Surat Untuk Laras
Akhir-akhir ini aku melihat
Laras agak murung, raut wajah cerianya seolah hilang ditelan bumi, tidak ada
lagi gelak tawa, tidak ada lagi wajah yang penuh semangat, yang ada hanyalah
raut wajah kecemasan, dan seperti orang yang sudah kalah dalam peperangan. Dalam
kehidupannya Laras bukanlah perempuan biasa, dia adalah perempuan jenius
sehingga aku akhir-akhir ini mulai percaya bahwa ia adalah salah seorang cucu
einstein, karena begitu banyaknya bakat alami yang ia bawa sejak lahir.
Aku dan Laras sebenarnya
tidak layak lagi disebut sebagai teman, tidak juga ada hubungan spesial
layaknya seorang lelaki dan perempuan, tetapi memang benar bahwa kami lebih
dari teman entah apa itu namanya hubungan ini. Pasal mukanya yang murung aku
tidak berani bertanya karena terkadang Laras bisa saja mengamuk seperti singa
yang sedang kelaparan. Tetapi tidak tega juga rasanya melihat ia seperti itu, memang
rumah kami tidak berdekatan namun aku bisa membayangkan dengan kondisi seperti
itu ia akan lebih sering bolak-balik ke toilet. Persetan dengan ikatan bathin
ini!. Waktu itu saja Laras tidak masuk kelas aku tahu dia menderita sakit perut
nah itu aku tahu kan, pokoknya aku pasti tahu kalau dia tidak masuk kelas
karena sakit pasti sakitnya itu sakit perut.
Suatu hari kami bertemu di
tempat favorit kami, dia atas sebuah bukit batu besar menghadap ke lautan luas.
“hey bukankah kita akan melaju bersama, bukankah grand line itu masih jauh”,
sentak Laras. Jelas saja dia tidak bisa menyembunyikan raut wajah kecemasan
yang mendalam, mukanya memerah bukan karena tersipu malu tetapi karena memang
kecemasan meliputi. “memang masih jauh, dan sepertinya itu akan aku tempuh
sendirian”, balasku. Laras masih bersikeras seolah ia akan mengeluarkan gear
tetapi tubuhnya sudah lemah,” jangan berlagak bodoh, kau tidak paham rutenya”, dampratan
di kepalaku. Suasana hening sejenak, angin pun tidak berani mengusik kami
bahkan nyanyian jangkrik pun tidak terdengar. Benar-benar mencekam. Aku menghitung
mundur dari seratus hingga angka nol lalu menghela nafas, kami tidak pernah
menghadapi situasi segenting ini. Bungkam. “Laras, aku rasa kita hanya
berputar-putar, aku merasa mimpi kita adalah semu belaka, bukankah begitu”, aku
tidak ingin diam terlalu lama.
Dia masih diam seribu
bahasa, pandangannya jauh melebihi pulau yang ada di hadapan kami. “maaf kali
ini aku benar-benar tidak punya pilihan lagi, aku tidak tahu mengapa ini bisa
terjadi”, suasana semakin membeku. Aku tahu persis bahwa Laras sedang berada
dalam kebimbangan yang akut akibat dari hentakan yang tidak pernah ia duga
sebelumnya. Kini kami beradu punggung. “enak ya jadi orang sepertimu, bebas
kemanapun pergi, bebas dimanapun yang kau ingin,” lirihnya. Aku tidak ingin
terlalu jauh menyelidiki sebab musabab kenapa Laras berkata begitu, karena aku
tahu bahwa itu akan membuat ia semakin kalut dalam kebimbangan. “Laras, temanku
yang amat jenius jika memang jalan itu adalah bukan kehendakmu maka itu adalah
takdirmu,” tegasku. Laras pun tersenyum.
03 Januari 2015
Comments
Post a Comment