Untuk Antan...
Kriiiinggggg.....(telepon genggam ku berdering), halo,” ucapku setengah sadar. Pagi itu senin 20 Mei 2013. ”,Antan alah dulu Nda,” begitu ku dengar suara yang sangat khas. Suara Oji. Aku terdiam beberapa saat dan mengucap dalam hati. ”,mama menyuruh pulang pagi ini, mama sedang di Bukitinggi sekarang membeli kain,” tambahnya. Aku masih terdiam seakan tidak percaya dengan berita yang baru saja kudengar. Aku hanya menjawab iya. Segera aku bangun untuk mandi dan berkemas ingin segera pulang ke kampung ku Pagadih. Telepon ku kembali berdering, kali ini mama yang menelepon, “ alah dapek kaba Nda? Kini ama sdg mambali kain di pasa, pulang lah kini ajak Erit,”. Erit adalah adikku yang saat ini menempuh semester empat di Universitas Negeri Padang. Setelah mama menelepon aku langsung menelepon Erit, dua kali aku telpon tidak diagkat. Mungkin dia masih tidur fikirku. Jam menunjukkan pukul 08.00, aku kembali duduk di kasur mengenang antan badan ku terasa lemas, lesu dan kepala sedikit pusing. Aku kembali meraih telepon genggam dan kembali menelepon erit adikku, kali ini ia menjawab. “,den alun bisa pulang pagi ko bang, beko den ujian jam 2, jam 3 wak pulang baa?,”. Aku hanya menjawab,” den tanyo ama dulu,”. Tidak berapa lama setelah menelepon erit, papa pun menelepon aku,” tunggu se lah adiak ang pulang, beko samo sia pulo nyo ka kampuang, jan kancang-kancang bana mambaok motor,”. Aku kembali duduk di kasur, mengenang dan berfikir bahwa sangat lama jam 3 sore, dengan kepala sedikit pusing aku berjalan gontai ke kamar mandi. Hari senin itu aku berencana ingin mengambil perlengkapan untuk wisuda, dengan badan masih lemas sehabis mandi aku langsung berangkat ke kampus untuk membayar uang sewa toga dan baju wisuda. Setelah semua urusan peminjaman selesai, aku kembali ke kos, ingin tidur rasanya tapi mata tidak mau di ajak kompromi. Gelisah ingin cepat berada di kampung. Ingin segera melihat antan sebelum beliau disemayamkan.
 Antan adalah kata panggilan lain dari kakek atau inyiak bagi sebagian orang Minangkabau. Biasanya antan adalah sebutan yang umumnya digunakan oleh sebagian besar masyarakat Payakumbuah, dan memang benar antan ku berasal dari daerah Puah Data. Suatu daerah yang berbatasan langsung dengan Nagari Pagadih yang masih termasuk ke dalam ruang lingkup Kabupaten Agam. Tidak heran bahwa masyarakat Pagadih cenderung melakukan aktivitas berdagang di daerah Puah Data, karena memang lebih dekat. Kebanyakan masyarakat Puah Data masih sangat kental dengan logat-logat Payakumbuah yang sepertinya memiliki vokal dominan “O”. Contohnya kata gadang menjadi godang bagi orang Payakumbuah. Tidak terkecuali antan, ia pun sangat khas dengan logat-logat Payakumbuahnya. Semasa hidupnya beliau adalah orang yang ku kenal sangat tegas dan memberikan banyak nasihat kepada ku. Namun kini beliau telah tiada, beliau wafat pada hari Senin itu tanggal 20 Mei 2012 pukul 04.55 pagi, 98 tahun adalah menjadi bukti bahwa beliau sangat sehat menjalani hidup di dunia ini. Aku sangat kagum dengan sosok antan.
 Setelah menikah dengan nenek yang aku tidak tahu tanggal dan tahunnya berapa, beliau membangun sebuah rumah yang menurut aku sangat mewah pada zaman itu, yaitu sebuah rumah gadang semi permanen. Beliau pernah berkata bahwa rumah yang lama telah dibakar oleh tentara belanda pada masa itu, dan kembali membangun rumah gadang yang lebih bagus. Kenapa aku mengatakan rumah yang beliau bangun adalah rumah mewah? Bagaimana tidak, rumah yang dibangun adalah rumah gadang yang lengkap dengan gonjongnya sejumlah empat buah, tidak hanya itu untuk memasuki pintu utama pembaca harus menaiki beberapa anak tangga terlebih dahulu. Rumah gadang itu juga di lengkapi jendela besar sebanyak tiga buah, lantai dan sebagian dinding masih terbuat dari kayu yang sampai sekarang tidak ada kerusakan berarti.
Lapisan kayu sanggup membuat hangat siapapun yang berada di dalamnya, cocok sekali untuk cuaca kampungku yang memang terkenal cukup dingin. Di rumah gadang beliau bernaung bersama dengan enam orang anaknya. Sungguh cikal sebuah keluarga besar, dan benar saja sekarang saja beliau telah memiliki cucu lebih dari 25 orang dari anak-anaknya. Sebenarnya beliau memiliki 7 orang anak, namun Tuhan berkehendak lain salah seorang dari anak beliau meninggal beberapa hari setelah lahir. Antan adalah orang yang sangat tegas, dan beliau adalah orang yang paling cool dari semua orang yang ku kenal, beliau berbicara dengan sangat hati-hati untuk menjaga katanya. Apabila tidak terlalu penting beliau tidak akan berbicara dan lebih memilih bekerja. Sejak aku lahir dan mengenal sosok antan, saat itu beliau memang sudah lanjut usia. Seluruh rambutnya telah memutih, namun postur badan masih tegap dan tenaganya masih kuat untuk mencari kayu bakar. Sewaktu kecil, beliau kerap kali mengajak ku berjalan-jalan keliling kebunnya sekedar untuk memetik beberapa buah yang telah matang. Sesekali beliau juga mengajarkan aku bagaimana cara menangkap ikan yang baik.
Walaupun telah tua, tangan dan jari beliau masih sangat mahir dalam membuat alat-alat penangkap ikan tradisional, ya...beliau juga sangat ahli dalam menganyam. Setiap kali pulang ke kampung, beliau selalu menyelipkan nasihat-nasihat yang menurut ku sangat sederhana tapi bermanfaat. Aku masih ingat ketika beliau berkata, “ satinggi apo pun ilmu ang nda, nan hati yo dilatakkan sarandah-randahnyo, kalau lah mode itu ang sado urang pasti sayang ka wa ang (setinggi apapun ilmu kita, hendaklah tetap rendah hati supaya di sayang semua orang) ,” suara beliau sangat tegas. Kata-kata yang akan selalu ku ingat dimanapun dan kapanpun. Setiap cucu beliau yang pulang ke kampung akan mendapatkan nasihat-nasihat yang di ucapkan dengan logat Payakumbuahnya yang khas.
 Satu lagi dari sekian banyak nasihat yang beliau katakan adalah,” kok ka marantau ang, kok bakarajo ang jo urang lain, nan jujur ko yo bana harus ang paliharo, elok laku wak bia di sanang dek induak samang ang baitu pulo jo ibuk guru ang,” (jika pergi merantau dan bekerja dengan orang lain jujur harus diutamakan maka juragan atau guru kita pun akan senang dengan kita),”.  Tepat pada pukul 15.00, aku dan Erit berangkat dari Kota Padang menuju Pagadih dengan sepeda motor kesayangan pembelian orang tua ku. Dengan badan masih tidak fit, aku memberanikan diri mengendarai sepeda motor dengan jarak tempuh sekitar 4 jam, ditengah jalan merasa letih maka aku minta erit mengendarai motor. Yamaha Mio pun melaju tanpa masalah menuju kampung halaman tercinta. Jalan menuju kampungku memang masih jauh dari kategori layak, masih jalan tanah dan kerikil. Apabila musim penghujan tiba bisa dibayangkan bagaimana buruknya jalan tersebut. Sekitar pukul 19.15 kami tiba di Pagadih. Ternyata rumah antan telah di penuhi beberapa anak dan cucu beliau. Aku terlambat, tetapi tidak untuk berdoa.  Beberapa cucu beliau sengaja datang dari rantau untuk mendoakan beliau di rumah. Tiga hari berturut-turut sebagaimana tradisi di sebagian daerah Minangkabau yaitu manigoaari  (berdoa dalam tiga hari berturut-turut untuk mendiang antan) pun dilakukan.
 Beberapa tetangga dan karib kerabat beliau berdatangan, kami mengaji dan ditutup dengan doa bersama untuk kebaikan beliau di sisi-Nya. Esok harinya aku pergi ke belakang rumah gadang dan melihat dengan jelas kuburan antan. Beliau memang di kuburkan tidak jauh dari rumah gadang, hanya berjarak beberapa petak sawah. Seketika itu pun aku teringat dengan semua kata-katanya, lama ku pandangi kuburan beliau. Sedih. Aku masih teringat ketika mengajak beliau untuk ikut pada acara wisuda di padang, namun tuhan berkata lain. Dua minggu sebelum wisuda beliau telah berpulang terlebih dahulu. Waktu itu aku mengajak beliau seraya bercanda,” antan pai dih wisuda bisuak, pai caliak lauik wak tu makan kapalo ikan lauik nan paliang gadang (antan besok ikut ya wisuda saya ke padang, nanti kita bisa melihat laut dan makan kepala ikan laut yang paling besar),”. Memang lah beliau belum pernah melihat laut semasa hidupnya begitupun juga dengan enek, yang beliau tahu adalah bahwa di padang terdapat lautan dengan ikan yang banyak tentunya. Kepala Ikan adalah makanan favorit antan.
 Kata-kata terakhir yang beliau ucapkan kepada ku adalah ,”awak ko sampai ma bona lah, kona-kona lah sia awak sabonanyo, kama awak ka pai, inok manuangan bona sosudah sumbayang dun, agiah wakatu agak sapuluah minik sudah sumbayang dun duduak mamanuang,”. Kata-kata terakhir beliau ucapkan pada saat aku pulang ke kampung untuk meminta doa restu agar lulus dan dimudahkan dalam ujian komprehensif. Untuk antan yang telah mengajarkan cara hidup sederhana, untuk antan yang telah menyuntik ku dengan nasihat-nasihat luar biasa, semoga arwah beliau berada di tempat terbaik di sisi-Nya. Amin.
 “bukan tulisan tetapi hanyalah ungkapan yang aku sampaikan”

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Gadih Minang (Sakola atau Balaki?)

TRAGEDI 26 MEI 2011 . ( PART II )