Puncak Madina

Bu Betty (yang pake handuk putih) memberikan pengarahan kepada Tim


Kawan, aku punya cerita baru nih tidak kalah menarik dari apa yang telah aku ceritakan sebelumnya namun pasti ada juga sisi tidak menariknya :D. Cerita ini dimulai ketika aku bersama dengan Pak Helmi selaku team leader dan Bang Edi selaku driver  berangkat menuju Madina alias Mandailing Natal. Suatu tempat yang belum pernah aku jajaki apalagi aku lihat oleh sebab itu wajar jika rasa penasaran yang tinggi mengaliri seluruh tubuku.
Pagi itu selasa 17 Juni 2014, kami berencana untuk berangkat pagi sekali agar bisa tidak kemalaman ketika tiba di Madina, namun karena suatu dan lain hal kami memilih sarapan bersama terlebih dahulu di salah satu tempat favorit Pak Helmi dimana beliau selalu memesan dua potong lopis dan secangkir kopi. Ya semenjak waktu itu kami ajak beliau sarapan disana beliau menjadikan tempat yang berlokasi persis di samping kiri Mesjid Agung An-Nur menjadi salah satu tempat santap pagi favorit. Sepertinya beliau mulai melupakan lontong medan favoritnya yang ada di Jalan Durian.
“aku lopis isi dua dan kopi satu ya,” begitu kataya ketika setiap pelayan bertanya, sedangkan aku memesan sepiring nasi goreng dan Bang Edi hanya segelas kopi karena sudah sarapan di rumah terlebih dahulu.
 Pak Helmi adalah tipikal orang yang tidak terlalu suka duduk lama-lama di meja makan, begitu santapan kami habis hanya beberapa saat beliau mengajak kami untuk segera pergi. Pernah waktu itu beliau berkata ketika kami makan malam dengan temannya, “bisnis tidak usah lama-lama nda yang penting poin sampai,” gitu kata beliau. Setelah membayar kami pun pergi meninggalkan tempat sarapan menuju lokasi yang dituju yaitu Mandailing Natal. Sebelumnya kami juga sempat berhenti di sebuah minimarket kawakan untuk membeli beberapa bungkus permen yang akan kami nikmati di sepanjang perjalanan.
 Oh ya sebelumnya aku akan menjelaskan rute yang akan kami tempuh menuju Madina, kayak gini nih bagannya : Pekanbaru à Pasir Pangiraian à Dalu-Dalu à Padang Lawas à Sibuhuan à Gunung Tua à Padang Sidempuan à Panyabungan à PT. Perkebunan Sumatera Utara (Transit semalam) à PTPN IV Madina.
Foto bersama menuju Kebun KUD Maju Bersama
Nah lebih kurang itu jalan yang akan kami tempuh dengan waktu yang telah kami perkirakan tiba di PT. PSU pada pukul 08.00 malam untuk bermalam disana. Aku jelas senang sekali karena memang ingin merasakan perjalanan jauh yang selalu menyuguhkan keindahan alam Indonesia. Pak Helmi yang selalu duduk di sebelah kiri atau selalu berada di kursi belakang ku mulai bercerita mengenai informasi-informasi yang ia ketahui di setiap daerah yang kami lalui, cerita beliau makin menarik dan banyak ketika kami sudah melewati perbatasan antara Provinsi Riau dan Sumatera Utara, karena memang beliau berasal dari salah satu daerah di Sumatera Utara. “aku sengaja mengajak kalian untuk menempuh jalan yang baru, agar kalian tahu bagaimana sisi lain dari jalur yang akan kita tempuh,” celetuknya. Akupun diminta oleh Pak Helmi untuk tidak tidur di sepanjang perjalanan agar Bang Edi tetap ada kawan ngobrol sambil mengemudi. Alangkah sulitnya menahan tidur ditengah ayunan mobil dan hembusan AC, akhirnya aku menyerah dan tertidur untuk beberapa saat, hahahahaha.
Eh aku belum kasih tau ya kenapa kami melakukan perjalanan ke Madina? Hahaha...maaf..maaf aku lupa karena terlalu semangat untuk membagi cerita ini, jadi gini keberangkatan kami adalah untuk menjadi bagian dari tim penilaian kebun plasma sawit Madina yang dikelola oleh PTPN IV. Tidak hanya kami yang menjadi bagian dari tim tetapi ada yang lebih penting yaitu tim yang langsung dari Dirjenbun RI yaitu Ibu Bety, Ibu Ketut Ayu dan Pak Royo serta beberapa orang yang berasal dari Disbunhut Kabupaten Mandailing Natal.  Kembali ke perjalanan kami, ketika kami sudah mendekati daerah perbatasan antara Riau dan Sumatera Utara kondisi jalan pun semakin mengecil dan dihiasi lubang-lubang kecil.  Sesekali Pak Helmi mengingatkan Bang Edi untuk berhati-hati mengendarai mobil karena selain jalanan yang rusak dan sempit, jalur yang kami tempuh merupakan jalur yang baru bagi Bang Edi. Perbedaan kualitas jalan semakin terasa ketika kami telah meninggalkan Provinsi Riau dan memasuki Provinsi Sumatera Utara alias tanah batak, kami memasuki Kabupaten Padang Lawas dengan kondisi jalan yang cukup sempit dan jauh dari kategori aspal yang baik. Lubang-lubang besar menghiasi sepanjang jalan sehingga harus ekstra hati-hati, aku melihat di kiri dan kanan jalan yang kami lalui telah ditanami dengan pohon sawit. Diantara jejeran pohon sawit terdapat rumah-rumah warga yang sebagian masih menghuni rumah full kayu, bukan aku mengatakan rumah kayu tidak layak, tetapi bisa saja rumah kayu itu adalah bentuk dari kecintaannya kepada alam.
