Menapak Tanah Deli


Sabtu, 15 Juni 2013. Aku, Bokir dan Inop memulai perjalanan menuju tanah deli. Kota Medan. Sebelumnya perkenalkan dua orang kawanku, Bokir dan Inop. Bokir dengan nama asli Oki Hardiansyah adalah teman sekamar ku dulu, kami pisah ranjang karena berbeda pandangan seperti halnya sosialis dan liberalis. Perawakannya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, hidungnya pesek, muka bulat, rambut ikal, dan sedikit menyimpan lebih lemak dalam tubuhnya. Gaya bicaranya agak memusingkan tapi pasti. Segala macam tokoh komik, kartun, satria baja hitam, power ranger, sekalian gareng petruk dan pak semar sudah tertancap dalam di dalam kepalanya. Segala macam komik dan filem animasi dalam bahasa jepang, bahasa india bahkan bahasa sanskerta pun ia pahami. Inop, nama aslinya adalah Novrialdi Zed yang baru saja aku berkenalan dengannya. Inop seorang yang pendiam, penidur dan all about innocent. Dia adalah kawan akrab Bokir dari SMA, kurang lebih hobinya sama dengan Bokir yaitu dari gareng hingga satria baja hitam.
Hari itu kami berangkat dari rumahku dengan menggunakan sebuah bus super executiveantar Kota antar propinsi. Awalnya Inop tidak ikut dengan kami karena tiket yang telah dipesan menurut Inop kemahalan, namun karena Bokir adalah orang yang sangat baik hati lagi luar binasa maka dengan senang hati ia meminjamkan uangnya kepada Inop. Kami berangkat pada pukul 17.55, begitu berada di dalam bus kami tidak terpikir akan menumpangi bus yang cukup mewah, yang ternyata sudah disediakan selimut, bantal dan kursi yang empuknya seperti kasur. Setelah bersalaman dengan ibu dan bapaku serta melambaikan tangan seperti orang yang akan pergi sangat jauh ke kutub utara, maka bus kami segera melaju. Dari wajah ayah dan ibuku jelas terlihat harapan yang besar. Jujur selama hidup, baru kali ini aku merasakan menaiki sebuah bus yang cukup mewah aku rasa.
Hmmmm... secara khusus kami memang tidak memberi tema atau nama dalam perjalanan ini, karena ini memanglah suatu kepergian untuk jalan-jalan atau bertamasya ria. Walaupun begitu aku tetap menamai perjalanan kami dengan nama “tour the three musketar ketir”. Kami bertiga memang belum pernah menginjakkan kaki di Kota Medan, bahkan seorang Bokir capaian terbesarnya adalah rumahku, berbeda dengan Inop yang sudah pernah melintasi garis khatulistiwa di daerah Bonjol. Perjalanan kami menuju kota terbesar nomor dua di Indonesia pun dimulai, tentu dengan harapan kami akan mendapatkan apa yang kami inginkan, yaitu lulus tes seleksi ujian karyawan PT. JAMSOSTEK Persero.
Bus yang kami tumpangi melaju dengan sangat cepat, walau kami tidak merasakan karena empuknya kursi yang kami duduki, buktinya dalam waktu kurang dari 3 jam pak supir telah membawa kami ke perbatasan Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Menjelang memasuki daerah perbatasan sumatera utara kita dapat melihat dengan jelas sebuah akulturasi budaya antar provinsi, hal tersebut dapat di lihat dari bentuk rumah penduduk di daerah Rao hampir mirip dengan Rumah Adat Sumatera Utara, dimana rumah adat Sumatera Utara cenderung memanjang ke belakang.  Jam digital yang terpasang di depan bus sudah menunjukkkan pukul 21.00, kami tidak bisa menikmati pemandangan di luar jendela bus. Samar-samar aku hanya melihat bukit-bukit yang ditumbuhi pohon pinus, karena cuaca malam itu lumayan cerah. Muara Sipongi, itulah desa pertama di Sumut. Perut ku sudah mulai bernyayi dengan riang gembira, sedangkan keadaan tidak memungkinkan bagiku untuk meminta pak supir berhenti di tengah hutan lalu menjalani kehidupan survival untuk mencari makan malam.
Beruntungnya aku bisa menambal perut yang sudah keroncongan dengan biskuit pemberian oji cantik sebelum pergi tadi. Aku memberi Bokir satu setengah keping biskuit dan Bokir terlihat menerimanya dengan lapang dada, Inop yang duduk di samping Bokir masih tertidur pulas yang akhirnya membuat ia tidak mendapatkan jatah biskuit. Setelah memakan beberapa keping biskuit, aku meraba-raba bungkusan biskuit menghitung isi biskuit yang masih ada. Tinggal 6 atau 7 keping biskuit gumamku, kalau seandainya bus yang kami tumpangi  tidak berhenti hingga Kota Medan, bisa-bisa aku mati dalam bus ini. Tidak lucu sama sekali seorang pejuang mati di dalam bus umum. Oh ya Nop..maafkan aku tidak memberi mu  biskuit, bukan maksud aku untuk tidak membagi biskuit..hehehe. sementara itu beberapa kali telepon genggam ku berdering dan aku mendengar kata-kata yang sama dari bapaku, yaitu “, sabanta lai otonyo baranti tu, makan sabanta lai tu”, ucap beliau menenang aku dan perutku. Satu kali telepon ku berdering, lalu Bokir berkata “, den ndak biaso di ingekan mode tu dek gaek den do lah, kok ka pai yo pai se lah tapi elok-elok,”, mungkin Bokir sedikit cemburu, hahahha.
 Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu telah tiba, bus yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah makan di Kota Nopan, rumah makan masakan minang Duta Selera. Sebelum makan bokir memberi ultimatum pada kami, dikarenakan Bokir telah mengingatkan bahwa ia pernah trauma saat makan sebuah rumah makan bersama dengan bapaknya ketika perjalanan menuju lampung. “, waktu tu den makan jo gaek den, samba ciek nasi ciek, ha..kanai se 80 ribu ntah dari ma se datangnyo”, Bokir mengenang dengan emosi. Mendengar cerita mengerikan Bokir, akhirnya kami melakukan langkah penyelamatan dan penghematan yaitu dengan mengambil masing-masing satu lauk. Abrakadabra...kami hanya membayar 52 ribu, dan mitos Bokir terungkap sudah. Sebelumnya Bokir juga pernah berkata “, beko kalau baranti makan, den makan pop mie se lah”, dan itu memang benar setelah menghabiskan sepiring nasi ternyata ia masih merasa lapar dan membeli sebuah pop mie dan snack ringan lalu menyatapnya dengan sangat cepat.
Perut sudah terisi dengan sempurna maka bus yang kami tumpangi melanjutkan perjalanan, lagu-lagu lawas mengiringi kami menuju alam mimpi. Sepertinya pak supir memang sengaja memutar lagu-lagu tema lawas agar penumpang yang budiman segera bisa beristirahat, contohnya saja ketika lagu cari jodoh milik grup band Wali baru saja memasuki intro, maka pak supir langsung menggantinya dengan lagu kisah kasih di sekolah. Dinginnya AC ditambah dengan udara malam yang dinginnya sudah merasuki seluruh tubuh membuat aku dan Inop memakai kerudung untuk menutupi kepala. Kami kebingungan mematikan AC bus yang terus nyala...hahaha...memang lah kami katrok. Sesekali aku menoleh ke arah Bokir, mungkin ia tidak akan pernah merasakan dinginnya udara karena lemaknya yang cukup menggantung di tubuhnya.
Jam digital yang terpasang di bagian depan bus sudah menunjukkan pukul 23.30, mataku sudah tidak bisa diajak kompromi dan segera mengatur posisi kursi untuk tidur. Aku terbangun pada pukul 4.00 dini hari lalu melihat sekeliling, semua orang masih tertidur diiringi lagu-lagu lawas yang masih tetap di putar. Melihat keluar jendela, aku tidak bisa melihat dengan begitu jelas karena memang masih cukup gelap, kemudian akupun menarik selimutku dan kembali tidur. Pada pukul 05.15 aku kembali terbangun dan kali ini aku sudah bisa melihat pemandangan diluar jendela yang dipenuhi hamparan perkebunan sawit. Aku berada di planet sawit. Ah..ini akan menjadi pemandangan yang bagus dan tidak akan membosankan dengan harapan sebentar lagi aku akan melihat danau toba yang kata orang sangat indah. Mataku tidak bisa di pejamkan lagi untuk tidur, dengan penuh harapan aku terus melihat keluar seakan-akan danau toba telah menanti. Hingga akhirnya bus yang behenti disebuah halam masjid di Kota Pinang.
 Beberapa orang turun dari bus dan menuju masjid untuk melaksanakan ibadah sholat subuh, termasuk aku, Bokir dan Inop. Sebagian dari mereka bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa batak yang sudah pasti sangat sulit daripada bahasa inggris menurutku. Masjid yang aku lupa namanya memiliki gaya arsitektur zaman orde baru, sama persis dengan masjid Nurul Ilmi di kampusku dulu :D. Setelah selesai melaksanakan ibadah sholat subuh, aku berdiri di depan masjid dan berbicara dalam hati, setelah Kota pinang ini pasti Danau Toba, dan ternyataaaa....aku melihat sebuah papan besi iklan layanan masyarakat dengan tulisan jalur lintas sumatera. Aku tertunduk lemas, ini bukan jalur ke Toba pikirku, tapi aku tetap semangat mungkin pas pulang nantinya kami akan melewati Danau Toba. Segera setelah semua penumpang kembali ke formasi tempat duduk masing-masing, pak supir pun kembali menginjak pedal gas. Satu hal yang sangat aku banggakan adalah sejauh ini supir yang mengendarai bus yang kami tumpangi sanggup menyetir semenjak Kota Nopan semalam. Luar biasa dan terbiasa.
Tanda tanya besar kembali menghantui kami yaitu dimanakah tempat kami akan menyantap makan pagi. Seperti semalam, aku kembali menyantap beberapa buah keping biskuit, bedanya adalah kali ini aku tidak lagi membaginya dengan Bokir apalagi Inop karena memang mereka memang tidur dengan pulas kembali. Sepanjang perjalanan kami hanya melihat hamparan kebun sawit dan karet, tanpa berharap tiba-tiba akan muncul danau toba yang luas. Terkadang aku masih tidak percaya, lalu aku membuka telepon genggam ku dan melihat posisi kami di GPS, benar sudah GPS menunjukkan kami berada jalan lintas sumatera. Aspalnya mulus, hampir tidak ada lobang ataupun jalan rusak yang kami temui, hanya saja agak sempit untuk ukuran jalan lintas sumatera. Melihat perkebunan sawit dan karet di sepanjang jalan tentu aku merasa bosan. Bayangkan saja kita di ajak untuk melewati perkebunan nusantara dari IV hingga I, kemudian bakrie sumatera plantation yang juga luas sejauh mata memandang. Terpikir olehku bahwa ini adalah uang untuk para kapitalis.
 Tepat pada pukul 10.15 kami berhenti disebuah rumah makan khas minang, kali ini aku lupa namanya. Aku ceritakan sedikit bahwa walaupun kami makan di rumah makan yang di embel-embeli dengan kata-kata minang, aku secara pribadi menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada rasa minangnya sedikitpun, karena perut yang lapar ya apa boleh buat...santappppp. Labuhan Batu, Rantau Prapat, Batu Bara, Tebing Tinggi, Deli Serdang, entah itu urutan yang benar atau salah tapi kami telah melewati empat daerah tersebut hingga akhirnya sampai di gerbang TOL pertama dalam hidupku. TOL Amplas Kota Medan. Di kejauhan kami melihat beberapa gedung yang menjulang tinggi di tengah-tengah Kota Medan, lalu aku juga melihat perkampungan kumuh di sepanjang rel kereta api. Sungguh Kontras pikirku.
Setibanya di markas besar Bus, maka seluruh penumpang turun tidak terkecuali kami, dan kami menghirup udara pertama kali di Kota Medan. Panas dan berdebu. Kami bergegas menuju ruang tunggu yang telah disediakan untuk menghindari terik matahari yang sangat menyengat. Di ruang tunggu tersebut aku duduk dengan Inop dan Bokir sambil menunggu kedatangan atuk ku yang telah dalam perjalanan dari rumah untuk menjemput kami. Aku belum pernah bertemu dengan atuk ku, atuk adalah suami dari adik nenekku. Beliau adalah seorang keturunan india, perawakannya tinggi, hidungnya mancung, kulitnya lumayan keling, dan gaya bahasanya logat Medan India ekspress. Kami menuju rumah atuk dengan menggunakan angkot karena memang tidak muat untuk boncengan bertiga diatas sepeda motor. Inop dan bokir serta cucuk atuk farhan naik angkot, sedangkan aku boncengan dengan atuk. Waktu pertama kali naik motor aku bertanya kepada atuk “, ini saya ga pake helm tuk ( logat indonesia pertama saya di Medan bah)”,. Atuk menjawab dengan gagah berani “, ga apa-apa, saya kan orang sini (lho apa hubungannya)”.
Aku fikir kami akan ditilang oleh polisi, namun ..cilukbaaaa...hampir semua orang yang mengendarai sepeda motor di Kota Medan tidak menggunakan helm, ini gila kataku dalam hati. Di medan orang-orang berhenti diluar garis zebra cross jika lampu lalu lintas merah, kadang mereka menerobos dan telat sedikit saja mereka dengan serentak akan membunyikan klakson. Ini adalah kota dengan orang-orang pemberani yang membawa kendaraan bermotor seperti dikejar hantu atau seperti melihat gundukan emas di depan mata. Tidak jauh berbeda dengan kendaraan pribadi, kendaraan umum seperti angkot dan bentor juga dengan sangat nyaman melakukan manuver-manuver berbahaya di jalanan yang ramai. Pos-pos polisi yang megah di persimpangan jalan pun terlihat kosong, mungkin polisi di sini hanya berasaskan bali motor surangpakai surang jatuah surang matimanangguangan surang.
Sementara itu mulut atuk terus berkomat kamit menjelaskan tentang Kota Medan dan tempat penting di Kota Medan. “, nah sekarang ini kita berada di titi kuning lalu di depan sana simpang limun, nanti jika kamu tersesat di medan ini kamu tinggal ngomong sama supir angkotnya antar saya ke simpang limun”, atuk menjelaskan. Menurut atuk hampir semua angkot di Kota Medan pasti melewati simpang limun, yaa..semacam pusat persimpangan ke segala arah di Kota Medan. Di tengah perjalanan saya melihat warung yang memiliki panjang kira-kira 50 meter, dimana terdapat puluhan orang tanpa baju sedang asik bermain domino. Aku yang penasaran dengan fenomena yang luar biasa ini langsung menanyakan pada atuk “, tuk,,tuk,,oo atuk,,mereka main judi ya tuk”,? Lalu atuk menjawab “, bukan..bukan...itu sebagian besar orang minang yang bermain domino”. Sangat aneh memang, bagaimana bisa ditengah hiruk pikuk ramainya Kota dan terik panasnya matahari mereka dengan asik bermain domino. Sebagian punggung mereka hitam legam. Aku sebenarnya tersentak dengan perkataan atuk bahwa hanya orang minang yang main domino disini, memang lah unik kami pergi jauh untuk bermain domino.
 Sebenarnya dalam perjalanan dari tadi saya telah melihat banyak rumak makan khas minang yang berjejeran di sepanjang jalan lintas sumatera, dan kali ini saya juga melihat hampir di tiap jalan dan persimpangan dalam Kota terdapat rumah makan khas minang yang menawarkan harga mulai dari 6000 rupiah. Terlepas dari entah itu benar orang minang yang membuat masakan atau hanya menempel embel-embel khas minang, namun sepertinya masakan minangkabau mampu menjajah selera makan orang Medan kebanyakan. Contohnya saja rumah makan putri minang, ajo piaman, salero kito, dan masih banyak lagi. Sebagai Kota nomor dua terbesar di indonesia, Medan memiliki fasilitas yang memang mencirikan sebuah Kota metropolitan, minimarket, mall, restoran cepat saji, angkutan umum yang beragam mulai dari becak aja, becak pake motor, angkot, kereta api, taksi dan saya tidak melihat bendi di sini.
Aku melihat salah satu perusahaan ritel terbesar di indonesia yaitu Indomaret dimana-mana, hampir setiap satu kilometer kita akan menjumpai Indomaret. Oh ya...sebentar kita flasback ke belakang, jadi pada saat dalam perjalanan menuju Medan adalah Bokir penemu Indomaret pertama di daerah tebing tinggi dan ia berkata “,oih..oih...Indomaret lah ado disiko a”. Aku berfikir Bokir hanya akan mengucapkan kalimat itu satu kali saja, namun setelah ia melihat kembali Indomaret ia berkata lagi “,ha indomaret lo baliak”, begitu seterusnya hingga terakhir yang ia ucapkan adalah “, indomaret se nampak dari tadi a”, ia nampak kagum dan tercengang seperti Tarzan masuk kota...hahaha..piss kir. Padahal menurutku itu biasa-biasa saja, sama halnya dengan minimarket rili swalayan, citra swalayan, dan botak toserba yang ada di Kota Padang. “, tuk..tuk..di sini banyak kali Indomaretnya (logatku mulai menyesuaikan bah)”, tanyaku, atuk dengan cepat membalas “,itu lah dia, pemerintah sini tak punya aturan soal minimarket ritel ini, misalnya saja tutup jam 6 sore biar toko-toko yang lain juga pada hidup”. Dalam kenyataannya memang yang aku lihat bahwa toko-toko kecil disebelah Indomaret sudah tutup, atau mungkin merela sudah gulung tikar. Mudah-mudahan perusahan ritel ini tidak memasuki sumatera barat walau kemungkinan itu sangat tipis, karena mengingat perusahaan ini tengah gencar melakukan ekspansi, dan jika mereka telah hadir di sumatera barat maka jangan harap toserba botak, toko uniang, citra swalayan, dan sebagainya akan hidup dengan nyaman.
 Kami akhirnya sampai di rumah atuk lalu kami bersalaman dengan nenek. Kami seakan-akan masih berada di dalam bus tadi, dudukpun terasa bergoyang.  Nenek segera membuatkan tiga gelas sirup rasa cocopandan dan slurppppp...kami meminumnya untuk melepas dahaga. Ditengah percakapan dengan atuk dan nenek, tiba-tiba saja atuk menanyakan tanggal lahir kami, dan mengatakan ramalan-ramalan aneh. Sepertinya kebanyakan orang india mempunyai kemampuan membaca garis tangan atau memang suka meramal nasib orang, hal itu pun juga berlaku terhadap atuk. Beliau melihat garis tangan masing-masing dari kami, yang pertama adalah aku, dan beliau mengatakan bahwa aku adalah orang yang berbahaya dan tidak bisa menyimpan uang. Apakah aku berbahaya seperti BOM ATOM? Atau seperti BOM WAKTU?, hanya atuk yang tau dengan ramalan-ramalannya. Kedua adalah Inop, atuk mengatakan tidak ada hal yang istimewa dari Inop alias biasa-biasa saja,” ini biasa-biasa saja tidak ada yang istimewa,” sambil meraih tangan Bokir. Inop hanya senyum. Giliran Bokir pun tiba, agak lama atuk melihat tangan Bokir lalu ia berkata, “ kamu punya keturunan dukun ya? Nanti kamu bisa mengobati orang sekitar umur 38 tahunan,” Bokir kebingungan. “, Umur kamu juga tidak panjang nanti kamu meninggal gara-gara sakit jantung dan itu sudah positif,” tambah atuk, kali ini muka Bokir ketakuitan dan pucat, pandangannya lurus mengahadap langit dan berkata mantap, “pokoknya sebelum mati aku harus membahagiakan orang tua ku”. Aku berusaha menenangkan Bokir dan mengatakab bahwa hidup, mati, jodoh, rejeki, luka, suka, itu urusan Tuhan, atuk kan bukan Tuhan.
Satu hal yang sangat menarik dari atuk menurutku ialah beliau memiliki buku langka Bung Karno di bawah bendera revolusi, yang menurut atuk adalah buku turun temurun dari keluarganya. “,hei Nanda kau jangan baca buku itu dulu,  kau harus baca buku bendera revolusi  (seraya menunjuk buku Che Guevara revolusi rakyat yang aku bawa dari rumah untuk dibaca diatas mobil)”, aku kaget bukan kepalang. Intinya adalah beliau menyuruhku untuk mengetahui sejarah bangsa ini secara lebih mendalam.
Kami melepas penat di rumah atuk hingga pukul 17.00 WIB, karena kami harus melakukan survey tempat lokasi ujian yaitu Asrama Haji Kota Medan. Atuk mengajarkan dengan jelas pada kami tentang angkot apa saja yang menuju asrama haji dan bagaimana cara kami pulang ke  daerah teladan tempat kami menginap nantinya. Kami memang tidak menginap di rumah atuk, melainkan di sebuah rumah yang juga punya atuk di daerah teladan. Sesampainya di rumah yang ternyata adalah bekas kos-kosan mahasiswa UISU, aku dan kedua temanku berkenalan dengan penjaga rumah, sedikit berbasa basi lalu kami menuju kamar dan tidur dengan pulas.
Keesokan harinya kami bangun agak siang, karena masih merasakan lelah dalam perjalanan yang menempuh waktu lebih kurang 20 jam. Aku diserang flu ringan yang sangat mengganggu, kepala pusing, hidung tersumbat, dan lidah yang sedkit pahit. Hari itu kami berencana akan melakukan simulasi kedua, yaitu melakukan perjalanan tanpa di temani atuk menuju asrama haji. Setelah makan siang, kami pun berangkat dan menuju asrama haji sesuai perintah atuk. Sepulangnya dari asrama haji, kami berniat untuk pergi melancong untuk menonton filem Man Of Steel di bioskop. Angkot pertama yang kami naiki ternyata bannya bocor di tengah perjalanan, karena cuaca yang sangat panas aku mengajak Bokir keluar dari angkot menunggu pak supir mengganti ban yang lain. Akan tetapi Bokir malah berkata “,jan turun lai, beko dimintaknyo ka ang ongkos duo kali amuah ang?”. Hahahahhaha....baru kali ini aku mendengar kata-kata konyol penakut dari mulut Bokir (mungkin efek ramalan atuk) dan benar saja begitu aku turun, Bokir dan Inop tetap di dalam angkot menahan panasnya cuaca, aduh..kir..kir..penakut kali kau bah.
Kami tiba di salah satu mall yang ada di Kota Medan, dan setelah mencari informasi dengan bertanya pada tiga orang responden dengan tiga orang tersebut menjawab bahwa memang tidak ada bioskop di mall tersbut. Seakan tidak percaya dengan tiga orang responden, aku memberanikan diri bertanya pada salah seorang satpam mall, dan pak satpam berkata “,mall yang ada bioskopnya disebelah dek”. Dengan mantap kami pun beralih ke mall berada persis di sebelah mall yang tidak ada bioskop, sebuah bangunan tua yang bertuliskan OLYMPIA dan THEATRE, aku langsung berpikir pasti ini mall yang punya bioskop. Setelah kami masuk dan sampai di lantai dua mall tua tersebut, kami melihat sekeliling hanya di penuhi penjual baju seperti di Pasar Aur Kuning Bukittinggi, cetarrrr....ini bukan mall yang ada bioskopnya melainkan tempat menjual berbagai macam jenis pakaian secara eceran  maupun grosir.
Kami lagi-lagi sesat dalam kedunguan. Akhirnya kami putus asa dan memutuskan untuk pulang dengan menggunakan angkot sesuai petunjuk atuk, lagi-lagi kami ditimpa sial karena angkot yang ditunggu-tunggu selalu penuh. Di tengah kegalauan dan kegagalan menonton Man Of Steel, aku memutuskan untuk bernegosiasi dengan salah satu supir bentor agar mengantarkan kami ke daerah teladan. Dengan ongkos 15 ribu yang semula ditetapkan oleh pak bentor 30 ribu kami berangkat bertiga menaiki bentor dengan hati riang dan gembira membahana. Kami berhenti di sebuah restoran cepat saji yang ada di dekat rumah, lalu kami singgah untuk makan malam bersama. Hari yang ditunggu telah tiba, hari itu selasa tanggal 18 Juni 2013 dimana aku ikut tes seleksi yang dimulai jam 8.00 pagi. Betapa beruntungnya Inop dan Bokir yang mendapat jam tes pada ukul 14.00, jadi mereka bisa tidur dengan pulas pagi itu.
Aku memulai tes hari itu dengan nama psikotes yang sebenarnya aku tak paham dari mana asal tes ini, bayangkan saja kita harus menyelesaikan beberapa soal berupa gambar-gambar dalam waktu yang mungkin hanya satu atau dua menit. Katanya sih hasil tes ini untuk mengukur kemampuan seseorang, entah kemampuan apa yang mereka nilai dari hasil menjawab gambar-gambar ini. Alangkah baiknya kita bandingkan dengan zaman kerajaan atau zaman kolonial dulu, pemerintah atau raja mungkin tidak tahu mengenai psikotes ini, tapi toh kerajaan atau negeri mereka makmur dan sentosa juga (alasan klasik :D). Rasa pesimis mulai menghantui karena tes ini sungguh memusingkan, apakah tidak cukup seseorang menilai kita dari daftar riwayat hidup saja...hahaha. Panitia tes itu mengatakan bahwa hasil tes akan di umumkan jam 21.00 malam ini, yang ternyata setelah kami menunggu hingga jam 00.00 hasilnya belum juga keluar. Barulah pada jam 2.30 dini hari Bokir membangunkan aku dengan penuh semangat gegap gempita karena ia mendapatkan SMS dari panitia bahwa hasil tes sudah dapat di lihat. Benar-benar panitia pembohong, dan dosa tentunya sudah kalian dapat :D (sadis banget).
Ternyata oh ternyata aku dan Bokir tidak lulus tes yang berarti kami berdua tidak dapat melanjutkan ke tahapan selanjutya. Inop yang pergi ke WC semenjak dibangunkan Bokir pun kembali ke kamar, Bokir bertanya pada Inop “,lulus ang nop?”, dengan muka innocentala Inop hanya senyum dan menjawab, “lumayanlah”. Bisa dibayangkan Bokir yang dengan penuh semangat hanya dibalas dengan senyuman oleh Inop :D.
 Aku sadar bahwa kali ini bukan rejeki ku untuk diterima bekerja di PT. JAMSOSTEK, setelah melihat hasil tes aku sedikit kecewa dan kembali tidur. Bokir lebih kecewa, terlihat dari raut wajahnya yang nampak kehilangan semangat dan gairah hidup, Bokir yang malang pun tidak tidur hingga pagi hari. “,den pulang se lah lai, beko pagi langsuang pasan tiket kali”, ia berbicara seperti di kejar setan dan tak karuan (mungkin efek ramalan atuk lagi). Esoknya aku bangun jam 9.00 pagi, dengan Inop yang sudah tidak ada di antara kami, Inop pergi untuk melanjutkan perjuangan. Aku dan Bokir hari itu langsung berpamitan kepada mama penjaga rumah, lalu bergegas ke rumah atuk dan memesan tiket pesawat darat ALS.
Setibanya di rumah atuk kami beristirahat sebentar sambil menunggu keberangkatan pesawat ALS jam 17.00. “,belum rejeki itu nda, sabar saja berarti masih ada yang lebih baik yang di rencanakan tuhan,” nenek menasehatiku. Sebelum pulang Bokir juga menyempatkan diri mengunjungi warnet di dekat rumah atuk untuk menenangkan diri barangkali, dan lagi-lagi Bokir yang kebingungan untuk mencari jalan pulang kerumah atuk karena gangnya hampir mirip semua. Untuk yang kedua kalinya Bokir yang malang :D. Pukul 17.30 kami take off dari bandara terminal amplas ALS, Aku dan Bokir pulang dengan senyuman tanpa melihat Danau Toba lagi, karena Pesawat darat yang kami tumpangi lagi-lagi melewati jalan yang sama sewaktu kami pergi. Semoga Inop menemukan jalan terbaiknya dan pulang dengan melihat keindahan Danau Toba. Amin. 

“ini bukanlah tulisan, melainkan rekaman jejak perjalanan “

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )