Sungai Nanam
Hujan
deras mengguyur Kota Padang, saya dan Oji terperangkap disebuah pusat
perbelanjaan, rasanya tidak mungkin menembus hujan yang begitu lebat. Sembari
menunggu hujan reda kami memutuskan untuk minum kopi barangkali bisa
menghangatkan badan, terlebih dahulu kami ke ATM untuk menarik uang tunai.
Setelah mengambil cukup uang kami berniat segera menuju kafe yang menyediakan
aneka minuman hangat, belum sampai di kafe saya melihat sosok yang tidak asing
lagi, dia adalah salah seorang junior saya di genta andalas, namanya Adrizal.
Biasanya saya memanggilnya dengan Bung Ad. Perawakannya tidak jauh berubah
meski kami sudah lama tidak bertemu, ia mengenakan baju kemeja kotak-kotak, tas
ransel khas mahasiswa dan topi yang melekat menjadi ciri khasnya.
Kami
bersalaman karena memang sudah cukup lama tidak bertemu, wajahnya terlihat
sumringah bertemu dengan saya. “apa kabar bang?”, sapanya ramah. Saya langsung
merangkulnya, dan mengajak minum kopi bersama.
Tiga
gelas kopi plus beberap potong donat terhidang di meja kami. Seperti biasa saya
selalu senang bertemu dengan kawan lama, apalagi mendengar ceritanya sekaligus
bernostalgia masa-masa di kampus. Ia tidak sungkan bercerita, “saya baru saja
dari HMI bang, kawan-kawan tengah sidang,” memang dia adalah pengurus HMI.
Cukup lama hujan juga belum reda, tetapi tidak mengapa saya bisa bertemu dengan
salah seorang yang menuruut saya cukup unik dan selalu terlihat bersemangat
kemanapun pergi.
Hilir
mudik ngobrol tiba-tiba saya menyinggung tentang pertanian di kampungnya yang
berada di Alahan Panjang tepatnya kenagarian Sungai Nanam. Mendengar saya
berbicara tentang pertanian semangatnya terlihat dua kali lipat, ia bercerita
panjang lebar tentang usaha keluarganya yang memang menggantungkan hidup dari
bertani. “saya dan bapak belajar bertani secara turun temurun bang, istilahnya
kami hanya belajar otodidak,” ungkap Adrizal. Saya amat tertarik, “masih punya
lahan kosong Ad?, bagaimana kalau kita bekerjasama,” saya memang tertarik
dengan dunia pertanian. Menurut saya bertani adalah cara menikmati hidup
sekaligus menyelaraskan diri dengan alam. Kebetulan sekali orang tua Adrizal tengah
membuka lahan baru, “boleh bang, kebetulan bapak lagi buka lahan, gimana kalau
kita menananam kentang,” ia tidak kalah semangat. Oji sesekali melirik kami
yang tengah asik ngobrol, tetapi sepertinya hapenya lebih menarik daripada
obrolan kami. Setelah menghitung segala sesuatu yang diperlukan untuk menanam
kentang, Adrizal meminta waktu untuk membicarakan niat kami dengan bapaknya.
“nanti saya hubungi abang lagi, berapa modal yang kita butuhkan dan berbagai
hal lainnya,” ia mengambil satu potong donat.
Pertemuan
yang luar biasa sore itu kami lanjutkan dengan hubungan yang cukup intens lewat
telepon seluler, ia menelepon saya beberapa kali untuk membicarakan kerjasama
kami. Saya pun tidak keberatan dengan penyertaan modal yang hanya berbasis
kepercayaan. Menurut saya uang tidak ada harganya dibandingkan dengan sebuah
kepercayaan, lagian saya mengenal dia sebagai orang yang baik. Segala persiapan
telah diupayakan oleh Adrizal dan bapaknya, bibit pun siap ditanam menjelang
bulan Ramadhan 1436 H. Saya amat senang mendengarnya, karena saya selalu
bermimpi bisa mempunyai kebun sendiri, merawat dan memanenya sendiri tapi mungkin
kali ini saya harus bekerjasama dulu dengan orang lain untuk menggapai mimpi
tersebut.
Bibit
kentang sudah ditanam, “bang bibit kita sudah ditanam, nanti yang merawat
langsung bapak dan saya akan datang sesekali,” kabarnya. Saya memang terus
mengingatkan Adrizal bahwa kuliah adalah prioritas utama.
Menjelang
lebaran saya menghubunginya, “Ad, nanti pas lebaran saya mau datang ke rumah ya,
sekalian ke kebun,” pinta saya. Dengan senang hati ia mengatakan bahwa akan
menunggu kedatangan saya di rumahnya, tidak sabar juga rasanya ingin melihat
langsung tanaman kentang yang sama sekali belum pernah saya lihat. Setelah
berlebaran bersama sanak family saya mengajak Oji ikut serta ke rumah Adrizal,
sebenarnya pagi itu kami janji akan berangkat pukul delapan pagi tetapi saya
datang terlambat hingga pukul 10, Oji menggerutu. “Pa, saya mau pergi ke Alahan
Panjang dulu dengan Oji, “ saya meminta izin papanya yang mudah-mudahan
sebentar lagi jadi mertua saya...hahah...”kan iko”. Kami berangkat pukul 10.30
melewati danau singkarak yang indah, menyelip diantara mobil yang terjebak
macet panjang. Untung pakai sepeda motor.
![]() |
Petak lahan pemandangan sepanjang jalan |
Perjalanan
menuju Alahan Panjang tepatnya kenagarian Sungai Nanam sangat seru, apalagi
ketika kita sudah memasuki daerah Alahan Panjang, hawa dingin terasa menembus
masker yang saya kenakan. Jalanan yang berliku dan sedikit menanjak menyuguhkan
pemandangan alam yang masih alami dan hijau, semakin naik maka hawa dingin
semakin terasa. Kami mulai melihat beberapa petak perkebunan dari kejauhan,
serasa berada di luar planet. Susunan Perkebunanannya sangat rapih diselingi
pohon pinus dan pohon tinggi lainnya sebagai pembatas lahan. Tidak berkendara lama
kami memasuki daerah Sungai Nanam, yang berarti sebentar lagi kami akan sampai
ditujuan. Adrizal sudah menunggu kami di depan rumahnya, ia tersenyum
sumringah. Rumah Adrizal di kelilingi oleh petak-petak lahan yang telah
ditanami bawang merah, seledri, dan berbagai tanaman lainnya, beberapa lahan
juga terlihat baru selesai dipanen. Melepaskan pandangan lebih jauh, mata kita
akan tertumbuk pada bukit yang ditumbuhi oleh semak belukar dan beberapa pohon
pinus, terlihat seperti lukisan hidup. “kita bisa melihat danau kembar dari
atas bukit itu bang,” ia menunjuk bukit di belakang rumahnya.
![]() |
Nah ini teman saya yang namanya Adrizal |
Kami
juga berkenalan dengan ibunya, beliau orang yang ramah dan penuh tawa. “ini
diminum dulu nak,“ beliau menghidangkan tiga gelas sirup hangat. Memang jika
daerah dingin lebih cocok dengan sirup hangat. Tidak hanya itu beliau juga
menghidangkan potongan lemang beras ketan hitam yang baru pertama kali saya
coba, rasanya enak. Setelah bercerita sebentar, ibu Adrizal mengajak kami untuk
makan siang. Suasanya akrab sekali, saya seperti berada dirumah sendiri. Perut
kami sudah kenyang, mendung mulai terlihat menggantung di atas bukit depan
rumah si Ad. “bagaimana kalau kita melihat kebun bawang saya dulu bang?”,
ajaknya. Kami menyusuri pematang sawah menuju lahan tanaman bawang merah si Ad
yang tidak jauh dari rumahnya, ia menjelaskan secara rinci tentang bawang.
Mulai dari cara menanamnya, merawat hingga memanennya. “kalau saya dengan bapak
prinsipnya tanam sedikit-sedikit aja bang, bawang, cabe, lobak, kentang, yang
penting kita ada semua,” terang si Ad.
Saya
dan Oji juga mengabadikan beberapa foto dengan telepon seluler. Puas melihat
tanaman bawang, saya meminta izin untuk pulang kepada orang tua si Ad sekaligus
melihat kebun kentang yang memang satu arah dengan perjalanan pulang kami.
Sebelum pulang si Ad mengambil beberapa ikat bawang merah sebagai oleh-oleh
bahwa saya perah datang kerumahnya.
![]() |
Saya dan Oji di Ladang Bawang si Ad |
Lima
menit kemudian kami sudah berada di kebun kentang yang tengah di jaga oleh
bapak si Ad. “sudah lama hujan tidak turun nak, tanaman kentang kita tumbuhnya
agak lamban,” kami berjalan-jalan diantara tanaman kentang yang sudah tumbuh
sekira 10-15 cm. Saya amat bahagia karena saya melihat hasil usaha saya dengan
si Ad seperti telah memperlihatkan hasil yang baik. “mudah-mudahan mendung ini
nanti menjadi hujan Pak, biar tanaman kita tumbuh cepat,” saya mencabuti
beberapa rumput liar dekat tanaman kentang. Tidak hanya kentang, bapak juga
menananam beberapa batang pohon cabai yang membuat si Ad dan keluarganya tidak
perlu membeli cabai selama bulan Ramadhan. Benar-benar suatu berkah alam yang
luar biasa, bahkan kami juga diberikan satu kantong cabai yang baru saja
dipetik. “nanti jika tidak turun hujan, maka kita harus siram secara langsung,”
jelas bapak si Ad. Berbincang-bincang sebentar, saya meminta izin untuk
melanjutkan perjalanan pulang dan berencana akan kembali ketika musim panen
sudah tiba. Kami berharap panen kentang kali ini dapat membuahkan hasil yang
cukup baik.
![]() |
Inilah ladang kentang kami |
Adrizal mengantarkan kami hingga ke pinggir
jalan, “terima kasih Ad, saya senang sekali semoga kerjasama kita terus
berlanjut,” bersalaman lalu kami berlalu pergi. Perjalanan hari ini membuat
saya memahami bahwa silaturahmi adalah salah satu kunci dalam kehidupan. *Nanda Bismar
Teluk Kuantan, 02 Agustus
2015.
Comments
Post a Comment