“daerah ini merupakan daerah salah satu daerah yang tertinggal karena mungkin letaknya yang diperbatasan,” kata Pak Helmi. Sepertinya beliau hafal benar apa yang telah terjadi di kampung tanah kelahirannya ini, tidak hanya berkomentar soal pohon sawit tetapi beliau juga merisaukan hilangnya lahan sawah yang dikonversi menjadi perkebunan sawit.
 Ternyata tidak hanya sekedar omongan bahwa lahan sawah telah jarang di daerah tersebut bahkan boleh  disebut tidak ada lagi, hal itu aku lihat bahwa memang yang nampak hanyalah pohon sawit hingga mendekati daerah Gunung Tua maka barulah nampak satu sampai dua tumpuk lahan sawah. Waktu itu padi yang tumbuh masih kecil dan sebagian belum ditanam, sawah di daerah Gunung Tua berbeda dengan sawah yang ada di kampung ku atau yang sering aku lihat pada umumnya dimana sawah di desain dengan bentuk jenjang untuk mempermudah alirah air, namun sawah disini jauh berbeda karena satu petak hanya berukuran sebesar kamar kos mahasiswa dan antara petak sawah hanya dipisahkan oleh pematang kecil yang mungkin hanya kucing atau marmut besar yang bisa lewat. Lahannya terlihat rata dan tidak dibuat berjenjang entah apa maksdnya aku tidak bertanya kepada Pak Helmi. Walaupun begitu tetap saja kagum terhadap corak dan perbedaan yang ada disetiap daerah.
 Waktu sudah menunjukkan pukul 11.50  menjelang siang, perut kami sudah mulai berdendang meminta untuk di isi. Seperti biasa Pak Helmi selalu punya teman dimana-mana dan beliau selalu memaksimalkan keuntungan tersebut dengan menanyakan tempat makan yang enak di suatu daerah yang kami kunjungi. “Halo tulang, apa kabar? Kami lagi di Gunung Tua ini, dimana tempat makan yang enak disini tulang?,” begitu kata-kata yang selalu beliau ucapkan. Sepertinya bagi Pak Helmi soal makan merupakan hal yang penting sehingga benar-benar harus ada kenikmatan yang didapat.  Setelah diberitahu oleh sang Tulang maka kami segera menuju rumah makan yang telah disebutkan namanya Rumah Makan Keluarga persis di depan kantor DPRD Gunung Tua. Rumah makannya cukup besar dan luas, terlihat ramai orang yang sedang makan karena memang pas jam makan siang kami datang. Baru saja masuk rumah makan tersebut aku terkejut melihat besarnya udang yang akan dihidangkan, rupanya udang tersebut juga mendarat di meja kami dan Pak Helmi pun memakan dengan lahapnya. Aku lebih memilih makan goreng belut dan Bang Edi memilih ayam goreng sebagai lauknya. Sebenarnya Pak Helmi berencana untuk mengajak kami makan ditempat favoritnya yaitu di rumah makan Paranginan yang terletak di daerah Panyabungan persisnya di Jembatan Merah, tetapi karena perut kami yang sudah kerocongan dan jarak ke Panyabungan yang masih lama maka beliau memutuskan untuk mengajak kami makan di Gunung Tua.
“kalian jangan makan banyak disini, nanti di Panyabungan ga bisa makan banyak lagi,” kata beliau sembari memecah menguliti udang galah besar.
 Kami hanya tertawa kecil dan terus menyantap makanan yang menurut aku masakannya cukup enak dengan perpaduan masakan minang, batak dan jawa. Masing-masing kami telah menyantap makanan yang dihidangkan, lalu beristirahat sejenak selanjutnya kami telah berada dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan.
Sesekali aku bertanya kepada Pak Helmi mengenai daerah yang kami lalui dan beliau pun menjelaskan sepertinya memang telah memahaminya. Tidak berapa lama kami memasuki kota salak yaitu Kota Padang Sidempuan, tanda-tandanya adalah ketika kita akan memasuki kota maka akan terlihat para penjual salak menjajakan buah salak mereka di pinggir jalan dengan keranjang-keranjang besar. “selamat datang di kota padang sidempuan, kota salak”, seperti itu kira-kira tulisan di gapura masuk kota.  Pemandangan Kota Padang Sidempuan mirip dengan Kota Padang Panjang yang tidak terlalu ramai dan dikelilingi perbukitan sehingga jalannya masih sangat lancar entah waktu itu tidak sedang masa ramainya. “berapa jam lagi kita sampai di Payabungan Pak,” tanyaku pada Pak Helmi. Beliau mengatakan bahwa paling lambat kami memasuki panyabungan sekitar tiga jam lagi, aku pun masih penasaran dengan rumah makan di tepi sungai yang beliau ceritakan.
 Sebelum memasuki Panyabungan Pak Helmi mengajak kami untuk mengelilingi komplek perkantoran Kabupaten Mandailing Natal yang terletak di sebelah Sungai Batang Gadis, dimana sebelumnya kami juga melihat bendungan Sungai Batang Gadis yang yang dibangun pada era Presiden Soeharto. Bendungan tersebut digunakan untuk mengairi sawah-sawah yang sekarang telah beralih fungsi menjadi perkebunan  kelapa sawit. Apakah kawan masih berfikir tentang swasembada beras? :D, think again. Komplek perkantoran Kabupaten Mandailing Natal mirip dengan topografi kampus ku waktu kuliah dulu di Universitas Andalas, sama-sama terletak di atas perbukitan dan memiliki view yang bagus dan udara yang segar. Dari atas komplek perkantoran  terdengar samar-samar gemercik air Sungai Batang Gadis sehingga menambah suasana asri komplek. Tata letak Bangunannya pun menarik karena kantor Bupati Madina terletak di paling atas dan paling depan dari semua Bangunan kantor, semua dinas terletak disini sehingga dari bukit inilah Kabupaten Madina dikendalikan. Berkeliling sebentar kami melanjutkan perjalanan menuju Panyabungan hingga akhirnya kami sampai di rumah makan Paranginan di Jembatan Merah. Aku pun tak tahu dimana Jembatan Merahnya, yang jelas sebelum memasuki daerah panyabungan kami melewati sebuah daerah yang dipenuhi santri-santri,aduh aku lupa apa nama pesantrennya. Di sepanjang jalan sekitar pesantren di sisi kiri dan kanan jalan terdapat rumah-rumah kecil lebih mirip gubuk sebenarnya sebesar satu kali dua meter mungkin, kata Pak Helmi gubuk-gubuk itu adalah tempat tinggal para santri.
Sesampainya di halaman rumah makan paranginan kami segera turun dan menuju meja makan. Suasana rumah makannya unik karena berada langsung di pinggir sebuah anak sungai yang bermuara di Batang Gadis, jika anda makan di Paranginan maka akan di iringi langsung oleh nada gemercik air dan angin semilir yang berhembus dari kebun di seberang anak sungai. “saya selalu singgah disini ketika pulang kampung atau pergi ke Medan bersama keluarga saya,” kata Pak Helmi sambil menyendok nasi. Ia pun berseloroh bahwa jika tidak hati-hati makan kita akan menghabiskan sebakul nasi karena suasananya yang nyaman sehingga membuat selera makan bertambah. Pak Helmi agak sedikit kecewa karena hanya beberapa menu masakan yang dihidangkan karena sudah banyak yang habis, aku dan Bang Edi dengan ayam goreng sedang Pak Helmi memilih rendang sebagai teman nasi santapannya. Enak memang makan di Paranginan, suasananya yang nyaman membuat siapapun betah berlama-lama di meja makan ataupun lesehan yang disediakan. Bisa saja kami berlama-lama menikmati gemercik aliran sungai yang terasa agak berisik karena sebenarya sudah lama aku tidak mendengar suara air sungai.
 Tujuan kami untuk menginap di PT. PSU belum tercapai dan kami harus tiba menjelang tengah malam karena jalan yang dilalui menurut Pak Helmi cukup ekstrim. Kami melintasi hutan Panyabungan dengan kondisi jalan yang baru saja diguyur hujan sehingga nampak kabut menyelimuti beberapa bagian bukit. Ketika memasuki jalan hutan waktu sudah menunjukkan pukul 18.45 WIB, sehingga menambah tantangan Bang Edi untuk menguji kemampuan mengemudinya. “hati-hati kamu di jalan yang kita lalui ini sempit dan kiri-kanannya jurang, jangan fikirin yang macem-macem tetap fokus,” pesan Pak
Helmi kepada Bang Edi. Baru saja kami melintas jalanan hutan panyabungan, tiba-tiba melintas seekor musang ekor putih di depan mobil kami, itu kan musang yang langka fikirku, berarti memang benar bahwa hutan ini masih alami. Bang Edi mengemudikan mobil dengan sangat hati-hati sehingga kami berjalan agak pelan, jelas terlihat bahwa Bang Edi sangat gugup karena treknya memang cukup ektsrim penuh lubang dan sempit ditambah gelapnya hutan. Akhirnya selepas dari desa Sopotinjak Pak Helmi meminta untuk mengemudikan mobil karena Bang Edi sepertinya agak kesulitan untuk melewati trek tersebut. Setelah meminum sekaleng minuman energi Pak Helmi pun mengemudikan mobil dengan cepat sepertinya beliau sudah hafal betul trek hutan panyabungan, namun insiden kecil menimpa kami ketika berpapasan dengan truk besar terpaksa kami harus mundur akibatnya adalah ban mobil kami jatuh ke bahu jalan dan terperosok. Kami berupaya untuk bisa menaikkan ban mobil selang beberapa kemudian insiden yang sempat menyebabkan kemacetan tersebut bisa kami atasi dan kembali melaju. Tidak ada kendala berarti selain jalan yang memang semakin melebar lubangnya dan dalam digenangi air hingga kami sampai di penginapan milik PT. PSU.  Agenda kami di PT. PSU tidak hanya sekedar menginap namun esoknya kami berencana akan bertemu dengan pihak dari Koperasi Sikap Mandiri plasma binaan PT. PSU.
