Selamat Datang Tahun Kambing
Tengah
asik ngetik nota analisa, tiba-tiba Pak Masrul bilang, “Nanda Pak Acuan (bukan
nama sebenarnya) besok ngajak kerumah, ikut ga?,”. Saya pun agak bingung juga
kenapa harus bertamu ke rumah pak Acuan, oh rupanya dalam rangka perayaan imlek
tahun ini pikir saya. “oh ya, boleh Pak besok kita pergi kesana,” saya pun
lanjut mengetik. Tidak sabar juga menunggu hari esok rasanya, karena memang
saya belum pernah bertamu ke rumah orang etnis tionghoa apalagi bertamu dalam
rangka tahun baru imlek.
Selama
ini yang saya tahu imlek selalu identik dengan warna merah, kembang api, kue
keranjang dan berbagai perayaan oleh masyarakat tionghoa. Perayaan secara
spesifik dan makna imlek sejujurnya saya memang tidak paham, oh ya....yang
jelas satu lagi tahun kemaren adalah tahun kuda dan sekarang adalah tahun
kambing. Menurut ramalan ala tionghoa shio saya adalah kuda, maka akan
mengalami keberuntungan yang luar biasa pada tahun kuda, kalo difikir memang
tahun 2014 kemarin adalah tahun yang luar biasa bagi saya. Entah sekarang di
tahun kambing nasib saya bagaimana, tak sedikitpun saya tahu dan saya tidak mau
memikirkan itu.
![]() |
*ilustrasi Tahun Kambing |
Esoknya,
sabtu pagi yang cerah karena sudah hampir satu minggu di Taluk selalu diawali
dengan pagi yang mendung. Semangat saya pun berlipat ganda, moment matahari
yang cerah sangat menyenangkan untuk melakukan aktivitas pagi. Setelah semua
pekerjaan rumah selesai dan perutpun sudah kenyang saya siap untuk pergi ke
rumah Pak Acuan. Jam 12.40 telepon saya berdering, “Nda, nanti jam 1 kita
kumpul di kantor,” kata Daniel yang ternyata juga diajak oleh Pak Masrul. Tidak
ambil pusing saya hanya mengenakan kaos hitam dengan jeans hitam lalu tancap
gas ke kantor. Tidak lama setelah saya tiba di kantor, Daniel pun datang.
Sembari menunggu Pak Masrul datang kami sempatkan untuk bermain monopoly yang
akhirnya saya kalah...hahahhaa. Kurang beruntung. Belum selesai permainan Pak
Masrul pun datang bersama anak bungsunya Fathur, ah gantung. Beliau mengenakan
kemeja kotak-kotak warna kuning muda lengkap dengan sepatu kulit, warna coklat rapi
sekali memang. Diantara semuanya saya paling tidak rapi ditambah hanya memakai
sandal jepit.
Tanpa
basa basi lagi kami langsung berangkat kerumah Pak Acuan yang memang tidak
terlalu jauh dari kantor, sesampainya disana kami disambut dan diminta untuk
naik ke lantai tiga rumahnya. Seumur hidup itu adalah kali pertama saya
memasuki rumah seorang tionghoa. Rumah Pak Acuan seperti kebanyakan rumah para
etnis tionghoa disini, rumah dengan toko dibawahnya alias ruko. Di lantai tiga rumah Pak Acuan kami duduk di
ruang tamunya dimana meja di depan kami sudah tersedia beberapa toples yang penuh
dengan berbagai macam kue-kue kering tradisional. Ruang tamunya begitu penuh
dengan berbagai macam ornamen teruatama guci dan bebatuan, bahkan ada dua guci
yang mungkin tingginya setinggi saya, lalu ada tempat duduk dari batu giok. Pak
Acuan memang hobi mengoleksi batu terutama giok, karena menurutnya batu giok
adalah salah satu batu yang mengandung mineral yang mampu melancarkan peredaran
darah.
Jika
lantainya dipenuhi dengan berbagai batu dan guci tidak kalah juga dengan
dindingnya yang juga dipenuhi dengan lukisan dan berbagai ornamen khas imlek
berwarna merah, bahkan mungkin semua ornamen berwarna merah dan kuning emas.
Lemari Pak Acuan di belakang kursi saya juga dipenuhi hiasan beberapa foto dan
botol-botol anggur bekas. Setelah kami duduk, Pak Acuan langsung menuju lemari
es nya, mengambil beberapa jeruk dan minuman kaleng untuk kami. “nah silahkan
di cicipi kalo kurang nanti ditambah,” ketawanya. Walaupun saya tidak suka
dengan minuman yang mengandung gas tetapi saya coba meminum sedikit.
Obrolan
kami beragam, mulai dari imlek, batu dan tentang usaha Pak Acuan sendiri.
Tetapi dari semua topik maka topik tentang batu akik adalah hal yang paling
sering dibicarakan. Apalagi batu cincin baru Pak Acuan memiliki motif seperti
huruf kanji jepang, menarik siapapun yang melihatnya. Tengah asik ngbrol, Pak
Acuan menawarkan kami untuk minum Bir, “ ada yang mau minum ga? Ya dikit-dikit aja
bagus buat kesehatan,” kata Pak Acuan. Ia mengambil beberapa cangkir, lalu
berjalan ke arah guci besar dan mengambil bir yang tersimpan didalamnya.
Hahahhahaa, tempat penyimpanan bir yang unik. Ia mengambil satu botol bir impor
lalu menuangkan ke cangkir sedikit, “ campur dengan minuman kaleng itu,”
katanya. Agak geli juga saya karena memang tidak pernah minum begituan, saya
pun memilih tidak meminumnya begitu juga dengan Pak Masrul. Menurut pak Acuan
tidak salah meminum bir dan semacamnya asalkan jangan disalahgunakan sebagai
ajang untuk mabuk-mabukan. “ya kalo di buat minum sampai mabuk ya salah,”
katanya.
Kira-kira
satu jam ngobrol sana sini akhirnya kami berpamitan kepada Pak Acuan, dia
adalah orang yang baik dan rendah hati. Sebelum kami pulang ia mengeluarkan
pepatahnya, “sedigin-dinginya cuaca karena ada angin, dan semiskin-miskinnya
manusia karena ada hutang,” itu kata-kata yang menurut Pak Acuan adalah sakti. Walaupun
tidak begitu paham dengan pepatahnya saya memahami bahwa hidup sederhana jauh lebih
baik dari pada memiliki hutang.
Selepas
dari rumah Pak Acuan, kami pun melanjutkan pergi bersilaturahmi ke rumah Pak
Asiong (juga bukan nama sebenarnya). Rumah Pak Asiong tidak juah juga dari
rumahnya Pak Acuan, hanya sekitar 50 meter. Setibanya di rumah Pak Asiong,
beliau juga mengajak kami naik ke lantai dua rumahnya. Tidak berbeda jauh
dengan rumah Pak Acuan, di lantai dua rumah Pak Asiong kami juga disuguhi
berbagai macam kue kering yang memenuhi toples. “silahkan-silahkan dimakan
jangan malu-malu,” logatnya khas. Rumah Pak Asiong siang itu cukup ramai ada
istri dan orang tuanya serta seorang cucunya yang lucu dan sipit. Sesekali
mereka berbicara dengan bahasa yang tidak saya mengerti, tentu saja bahasa ibu
mereka bahasa tionghoa, bahkan cucu Pak Asiong yang masih kecil paham sekali
dengan bahasa mereka. Isi rumahnya juga dipenuhi berbagai macam guci dan
foto-toto keluarga ukuran besar menempel di dinding. Obrolan kami kali ini
tidak sedikitpun menyinggung mengenai batu akik, melainkan tentang usaha Pak
Asiong. “kita berdagang ini tidak bisa mengambil untung banyak Pak, sangat
tipis apalagi kita berdagang kelontong seperti ini,” tutur Pak Asiong. Usaha
Pak Asiong memang salah satu yang terbesar di taluk istilahnya adalah dia
adalah salah satu main player. Sepertinya
mereka sangat menikmati hidup dengan berwirausaha, buktinya adalah anak dan
menantu Pak asiong juga berdagang di Kota Pekanbaru.
Asik
ngobrol ternyata Pak Asiong juga menawarkan kami untuk minum bir, “gimana, bir
boleh ya yang kaleng aja,” tawarnya. Ia meminta kepada istrinya untuk mengambil
beberapa bir kaleng merk ternama yang memang alkoholnya masih dibawah 5%, ya
mungkin masih masuk dalam kategori minuman ringan. Walaupun demikian ya tetap
saja saya tidak berani meminumnya, bukan takut mabuk tetapi takut nanti saya
sakit perut. Hiks. Tidak berapa lama kemudian kami berpamitan dan saya
menyadari betapa ramahnya mereka.
Pengalaman
pertama imlek hari ini menyadarkan saya bahwa imlek bukanlah sekedar perayaan
tahun baru bagi mereka, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi. Walaupun tidak bisa mengabadikan moment imlek kali ini tetapi saya cukup puas dengan pengalaman ini.
Teluk Kuantan, 22 Februari
2015
Comments
Post a Comment