Kalah Jadi Abu Menang Jadi Arang
Prakkk....bunyi
pintu rumah yang ditutup dengan keras oleh bapak, kemudian berjalan menuju
dapur lalu memukul meja makan dengan tangannya, sekali lagi bunyi yang keras
memecah kesunyian rumah kami di tengah malam. “bapak, jangan begitu kasihan
anak-anak sudah tidur,” aku mendengar suara ibu mencoba menenangkan bapak. “ibu
tidak usah banyak bicara, mana makanan aku lapar, aku lapar,” balas bapak
geram, tangannya dikepalkan. Rupanya hari itu ibu tidak memasak lauk karena
memang tidak lagi ada uang yang cukup untuk membeli lauk untuk dimasak. Kami hanya
makan telur dadar buatan ibu yang dibagi tiga dengan dua orang adik ku.
Perlakuan bapak seperti itu tidak hanya sekali dua kali, seringkali kami harus
menghadapi emosi yang tidak jelas ketika beliau pulang larut malam. Ya benar
sekali, bapak adalah seorang penjudi berat tidak hanya malam, namun siang hari
aku juga kerap melihatnya bermain judi gaplek bersama beberapa orang temannya.
Meja judi penuh dengan kacang, minuman dan beberapa lembar uang taruhan,
sepertinya mereka sangat menikmati tanpa menghiraukan orang yang lalu lalang di
depan warung.
Suatu
hari aku pulang sekolah, hari itu sangat menyenangkan karena tidak biasanya aku
mendapat nilai bagus untuk pelajaran matematika, aku bermaksud ingin memamerkan
nilaiku pada bapak, barangkali dia akan senang. Dengan masih memegang kertas
hasil ujian aku berlari pulang, belum sampai dirumah aku melihat bapak tengah
tertawa sumringah di warung tempat ia biasa bermain gaplek, aku malu
menghampirinya, tetapi aku tidak tahu apa-apa tentang gaplek, bagiku itu hanya
permainan biasa dengan uang sebagai taruhan, maklum saja usiaku baru memasuki
angka delapan. Bagiku kemenangan bapak adalah berkat kepandaiannya bermain
gaplek dan tentu saja ia harus mengambil semua uang yang ia menangkan, aku
polos dan tidak mengerti apa yang mereka lakukan.
“bapak,
coba lihat ini aku dapat nilai sembilan untuk ujian matematika,” aku membuka
kembali lembaran kertas ujian di depan bapak dan juga beberapa temannya.
“pintar
juga anak kau sekolah Jon, walaupun bapaknya tidak sekolah, “ salah seorang
teman bapak memandang ku dengan setengah meledek. Bapak lalu mengambil beberapa
uang ribuan memberikannya ke padaku, “ini sebagai hadiahnya, besok harus dapat
nilai sepuluh,” bapak mengelus kepala ku, asap mengepul dari mulutnya.
![]() |
*ist |
Dengan
senang hati aku menerima beberapa uang pemberian bapak tanpa aku tahu bahwa
lembaran uang dari hasil permainan gaplek, memang siang itu tumpukan uang bapak
lebih banyak daripada tiga orang temannya. Begitulah kerap aku lakukan sepulang
sekolah, meminta uang jajan di warung ketika bapak tengah asik bermain judi,
kadang aku beruntung bisa mendapatkan beberapa lembar uang namun tidak jarang
juga pusar ku kena putar oleh bapak karena aku merengek meminta uang ketika ia
sepertinya tengah kalah bermain gaplek.
Keseharian
bapak tidak bisa lepas dari kartu gaplek, seperti tidak ada hentinya maklum
saja bapak tidak mempunyai pekerjaan tetap, ia hanya bekerja serabutan, kadang
ikut dengan orang berkuli, berdagang, dan hasil dari keringatnya selalu
berakhir di meja judi. Seperti biasanya bapak pulang menjelang malam, badannya
penuh dengan keringat sudah beberapa hari ini beliau ikut dengan pak Jagat
membangun jalan desa.
“ibu..mana
handuk aku mau mandi,” bentak bapak pada ibu.
Bapak
merampas handuk yang masih melingkar di leherku, aku hanya terdiam tidak berani
melawan. Selepas mandi beliau kemudian berganti pakaian, rapi sekali, ibu tau
persis bahwa bapak baru saja menerima upah dari pak Jagat, “pak, bapak kan baru
saja menerima upah, boleh kita belikan untuk lauk makan malam ini, sesekali
anak kita makan enak pak,” pinta ibu lirih. “makan enak? Ikan asin pun sudah
cukup buat mereka,” nada bapak meninggi. “bapak mau kemana?,” aku merungut di
depan pintu kamar. Tidak ada jawaban, bapak kemudian berlalu dari hadapan kami.
Ibu kemudian datang menghampiriku, matanya berbinar sambil mengusap kepala ku,”
sabar ya nak, nanti ibu masak yang enak buat kita makan,” ia pun mencium
keningku.
Tidak
banyak yang dapat kami lakukan dimalam hari, kami tidak memiliki televisi untuk
ditonton bahkan radio untuk didengar, yang ada hanya suara jangkrik dan kodok
memecah kesunyian malam. Aku melihat ibu menjahit beberapa helai baju ku yang
sudah robek, walaupun hanya dengan cahaya lampu teplok ibu terlihat begitu
cekatan. Tanganya tidak henti menjalin benang menambal dan memperbaiki baju
kami yang sudah robek, baginya selagi masih bisa dijahit lebih baik daripada
membeli yang baru, hemat, tidak ada cukup uang lebih tepatnya. “ini bajunya
sudah ibu jahit lagi, besok bisa dipakai lagi ke sekolah,” ibu memberikan
kepadaku seragam yang sebelumnya robek dibagian lengan sebelah kiri. Karena
tidak ada hiburan dirumah aku kerap kali datang ke rumah Ihsan untuk menonton
televisi, jika esoknya minggu maka aku kerap menginap di rumah Ihsan. Terkadang
ibu datang menjemput, mengingatkan aku sudah waktunya tidur atau mengerjakan
tugas sekolah untuk esok hari.
Selesai
mengerjakan tugas sekolah aku bergegas ke kamar untuk tidur, aku melihat ibu
masih menjahit beberapa pakaian, “bapak masih belum pulang ya bu,” tanyaku.
“belum nak, mungkin nanti malam baru balik,” ibu menjawab tanpa menoleh padaku.
Tidak seperti biasanya, mataku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan tingkah
bapak yang semakin aneh, seperti tidak bisa lepas dengan permainan gaplek.
Tidak akan pernah lepas dari ingatan ketika suatu malam bapak mengajak beberapa
orang temannya untuk bermain gaplek dirumah kami hingga larut malam, aku bahkan
tidak tahu pukul berapa permainan haram itu selesai. Esok paginya seperti biasa
aku bersiap untuk berangkat sekolah, ibu telah menyiapkan sepiring sarapan nasi
dengan telur mata sapi serta sambal. Aku melihat beberapa lembar uang berserakan
di lantai dan sebagian di dalam kantung plastik, beberapa botol minuman kaleng
juga berserakan. “ibu hari ini aku harus bayar buku, jika tidak nanti bukunya
ditarik kembali oleh sekolah,” aku meminta pada ibu dengan mulut penuh nasi.
“coba minta sama bapak, ibu sedang tidak ada uang,” jawab ibu. Bapak rupanya
mendengar percakapan kami, “sudah itu ada uang di atas tikar, ambil aja berapa
perlu,” suara bapak berat dari dalam kamar.
“jangan!,
itu uang haram, aku tidak rela anak ku makan uang itu!,” ibu mencegat tangan ku
ingin mengambil beberapa lembar uang.
Bapak
tidak menjawab hanya kembali menarik selimut, aku terpaku bingung tidak tahu
harus berbuat apa. Sepanjang jalan menuju sekolah aku hanya diam, Ihsan berusaha
mengajaku bercanda tetapi kata-kata ibu tadi pagi masih terngiang jelas dibenak
ku. Uang haram. Kini aku mengerti kenapa ibu amat membenci kebiasaan bapak
bermain gaplek, jelas bahwa selama ini tidak ada hasil baik yang kami dapat,
yang ada hanya amarah dan emosi, pertengkaran demi pertengkaran bahkan tidak
jarang aku melihat ibu menangis hingga tersedu-sedu. Jika sudah begitu maka
kami bertiga akan ikut menangis, aku sebagai anak yang paling tua tidak dapat
berlaku banyak.
Bapak
pulang larut malam lagi, kali ini aku yang membukakan pintu buat bapak karena
kebetulan aku terbangun, “belum tidur nak?, “ bapak mengusap kepala ku sambil
memberikan dua bungkus roti. Aku tidak begitu lantas memakannya, karena takut
roti itu dibeli dari hasil main gaplek. Bapak meminta ibu untuk membuatkannya
segelas kopi, lalu aku mendengar kedua orang tua ku bercakap-cakap di ruang
tamu, bukan di atas kursi yang empuk melainkan hanya tikar pandan. “bu besok
bapak akan ke desa sebelah membeli buah manggis untuk dijual lagi, tapi bapak
tidak punya modal yang cukup,” suara bapak memelas pada Ibu. Rupanya Ibu langsung
mengerti,” kalau Ibu tentu saja tidak ada uang untuk modal itu pak, lagian
besok harus ke pasar untuk belanja kebutuhan dapur,” tutur kata Ibu lembut.
Sepertinya tidak ada dendam pada bapak yang selama ini lebih banyak
menghabiskan waktu di meja judi. “tapi ibu kan masih punya anting yang bisa
kita gadaikan, bapak akan ganti uang ibu dua hari lagi,” bujuk bapak.
Rayuan
terus dilakukan,” tapi pak anting itu cuma satu-satunya yang tinggal, jika kita
butuh uang sewaktu-waktu bisa kita gunakan,” ibu tidak bergeming.
Bapak
menghela nafas, sepertinya usahanya sia-sia membujuk ibu, ia meminum kopi
terakhirnya, “baiklah bu, ayo kita tidur besok bapak mau bangun pagi,” bapak pun berlalu ke kamar
tidur. Aku yang sedari tadi mendengarkan percakapan bapak dan ibu mencoba untuk
memejamkan mata, “begitu sulit rupanya menghilangkan candu permainan gaplek,”
pikirku.
Esoknya
sepulang sekolah aku melihat ibu sedang mengacak-ngacak lemari pakaian, “ibu
sedang mencari apa,” selidikku. “anting ibu tidak ketemu, dari tadi pagi ibu
cari tetap tidak ketemu,” raut wajah ibu memerah cemas. Hampir semua baju yang
ada di dalam lemari berserakan di kasur. Ibu terus membolak balik pakaian dan
memeriksa seluruh sakunya. Aku yakin sekali bahwa ibu tidak akan pernah lupa
dimana ia menyimpan anting tapi aku juga tidak ingin menuduh bahwa bapak telah
mengambilnya.
Ketika
ibu dan aku masih mencari anting yang tidak kunjung ketemu, dari luar aku
mendengar suara pak Jagat memanggil kami, “bapak mu sekarang dirumah sakit,
tubuhnya kejang, perutnya sakit sepertinya terlalu banyak minum bir di warung,
“ nafas pak Jagat masih tersengal. Aku memandangi wajah Ibu, penyesalan jelas
terlihat di matanya, kini kami tahu bahwa anting Ibu tidak akan pernah kami
temukan lagi. Segera ibu mengendong adikku yang bungsu, “ kamu dirumah ya nak,
ibu mau ke rumah sakit menengok bapak, “ ibu bergegas masuk ke dalam mobil Pak
Jagat. Badan ku terasa lemas, rupanya gaplek telah membutakan pikiran dan akal
sehat bapak, sedangkan ibu selalu sabar. *Nanda
Bismar
Comments
Post a Comment