladani. Dia adalah Rasmi, saya memanggilnya Mbok Rasmi karena memang umurnya telah melewati kepala empat, ia sudah punya tiga orang anak. Dua orang anak perempuannya sudah menikah sedangkan satu lagi yang laki-laki belum menikah dan masih membantu Bu Rasmi di kebun kelapa sawit miliknya.

Suatu hari saya bertandang kerumah Bu Rasmi untuk keperluan kantor, kami berangkat agak pagi karena selain rumah Bu Rasmi cukup jauh kami juga tidak ingin kembali terlalu sore karena bisa saja hujan lebat, maklum akses jalan kerumah Bu Rasmi masih didominasi oleh jalan tanah ala perkebunan sawit. Bisa dibayangkan sendiri jika hujan lebat terjadi, bakalan banyak kolam ikan dadakan dijalanan. Sebenarnya tidak terlalu pagi juga sih, sekitar jam 10 kami berangkat  dari kantor, belum jauh dari kantor terlebih dahulu kami membeli buah duku yang katanya dari Palembang untuk kami kudapi disepanjang perjalanan. Walaupun jalanan tidak terlalu becek tetap saja saya harus menyetir dengan sedikit hati-hati karena jalan menuju rumah Bu Rasmi cukup menantang, apalagi ditambah dengan jembatan yang masih dalam perbaikan waktu kami melewatinya. Tidak ada pemandangan spesial memang, karena layaknya daerah transmigrasi lain yang ada hanyalah hamparan perkebunan kelapa sawit dan sesekali diselingi kebun karet.
Sepertinya batang-batang pohon karet tidak lagi diperhitungkan karena harga komoditi karet yang terus merosot dari harga 20 ribu per kilogram sekarang hanya menjadi tujuh ribu saja per kilogramnya. Sehingga tidak heran memang kita melihat banyak pohon-pohon karet yang sudah ditumbang lalu dijadikan lahan perkebunan sawit yang makin hari makin menjanjikan. Jika kita teliti maka kita bisa membedakan dengan jelas antara kebun milik masyarakat dengan kebun milik perusahaan, cukup hanya dengan melihat pelepahnya saja maka kita akan tahu perbedaannya. Kebanyakan dari perkebunan sawit masyarakat masih kurang terawat sehingga bisa dilihat dari ujung pelepahnya menguning bersama daunnya, sebaliknya kebun milik perusahaan lebih hijau dan batangnya besar-besar.
Sekitar 45 menit perjalanan kami tiba dirumah Bu Rasmi, saya dengan leluasa memarkirkan mobil di depan rumah Bu Rasmi karena memang rumahnya punya halaman yang cukup luas. Bu Rasmi tinggal di Desa Sukaraja, rumahnya dikelilingi perkebunan sawit sehingga pemandangan sekeliling rumah hanyalah deretan pohon kelapa sawit miliknya. “assalamualaikum,” kami mengucapkan salam pertanda bahwa kami datang dengan tujuan yang baik. Suara ramah pun menyahut salam kami dari dalam,”silahkan-silahkan masuk mas”, Bu Rasmi tergopoh-gopoh sepertinya ia sedang mengerjakan sesuatu di dapur. Beliau mempersilahkan kami duduk lesehan di tikarnya, tampak ruang tamunya tidak begitu besar tetapi terasa lapang karena ia tidak meletakkan kursi dan meja tamu.
Tidak lama berselang suami Bu Rasmi keluar menyapa kami, “gimana jalan kesini tadi? Becek yo?”, logat jawanya khas. “gak juga pak, cuma tadi ada jembatan yang lagi diperbaiki jadi kita mesti lewat satu-satu,” balas saya. Bapak paruh baya itu agak pendiam jadi kami berbicara seperlunya saja, tengah asik ngobrol dengan suaminya, Bu Rasmi datang dengan bakul yang sudah dipenuhi jagung rebus, “monggo dimakan dulu jagungnya mas,” sambil meletakkan bakul tersebut di tikar. Ia bilang bahwa jagung manis itu adalah hasil dari kebunnya sendiri yang sebenarnya belum memasuki masa panen tetapi karena sudah keburu tumbang oleh angin kencang maka ia pun memetik jagungnya lebih awal. Setelah saya cicipi memang manis dan gurih. Hilir mudik ngobrol sembari melakukan tugas kantor hingga selesai, lalu kami kembali mencicipi jagung rebus.
 “bakso nya hari ini ga ada, karena anak saya yang bikin bakso itu lagi ke Pekanbaru,tapi saya sudah masak gule ayam kampung,” katanya. Memang di kantor sudah cukup familiar tentang bakso buatan anak Bu Rasmi, tiga dari empat orang teman sudah pernah mencoba kecuali saya yang tidak beruntung hari itu...T_T. Tetapi tidak masalah Bu Rasmi sudah mempersiapkan hidangan pengganti yaitu gulai ayam kampung yang lezat sekali. “Cuma ada ini yo mas, gule ayam kampung,” ia membawa sebakul nasi dan sebungkus kerupuk ikan. Tidak disangka memang gulai ayam yang tidak terlalu menarik hati dari segi tampilan menyuguhkan rasa yang enak dan lezat. Rasa manis ayam kampung yang khas ditambah dengan kuah gulainya yang tidak pedas. Kami pun ketagihan, tidak rugi juga rasanya tidak mencoba bakso. Setelah perut kami kenyang, kami pun kembali ngobrol santai dengan Bu Rasmi dan suaminya, hingga akhirnya kami pamit untuk kembali ke kantor.
 Walaupun Bu Rasmi sudah memiliki puluhan hektar kebun sawit tetapi beliau tetap terlihat sederhana sangat ramah dan rendah hati. Kehidupannya yang sederhana tetap ia pertahankan.
Pertemuan saya dengan Bu Rasmi tidak hanya hari itu saja, beberapa hari berikutnya juga kami menemani beliau untuk melakukan transaksi di daerah lain dengan alasan keamanan karena hari itu Bu Rasmi membawa uang yang cukup banyak. Disini lah bu rasmi mulai menceritakan pahit getirnya kehidupan yang telah ia lalui. Saya pun yang haus akan kisah hidup Bu Rasmi langsung memberondong dia dengan berbagai pertanyaan. Dari sekian banyak kisah yang ia ceritakan yang paling menarik adalah ketika ia pertama kali berangkat dari kampung halamannya di Wonogiri untuk pergi ke Kota Pekanbaru dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. “ya wong kita cuma tamatan madrasah mau kerja opo mas, semuanya kita jalani”, kenangnya. Ia merantau sekitar tahun 1987 dari menjadi pembantu hingga akhirnya ia dapat sebidang tanah perkebunan dari mantan majikannya. Sebidang tanah itulah yang ia terus garap hingga sekarang ia memiliki puluhan hektar kebun sawit. “kita jadi orang mesti jujur mas, kalau ada orang yang marah kita balas senyum aja”, katanya.
Belum lagi setengah perjalanan tiba-tiba Bu Rasmi meminta untuk berhenti di sebuah warung, “sebentar mas, saya beli obat anti mabuk dulu soalnya saya suka mabuk kalau naik mobil”, pintanya. Setelah Bu Rasmi meminum dua buah pil obat anti mabuk kami melanjutkan perjalanan dan benar saja Bu Rasmi mabok di tengah perjalanan hingga ia muntah berkali-kali, lalu dia meminta kami untuk menurunkan kaca mobil. “mungkin karena ini mbok belum beli mobil sampai sekarang”, canda saya di sambut dengan gelak tawa bu rasmi. “bisa jadi mas, soal e naik sepeda motor aja aku takut”, tawanya. (nanda bismar)

  

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )