Rahma
Menjelang
tidur aku menghubunginya, “halo, apa kabar?”, degup jantungku berdetak kencang,
entah kenapa aku merasa seperti akan mendengar sesuatu yang amat penting. Tidak
lama,”kabar baik, abang gimana?,” seperti biasa suara lembutnya yang khas
mengalir merasuki telingaku. Sebentar kami berbasa basi mengenai aktivitas hari
ini, ia bercerita panjang lebar mengenai kuliahnya dan aku juga tidak kalah
untuk bercerita, kami sangat antusias, dia jelas begitu memberikan semangat.
Tidak dapat menahan terlalu lama, aku menanyakan sikapnya yang berubah
akhir-akhir ini, “kamu kenapa? komunikasi kita beberapa hari ini tidak baik,
tidak seperti biasanya,” selidikku. Dia diam sejenak, aku mendengarnya menghela
nafas, “maaf bang, Rahma tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini, dalam agama
kita tidak baik hubungan seperti ini, jika memang abang nanti serius, silahkan
datang ke rumah, Rahma tunggu,” suaranya getir. Sontak aku terkejut, serasa
dihujam jarum jarum kecil, aku seperti melayang, lama aku terdiam sehingga seluruh
otakku terasa beku, “baiklah, jika itu memang keputusannya aku terima, jodoh
tidak akan kemana,” aku berusaha sekuat mungkin untuk tersenyum walaupun ia
juga tidak akan melihat.
Dia
adalah Rahma gadis yang selama ini aku puja selama satu setengah tahun sejak
masa dimana kami masih mengenakan seragam putih abu-abu, dia tidak hanya bintang
kelas tetapi juga gadis yang paling cantik di sekolah. Tidak pelak semua
perhatian terutama para lelaki pasti tertuju padanya. Sebenarnya aku mengenalnya
sudah sejak lama, tepatnya di masa sekolah menengah pertama tetapi tidak
sedikitpun aku memperhatikannya.
Sekarang
kami kembali satu atap, sekolah menengah atas satu-satunya di desa yang bagian
timurnya dikelilingi perbukitan dan sebelah barat berbatas jalan raya kecamatan.
Sebagai sekolah menengah satu-satunya, tentu saja hampir semua tamatan sekolah
menengah pertama melajutkan di sekolah kami, walaupun beberapa dari mereka ada
juga yang melanjutkan pendidikan ke kota dengan pilihan sekolah yang lebih
beragam. Bangunan sekolah kami tidak banyak dengan pekarangan yang juga tidak
luas, pekarangan bawah berdiri kantor yang bersebelahan dengan perpustakaan,
lalu tiga ruang kelas dua dan tiga ruang kelas tiga yang berada di dekat labor
komputer sebelah kiri kantor. Sedang kelas ku berada di pekarangan atas persis
di sebelah laboratorium fisika, hanya dua ruang kelas yang ada di pekarangan
atas.
Perkenalan
dengan Rahma adalah bermula dari Widya, teman ku yang agak gemuk, berambut
pendek dengan pipi lebar yang menjadi penghubung aku dengan Rahma. Akhir
semester kedua kelas dua aku mulai tertarik dengannya, aku sering menanyakan
kabarnya pada Widya, sekedar berkirim salam pun juga pernah. Jangan harap kami
telah memiliki telepon genggam, karena percuma saja memiliki alat canggih itu sebab
tidak ada sinyal yang masuk desa kami. Hanya segelintir orang saja yang memakai
alat itu untuk berkomunikasi, dengan kata lain adalah orang yang sering ke kota.
Beberapa
kali juga aku memberanikan melirik Rahma ketika ia melewati depan kelasku,
terkadang ia membalas dengan senyuman yang membuat rasa penasaran semakin
memuncak. Lama aku berfikir, akhirnya aku beranikan untuk berkirim surat
padanya. “Wid…Widya…tolong kasih ini sama Rahma, “aku setengah berlari mengejar
Widya yang telah sampai di gerbang sekolah. “apa ini?, ciee..surat cinta ya,”
ledek Widya dengan bibir yang dimonyongkan. Aku hanya tersenyum simpul, lalu
bergegas pulang.
Malam
harinya aku tidak bisa tidur, memikirkan balasan yang akan aku terima karena
telah lancang berkirim surat pada orang yang belum tentu mengenalku. Aku tahu
beberapa orang teman juga menaruh hati pada Rahma, tetapi aku tetap yakin akan
diterima olehnya. Semalaman yang penuh dengan rasa penasaran hingga membuatku
sulit memejamkan mata untuk tidur, dia terbayang. Esoknya aku tidak langsung
menghampiri Widya, aku memilih berdiam di mejaku, duduk membaca buku pelajaran
yang sebenarnya untuk mengalihkan rasa penasaran. Suara Widya yang cempreng dan
keras aku dengar dari kejauhan, dia begitu riang pagi ini, bergerombolan dengan
teman kos nya yang lain. Tiba-tiba dia sudah berada di sampingku, tertawa cekikikan,
“oi ngapain baca buku pagi gini, pasti lagi nungguin balasan surat yaaa..,” dia
sekarang memegang kartu AS ku. Dalam hati aku berfikir pasti ia akan memberikan
balasan suratku kemarin, rupanya harapan ku hanya sia-sia, Rahma baru akan
membalas dua hari lagi. Hari yang panjang.
Senin
datang, pagi yang begitu indah dan hangat karena sinar matahari pagi yang
berkilauan menepis embun di dedaunan, desa kami memang masih sangat alami oleh
karenanya menghirup udara pagi yang segar adalah hal yang paling menyenangkan.
Seperti biasa setiap senin pagi kami wajib mengikuti upacara bendera sebelum
memulai pelajaran, kali ini kelasku yang menjadi pelaksana upacara dan aku yang
akan yang akan menjadi komandan upacara. Itu sudah biasa bagiku. Sebelum
berangkat sekolah aku sisir rambut serapih mungkin, tidak lupa memakai
wewangian secukupnya karena aku tidak suka dengan alkohol berlebihan, dengan
percaya diri aku langsung menggeber vespa warna biru tua yang setia menemani ku
ke sekolah setiap hari. Sesampainya di sekolah, aku langsung mengumpulkan
teman-teman kelas yang akan menjadi pelaksana upacara, semua dokumen yang
diperlukan sudah aku berikan dan aku minta mereka untuk berdiri di posisi
seperti biasa. Sekali lagi aku sudah amat terbiasa dengan tugas ini. Bedanya pagi
ini aku begitu percaya diri, begitu bersemangat, selain janji surat dari Rahma,
pastinya aku akan lebih leluasa menatapnya jika menjadi komandan upacara. Begitupun sebaliknya, jika kelasnya yang
menjadi pelaksana upacara maka aku akan berdiri di barisan paling depan,
menatapnya di pagi hari adalah satu bagian yang paling nikmat untuk memulai
hari, terkadang kami berbalas senyum.
Tugas
telah kami selesaikan dengan baik aku berniat kembali ke kelas, belum lagi sampai
Widya berteriak memanggil, “tunggu..tunggu..ada yang mau aku sampaikan,“ gadis
gendut itu mengejar ku hingga nafasnya tersengal. Ia memberikan secarik kertas
berwara biru yang dilipat sedemikian rupa, aku langsung menyambarnya, “terima
kasih kawan, eh ngomong-ngomong ini apa ya isinya, pasti dia marah kan?,” kami
menuju ruang kelas. Widya hanya menggeleng dan malah meminta surat itu dibaca
bersamanya, tentu saja itu hal yang bodoh..hahaha.
Jam
pelajaran sebentar lagi akan dimulai, aku masih penasaran dengan kertas yang
aku simpan di saku baju. Aku berjalan menuju pintu kelas berharap guru
matematika Bu Lidya akan telat masuk tetapi baru saja aku sampai di pintu kelas
beliau juga sudah siap dengan buku matematika dan ruller segitiganya yang
pernah patah di bahuku. Kembali aku berjalan gontai dan duduk di bangku kelas
dengan rasa penasaran sampai ke ubun-ubun. Bu Lidya memulai kelas, rasanya
ingin meminta izin keluar kelas tetapi segera aku urungkan karena pelajaran
baru saja dimulai. Kira-kira setengah jam kemudian aku memberanikan diri izin
keluar kelas, secepat kilat aku berlari ke belakang sekolah lalu membuka
lipatan kertas yang aku simpan. Tanganku gemetaran dan berkeringat, aku mulai
membaca kata demi kata yang ia tulis, tidak panjang hanya satu halaman,
berulang kali aku baca lalu senyum sendiri lalu aku lipat seperti semula, tidak
lupa aku cium dan aku simpan kembali.
Sekarang
aku sudah berada di dalam kelas, Andre teman satu meja menepuk bahuku, “hei
kenapa kau senyum sendiri seperti orang gila?,” ia setengah berbisik. Lagi-lagi
aku hanya balas dengan senyuman.
![]() |
*ist |
Jam
pelajaran begitu cepat terasa sekalipun adalah jam pelajaran matematika yang
tidak aku sukai, mungkin karena hati ini sedang berbunga. Aku masih teringat
dengan jelas kata perkata yang ia tuliskan, tidak terlalu banyak merayu tetapi
sanggup membuat aku melayang. Hari itu adalah awal dari semua cerita
selanjutnya, dua minggu kemudian kami masih malu-malu dengan selalu berkirim
surat, tidak terhitung berapa banyak surat yang sudah disampaikan oleh Widya,
aku hanya mempercayainya. Menjelang satu bulan aku mulai berani meminta untuk
bertemu, dalam artian bukan bertemu seperti orang yang bertemu dijalan, menyapa
lalu menghilang. Aku ingin bertemu empat mata dengannya, melihatnya secara langsung.
Kami berjanji bertemu selepas pulang sekolah menjelang jam pelajaran sekolah
sore dimulai, bukan di café yang mewah karena memang tidak ada di desa kami,
aku meminta bertemu di depan kos nya.
“abang…sudah lama menunggu?,” ia menyapaku
dengan lembut. Aku yang duduk di kursi depan kos nya berdiri, “belum lama kok,
selesai makan siang aku langsung kesini,“ kami duduk santai. Siang itu ia masih
lengkap dengan seragam sekolahnya, kecuali sepatu yang telah di lepas, aku
tidak berani menatapnya langsung, melainkan melemparkan pandanganku jauh
menembus bukit hutan di seberang jalan raya. Dari kejauhan terdengar beberapa
orang teman menyoraki kami, biasalah. Aku memulai pembicaraan tentang sekolah,
keseharian, sesekali kami tertawa agar tidak terlihat gugup. Pertemuan pertama
ini aku lebih banyak bicara, tidak tahu kenapa ia tidak banyak bicara tetapi
bahasa tubuhnya terlihat nyaman dengan apa yang aku bicarakan. Begitulah hari
hari selanjutnya, kursi itu menjadi tempat favorit kami bertemu dan bercerita
selepas pulang sekolah. Walaupun sudah merasa cukup akrab tetapi aku masih
menyimpan suatu hal yang mengganjal hati, adalah tentang hubungannya dengan Dika
anak kelas IPS yang juga teman baikku. Lama aku tahan untuk tidak menanyakan
hal itu pada Rahma, tetapi semakin aku tahan jelas itu semakin tidak bisa aku
lakukan.
Seperti
biasa kami bertemu di kursi yang sama sepulang sekolah, kali ini aku
memberanikan diri bertanya,“ bagaimana dengan Dika, apa itu benar?,” aku
menatap matanya dalam. Ia tersenyum dan mengakui bahwa Dika juga menyimpan rasa
yang sama padanya,“Dika memberikan ini tetapi Rahma tidak mau memakainya,“ ia
mengeluarkan sebuah cincin dari dalam tas sekolahnya. Darah ku berdesir. “lalu
bagaimana dengan aku?, aku juga tidak enak dengannya,” aku terus mendesaknya. Kali
ini ia balas menatapku tajam, “sejauh ini dibandingkan yang lain abang mampu
membuat Rahma merasa nyaman, tolong jaga harapan ini,” ia menenangkan aku. Hari
itu dan satu setengah tahun berlalu berubah menjadi amat menyenangkan bagi
kami, hingga akhirnya ia juga mengakhiri dengan cara yang amat baik. *Nanda Bismar / 29.10.2016
Comments
Post a Comment