 Badan ku sudah terasa agak remuk karena goncangan jalanan hutan, setelah berkenalan dengan pengurus penginapan aku meminta izin untuk tidur duluan setelah kami  menyantap mie rebus. Esoknya alarm Pak Helmi membangunkan aku pukul 05.30,  meskipun cuacanya terasa dingin aku meloncat dari tempat tidur untuk menunaikan sholat subuh. Pukul 07.00 kami semua sudah bersiap untuk bertemu dengan pengurus Koperasi Sikap Mandiri, namun hujan rinai masih terus turun dari awan gelap pagi itu. Aku pun berjalan menuju teras sambil membawa secangkir teh, nikmat rasanya pagi itu seperti aku sudah lama tidak menikmati udara yang dingin dan segar. Tempat peginapan kami berada di tengah-tengah perkebunan sawit sehingga pandangan kita hanya terbatas pada bukit-bukit yang telah ditumbuhi pohon sawit. Aku duduk di kursi teras memperhatikan Bang Edi yang sedang membersihkan mobil, kembali masuk ke dalam  rauangan karena masih merasakan dingin yang menusuk.
“Pak, gimana pertemuan kita sama Sikap Mandiri? Jadi Pak?,” tanyaku pada Pak Helmi yang juga sedang menikmati tehnya. “ya kita tunggu saja hujan reda dulu hingga pukul 09.00,” jawabnya.
 Sambil menunggu hujan reda, kami pun menyantap sarapan yang telah disediakan, menyantap makanan dalam kondisi cuaca yang dingin memang terasa lebih enak. Tidak selang berapa lama perlahan cuaca mulai terlihat agak terang menyibak awan gelap dan hujan rinai pun berhenti, tamu yang kami tunggu pun telah datang yaitu pengurus Koperasi Sikap Mandiri. Kami pun berbincang-bincang dengan dua orang pengurus koperasi tersebut tentang kondisi perkebunan plasma dan soal lahan plasma yang masih belum di selesaikan, tidak hanya dari koperasi saja tetapi juga ada perwakilan dari PT. PSU. Hanya beberapa menit saja kami berbicang setelah itu kami mohon pamit karena kami harus pergi menuju tujuan utama  yaitu perkebunan plasma Madina PTPN IV.
 Dalam perjalanan menuju plasma Madina di tepi pantai barat kami diajak Pak Helmi untuk berkunjung ke perkebunan sawit salah seorang temannya di Desa Ranto Baek. Memasuki areal perkebunan milik teman Pak Helmi pemandangannya bukan main bagusnya, karena memang perkebunan itu terletak di balik bukit dan kita seperti menuruni lembah. Kata Pak Helmi perkebunan tersebut adalah milik perusahaan keluarga, WOW fikirku dalam hati berapa banyak untungnya nanti jika kebun ini berjalan dengan baik. Ketika Pak Helmi asik berbicara dengan kawannya, maka aku dan Bang Edi berjalan-jalan di pinggiran kebun untuk melihat kondisi tanaman sawitnya. Dengan kisaran umur 3-4 tahun tanaman sawit milik kawan Pak Helmi terlihat bagus dan sudah mulai berbuah dan dipanen. Asik berjalan-jalan dipinggir kebun aku dikejutkan oleh suara melengking dari arah jalan produksi, aku pun segera berlari melihat karena penasaran, daaannnn ulalalala...dari kejauhan aku melihat dua orang pemuda sedang memegang babi , yap seekor babi muda tekena alat perangkap yang sengaja mereka pasang di sekitar perkebunan sawit untuk mengendalikan hama babi. Aku pun bergegas menghampiri babi yang telah di ikat itu, dan itu adalah moment pertama kali dalam hidup ku melihat babi liar dengan sangat dekat bahkan kami sempat berfoto dengan Bang Edi untuk sekedar mengabadikan moment meski masih ada rasa takut jika saja babinya lepas. Memang sih babinya belum ada taring tapi kan bisa saja muncul taringnya secara tiba-tiba seperti di filem-filem atau dia punya senjata rahasia seperti ekornya yang mampu membuka tutup botol...hahahhahah.
Aku dan seekor babi muda
Setelah puas berfoto dengan babi, kami kembali menuju kantor perusahaan tersebut dan memberikan beberapa contoh buah sawit kepada Pak Helmi. Usut punya kusut ternyata popularitas babi dikebun milik teman Pak Helmi memang sudah tidak diragukan lagi banyaknya, karena menurut teman Pak Helmi beliau mengatakan bahwa setiap harinya satu atau dua mobil pick up kecil selalu nangkring di kebun untuk menunggu babi hutan hasil perangkap para pekerja untuk dijual. Pembaca bisa membayangkan berapa banyaknya babi yang ada sehingga butuh satu atau dua mobil pick up untuk membawanya setiap sore hari. Kami tidak berbincang lama dengan teman Pak Helmi, karena kami harus segera menuju PTPN IV Madina untuk bertemu dengan Tim penilai kebun lainnya. Jarak tempuh yang harus kami lewati memang tidak begitu jauh sekitar satu jam dari desa lokasi kebun teman Pak Helmi, tetapi matahari sudah mulai tinggi dan perut kami pun mulai lapar sehingga kami ingin memiliki waktu istirahat yang cukup sesampainya di PTPN IV.
 Kondisi jalan menuju PTPN IV terbilang bagus hingga perempatan masuk ke gerbang perusahaan setelah itu anda bisa bayangkan sendiri bagaimana serunya jalanan off road perkebunan sawit apalagi topografi kebun milik PTPN IV memang berbukit-bukit yang berbeda dengan kebun sawit yang ada di Riau dimana pada umumnya adalah datar. Sesampainya, kami langsung menuju mess yang telah disediakan yaitu mess kebun timur tempat kami menginap untuk beberapa hari hingga selesainya penilaian kebun. Beristirahat sejenak, kami lanjutkan dengan makan siang bersama sambil menunggu tim Dirjebun yang katanya masih dijalan dari Kota Padang. Setelah menunggu beberapa lama, ketua tim penilaian, Ibu Betty pun akhirnya mendarat di mess dan aku pun berkenalan dengan beliau. Tidak hanya Bu Betty yang dari dirjenbun tapi juga turut serta dua orang rekannya yang bernama Ibu Putu Ayu dan Pak Royo. Aku lupa nama lengkap Ibu Putu. Rupanya dinas perkebunan Mandailing Natal pun juga ikut serta dan aku pun senang berkenalan dengan orang-orang baru apalagi aku bisa menyerap ilmunya. Setelah berkenalan dan mengobrol bersama di ruang tamu, pada malam harinya kami lanjutkan dengan acara makan malam bersama. Nikmat rasanya makan ditengah dinginnya udara perkebunan sambil ngobrol dengan orang-orang baru.
“setelah makan malam ini kita rapat ya, kepada perusahaan tolong dipersiapkan infocus dan persiapan kita untuk besok,” tukas Bu Betty . Rapat pun dimulai pada pukul 09.15 dengan agenda mendengarkan arahan ketua tim penilaian kebun yaitu Bu Betty kepada seluruh tim peserta, sepertinya Bu Betty sudah sangat berpengalaman dalam penilaian kebun sehingga ia dengan lancar menjelaskan kepada kami tentang mekanisme penilaian. “kita harus gerak cepat karena sample lahan yang mau kita nilai lahannya cukup luas,tolong peralatan untuk besok sudah disediakan oleh perusahaan,” tegas beliau menutup pertemuan pada malam itu.
 Walaupun masih agak ragu dengan tata cara penilaian aku tetap mengambil pilihan sebagai bagian dari tim karena hal tersebut merupakan pengalaman baru bagi ku, dan aku mendapatkan jatah sebanyak 13 hektar sample yang harus dinilai. Sebelum tidur aku ikut berkaraoke ria bersama dengan anggota tim yang lain juga termasuk Pak Helmi. Nafsu karaoke ku semakin membara karena telah lama tidak menyuarakan hasrat yang terpendam kecuali di kamar mandi setiap paginya, kalau malam sih biasanya aku jarang mandi :D. Puassssss berkaraoke hingga pukul 12.00 aku pun menuju tempat tidur untuk beristirahat sedangkan Pak Helmi masih berlanjut dengan beberapa lagu lagi, melirik ke kasur sebelah Bang Edi telah tidur dengan pulasnya, mungkin ia lelah menyetir seharian. Aku pun tidur dengan pulas dan tidak mimpi apa-apa.
Pagi-pagi sekali kami telah bersiap, semua tim sudah siap, sudah siap untuk sarapan maksudnya, hahaha. Semuanya sarapan begitu cepat dan bergegas menuju titik kumpul di gerbang masuk KUD Pasar Baru. Setelah berdoa dan mendengarkan penjelasan finishing dari Bu Betty masing-masing anggota berangkat menuju spot samplenya masing-masing. Aku kebagian spot yang benar-benar menantang karena harus mendaki bukit dan menuruni lembah dengan berjalan kaki, semua bekal sudah aku siapkan yang paling penting tentunya adalah air minum. Oh ya aku ditemani oleh asisten kebun  yang akan aku nilai nama beliau adalah Pak Sutrisno tetapi beliau lebih senang dipanggil Pak sutress dan aku tak ingin bertanya banyak soal kenapa beliau tidak ingin kata no dibelakang namanya. Bersama Pak Sutress  aku dan Bang Amin berkeliling seharian seluas 13 km yang secara tidak aku sadari telah berjalan sejauh 26 kilometer, itu kan sama saja aku berjalan dari rumah menuju kota bukittinggi, dan juga telah menghitung sebanyak 1600 lebih pohon sawit,hahahahhahaa. Sewaktu penilain tidak banyak yang kami bincangkan dengan Pak Sutress kecuali ketika istirahat untuk minum, aku bertanya beberapa hal mengenai kebun sawit dan sedikit hal tentang pekerjaan Pak Sutress.
Aku saat menilai salah satu pokok sawit
“kamu enak ya kerja nya di kantor, kami kerja nya ya begini masuk kebun keluar kebun di tengah hutan gini, tapi yang paling penting kan kita sekarang bekerja untuk masyarakat di plasma ini,” kata Pak Sutress sewaktu istirahat.
 Sebelum jam istirahat siang kami telah menyelesaikan survei separuh dari jatah lahan yang aku dapat yaitu 6 Ha, kertas penilaian yang aku bawa telah terisi separuh dan aku pun meminta istirahat untuk makan karena memang cuaca sudah mulai panas yang mengakibatkan badan mulai lemas dan goyah. Sejauh penilaian ku, kebun yang kami jelajahi tergolong kebun yang bagus karena buahnya sesuai dengan masa tanamnya yaitu kisaran 5-6 kg untuk tanaman menghasilkan pertama, pemberian pupuk yang teratur berdampak pada daunnya yang hijau serta batangnya yang besar, pekarangan atau teras satu pohon juga terlihat bersih, pemandangan perkebunan semakin indah karena dihiasi oleh tumbuhan kacangan yang berfungsi menyuburkan tanah. Sesekali kami juga bertemu dengan para bekerja yang berteduh dibawah rimbunnya dedaunan sawit, mereka terlihat senang tertawa dan minum kopi bersama, hari itu aku lebih sering bertemu dengan pekerja ibu-ibu. Betapa kerasnya keinginan mereka dan kemauan untuk bertahan hidup merawat perkebunan kelapa sawit setiap hari dimana ancaman binatang buas bisa datang kapan saja, bayangkan saja jika kita dilepas sendirian di tengah perkebunan maka tidak ada jaminan kita akan kembali dalam keadaan selamat karena memang perkebunan tersebut dibangun pada lahan yang sebelumnya adalah hutan belantara.
“kita kembali dulu ke pondok Bang untuk makan siang,” ajakku kepada Bang Amin yang selalu memantik rokoknya ketika kami istirahat. Dia sesekali juga berseloroh dengan mengejekku,” masih muda kok gampang lelah Bang,” katanya sambil tertawa.
Kami pun segera menuju pondok yang disebut Pak Sutress sebagai kantornya setiap hari, setibanya kami sudah dihadapkan pada beberapa kotak nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya. Pak Sutress dan Bang Amin mempersilahkan aku terlebih dahulu, lalu kami pun makan dengan lahap tanpa sisa. Tidak hanya nasi kotak tetapi juga ada beberapa bungkus kue kering yang kemudian aku simpan untuk cemilan nanti kalau lapar lagi...haha...maklum perut karet. Tenaga kami pun pulih kembali, berbincang sebentar lalu kami melanjutkan penilaian sisa lahan yang akan dinilai dengan kesepakatan kami telah selesai sebelum jam 4 sore. Kali ini semangat akut telah kembali membara, otot ku telah kembali bersiap untuk menjelajahi perkebunan sawit. Satu persatu batang pohon sawit terus aku lihat dengan cermat hingga tidak sadar kami telah berada pada hektaran terakhir dengan kondisi medan cukup datar sehingga tidak terlalu menguras energi.
“semua sudah selesai Pak, kebun bapak bagus dan terawat bagaimana kalau sekarang kita kembali ke mess Pak,” kata ku pada Pak sutress. Ia pun bernafas lega dan tersenyum,” kita santai dulu Pak Nanda, baru seteah itu kita balik,” sambil memantik rokok kreteknya.
 Sambil merapikan berkas penilaian untuk di tandatangani oleh pengurus koperasi kami pun ngobrol ringan dengan para pengurus koperasi, Pak sutress dan beberapa warga yang datang. Ada beberapa hal yang dapat aku tangkap dari obrolan mereka bahwa sebenarnya mereka ingin memiliki dan merawat perkebunan kelapa sawit dengan baik dan benar, tetapi terdapat beberapa kesalahanpemahaman minor yang membuat mereka masih bertanya-tanya tentang tugas dan tangung jawab mereka dalam konsep perkebunan inti –plasma. Semua berkas sudah ditandatangani, aku pun pamit kepada warga dan pengurus koperasi serta Bang Amin yang telah setia menemani aku sepanjang hari untuk menilai batang per batang sawit. Sebenarnya kami harus menunggu rombongan yang menggunakan mobil tapi memilih ikut boncengan dengan motor Pak Sutress untuk menikmati pemandangan kebun di sore hari. Walaupun ban motor depan Pak Sutress bocor tetapi beliau tetap semangat menggeber motor yang telah menemaninya lebih dari sepuluh tahun hidupnya. “mungkin motor ini sudah lupa bagaimana rasanya aspal,” kelakar beliau. Benar saja, ban motor depan yang bocor sudah tidak sanggup lagi menahan berat kami berdua sehingga beliau memutuskan untuk berhenti di sebuah bengkel untuk mengganti ban dalam motornya. Tidak berapa lama rombongan yang menggunakan mobil pun datang, ban Pak Sutress belum selesai di kerjakan kemudian beliau menyuruh ku untuk pulang dengan mobil saja. Aku pun menyampaikan rasa terima kasih kepad Pak Sutress lalu masuk kedalam mobil dan bergabung dengan anggota tim yang lain.
Semua anggota tim telah berkumpul sore harinya, beberapa langsung menuju kamar masing-masing untuk beristirahat dan beberapa juga ada yang membincangkan kondisi kebun yang mereka nilai tadi. Aku lebih memilih untuk istirahat karena memang bukan main capeknya, tulang aku berasa mau rontok. Rencana cuma buat melepas lelah akhirnya membuat aku tertidur hingga pukul tujuh malam, Bang Edi membangunkan ku untuk makan malam bersama. Segera aku mandi dan bersiap untuk makan malam bersama. Kami makan bersama dengan Bu Betty sambil membicarakan kebun yang kami nilai tadi siang, “setelah makan ini kita rekap nilainya ya yang belum paham cara menghitungnya nanti saya ajarin,” kata Bu Betty. Sontak aku pun kaget karena memang aku belum paham cara merekap data yang aku kumpulkan tadi siang, takutnya data yang aku buat salah atau tidak sesuai dengan format. “hey nanda, sini tak ajarin kamu rekap datanya biar pintar ngitungnya,” sentil Bu Betty pada ku. Langsung aku ambil berkas yang sudah aku isi tadi siang dan bu Betty pun mengajarkan dengan seksama di teras luar mess. Kami membahas rekapitulasi data sambil menikmati segelas teh dan kacang sebagai cemilan. Bu Betty dengan sabar mengajari ku cara menghitung sehingga di dapat lah nilai kebun secara keseluruhan, “ kamu kerja di bank ko tulisannya berantakan,” celetuk Bu Betty. Aku pun hanya tersenyum karena memang tulisan ku tidak pernah bagus semenjak bisa menulis sewaktu sekolah dasar :D.
Dalam satu berkas terdapat empat lembaran yang terisi penuh degan angka-angka, dimana aku harus bisa menjumlahkan semua angka dengan rumus yang telah dibuat untuk mendapatkan nilai kebun. Untuk satu berkas aku membutuhkan waktu sekitar setengah jam berarti untuk 13 berkas aku membutuhkan waktu sekitar enam jam untuk menyelesaikannya. Begadang adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan semuanya sebelum  diminta oleh Bu Betty esok harinya. Aku tidak begadang sendirian menyelesaikannya, tetapi juga ditemani Bang Edi dan beberapa anggota tim dari Disbun Kabupaten Madina. Ada hal yang lebih menyenangkan ketika kami disuguhi durian yang tentu saja aku habiskan bersama dengan Bang Edi :D. Persediaan kacang yang ada di dalam toples pun menipis seiring dengan pekerjaan kami selesai tepat pada pukul 02.30 pagi. Setelah merapikan semua berkas kami pun segera menuju kasur untuk merebahkan diri, menghempaskan tubuh yang sudah lunglai.
Esok paginya aku terbangun pukul 07.00 WIB, terlihat Pak Helmi sudah bersiap-siap,” jika tidak ada yang akan kita kerjakan hari ini nanti setelah sholat jumat kita balik,” kata beliau sambil berkemas. Aku pun segera meloncat dari kasur, badan sudah lumayan bertenaga dan berharap hari ini pekerjaan bisa selesai. Seperti biasa kami sarapan bersama sambil membicarakan segala sesuatunya tentang perkebunan sawit karena memang itu adalah hal yang paling menarik dibicarakan. Beruntungnya adalah aku banyak tahu dari Bu Betty dkk tidak hanya tentang penilaian kebun tetapi juga beberapa permasalahan sawit yang menjadi pembicaraan di pemerintah pusat. “saya hari ini mau ke KUD Maju Bersama untuk mengambil beberapa sampel lagi, saya targetkan sebelum sholat jumat sudah balik,” kata Bu Betty. Dia bilang kalau data sudah selesai direkap dan dibuatkan berita acaranya berarti semua tugas telah selesai. Setelah sarapan, Bu Betty pun bersiap pergi dan kamipun bersiap untuk menuju masjid menunaikan sholat Jumat.  Sekembalinya bu Betty kami dikagetkan dengan keinginan Bu Betty agar sampel di Maju Bersama di tambah untuk data yang lebih valid. Akhirnya setelah dibicarakan maka aku, Bang Edi dan beberapa orang dari Disbun Madina kembali menuju kebun KUD Maju Bersama untuk melakukan penilaian kembali. Kami juga ditemani oleh beberapa asisten kebun PTPN IV untuk memudahkan kami mengetahui medan perkebunan.
 Lokasi kebun KUD Maju Bersama terletak di tepi pantai barat Samudra Hindia, jadi jika kita ingin ke KUD Maju Bersama maka kita akan melewati pesisir pantai barat nan indah, dimana aku sama sekali tidak membayangkan ada perkebunan sawit di tepi pantai. Karena sudah lama tidak melihat pantai makanya aku penasaran sekali dengan pemandangan pantai barat samudra hindia yang kami lewati, benar saja kami menyusuri jalan yang tidak jauh dari pasir putih pantai, pemandangan yang sudah lama tidak aku lihat. Mataku tidak henti terus melihat dari dalam mobil, pantai yang panjaaaaanggggg dan indah. Tidak jauh dari pantai tersebut kami telah tiba di kebun KUD Maju Bersama, segera kami turun untuk mendengarkan instruksi Pak Royo tentang tata cara penilaian kali ini. Bahkan ketika aku melakukan penilaian pun samar-samar terdengar suara ombak pantai barat. Kami melakukan penilaian sekitar satu jam karena lahan yang dinilai memang tidak banyak dan topografinya datar sehingga kami tidak membutuhkan tenaga ekstra, cuma dari awal kami sudah di ingatkan akan bahaya ular yang banyak di temukan warga di kebun KUD Maju Bersama. Setelah melakukan penilaian kami beristirahat sebentar di perumahan karyawan pengelola kebun, salah seorang pekerja mengatakan bahwa sejauh ini telah 3 ekor kambing warga telah dilahap oleh ular pada waktu malam hari. Bicara soal ular adalah binatang yang paling aku takuti, karena ular terlihat menggelikan dan ganas, mampu bergerak cepat dan mematikan tentunya.
Kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke mess ketika matahari akan tenggelam, “sunset” fikirku. Benar saja di sepanjang perjalanan kami ditemani oleh sinar merah keemasan matahari yang akan tenggelam di pantai barat, suatu pemandangan yang indah sehingga aku abadikan dengan kamera ponselku beberapa jepretan.
“pantai di sini ramenya kalau hari libur atau hari besar saja, kalau hari-hari biasa ya sepi kayak gini,” kata supir yang membawa kami.
Setelah disepakati kami melewati jalur Desa Sinunukan untuk makan malam disana,  sekedar info kepada para pembaca setia bahwa Desa Sinunukan adalah salah satu desa transmigrasi yang paling sukses karena saat ini taraf kehidupan masyarakatnya meningkat drastis, kalau aku tidak salah Desa Sinunukan terbagi atas lima blok desa. Hal ini berarti masyarakat Sinunukan sangat berterima kasih kepada alm Presiden Soeharto dengan program trasmigrasinya. Memang benar bahwa Desa Sinunukan terlihat lebih maju karena kita bisa lihat dari bangunan rumah warga yang umumnya sudah permanent dan bagus, cuma kondisi jalan saja yang perlu diperbaiki. Salah satu kiat sukses masyarakat Sinunukan adalah mereka tidak hanya memanfaatkan lahan perkebunan sawit namun juga beternak sapi di sela perkebunan sawit. Bahkan sebelum memasuki desa sinunukan mobil kami sempat dihadang oleh ratusan sapi yang lagi asik nongkrong di tengah jalan, mereka seakan tidak peduli dengan mobil yang lewat sehingga kami harus mengusirnya terlebih dahulu.
Sesampainya di tempat makan, kami semua turun dari mobil dan memesan makanan masing-masing, “ pesan aja Pak kita makan sepuasnya,” ujar salah seorang asisten kebun. Ia bilang kalau tempat makan tersebut adalah yang paling rame dan enak. Aku pun memesan ayam goreng kampung dan juga satu mangkuk soto medan, itu adalah soto medan pertamaku dalam hidupku, rasanya mirip dengan soto betawi tetapi lebih kental dan memiliki aroma bawang seperti soto padang. Bisa dikatakan bahwa soto medan adalah perpaduan antara soto betawi denga soto padang, kuahnya yang berwarna hijau kental begitu nikmat  ditambah dengan irisan daging sapi. Ayam goreng kampungya juga yummi dengan sambal colek nya yang tidak begitu pedas, sebenarnya sih aku lebih suka pedas. Alhasil kami semua kekenyangan dengan santapan masing-masing, ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami segera meninggalkan tempat makan menuju mess untuk istirahat eh maksudnya untuk merekap data....hahahha. Benar saja ketika sesampai di mess, setelah membersihkan diri dari keringat, aku langsung melakukan rekap data yang harus diselesaikan karena besok pagi Bu Betty akan membuat berita acaranya. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyelesaikan rekap data karena sudah lumayan mahir setelah di ajarkan Bu Betty semalam.  Kami bisa tidur lebih cepat.
 Pagi-pagi sekali aku sudah melihat Bu Betty dan anggota tim dari Dinas Perkebunan Madina sibuk melakukan rekapitulasi semua data yang telah di kumpulkan untuk dibuatkan berita acaranya. Sambil menunggu berita acaranya selesai aku dan Bang Edi duduk di teras sambil menikmati secangkir teh dan kacang. Setelah semuanya selesai dan ditandatangani, kamipun pamit kepada anggota tim yang lain dan juga perwakilan dari PTPN IV, Pak Helmi pun memutuskan untuk mengambil jalur yang berbeda yaitu dengan menempuh Kota Bukittinggi. Alangkah senangnya hatiku karena tentu saja aku bisa singgah di rumah terlebih dahulu untuk bertemu orang tua ku. Jalur yang kami lewati lebih baik dari sebelumnya sehingga Bang Edi tidak terlalu sulit untuk mengemudikan mobil, hingga akhirnya kami sampai pukul tujuh malam di rumahku. Mama dan papa ku sudah berdiri dengan senyum sumringah menyambut kami, sebagaimana permintaan aku sebelumnya untuk makan di rumah dengan ikan teri pun akhirnya kesampaian. Semua nya sudah disiapkan oleh mama sehingga kamipun makan dengan lahap, “gini aja nanda, kamu tidur dirumah dulu agak semalam ini besok baru kita balik ke Pekanbaru kan kamu kangen orang tua mu juga,” kata Pak Helmi saat makan. Tentunya aku senang bukan main karena bisa bermalam drumah, berkumpul dengan keluarga agak sejenak.
 Setelah makan malam, Pak Helmi pun minta diantarkan ke Bukittinggi untuk mencari penginapan yang jaraknya sekitar setengah jam dari rumah ku. Agak susah memang menemukan penginapan karena bertepatan dengan liburan sekolah, sehingga Pak Helmi pun terpaksa tidur di salah satu penginapan yang mungkin saja tidak ada bintangnya...hehehe. Selesai mengantarkan Pak Helmi, akupun mengajak papa yang juga ikut untuk makan sate bersama, senang sekali rasanya bisa ngumpul dan makan sate bersama. Kali ini bukan satenya lagi yang enak tetapi kebersamaannya yang aku rasakan paling enak. Tidak lupa aku belikan jagung rebus manis kesukaan mama lalu kami pun melaju menuju rumah.
 Kelelahan yang melanda Bang Edi membuatnya cepat mengambil posisi untuk tidur dan dalam sekejap saja ia sudah tertidur pulas, sedangkan aku masih bercerita dengan mama dan papa sambil nonton tv. Keesokan paginya aku mengajak Bang Edi untuk mandi di sungai dekat rumah dimana sungai adalah salah satu tempat favorit ku semasa kecil, ingin lama-lama rasanya berenang tetapi air sungai yang dingin membuat kami tidak betah berlama-lama. Setidaknya aku bisa melepaskan kerinduan untuk mandi di sungai mengenang masa kecil dan bersyukur air sungai itu masih jernih dan segar tidak seperti sungai-sungai di kota yang telah banyak tercemar. Setelah semuanya selesai dan berpamitan, aku dan Bang Edi langsung menuju hotel Pak Helmi dan kami mengakhiri petualangan Madina dengan menyantap sepiring nasi kapau uni en yang sangat lazizzzz bin yummi...sampai-sampai piring ku licin...hahaahaha.
Sekarang kami bersiap untuk kembali ke Pekanbaru. Petualangan yang baru dan sarat akan pelajaran. Terima Kasih.

Pekanbaru, 24 Juli 2014




Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )