Bung Karno dan Pecinya
Setelah
dua minggu jari ini tidak menari diatas keyboard rasanya agak ganjil juga
karena biasanya malam minggu seperti ini adalah waktu yang baik untuk menulis.
Kenapa malam minggu? Ya karena selain tidak ada wanita yang akan diajak kencan,
malam minggu juga malam yang panjang tanpa ada beban kerja yang akan dilakukan esok
pagi. Malam ini saya akan menulis kembali tentang Bung Karno, kenapa Bung Karno?
Ya karena pembaca sudah pasti tahu alasannya.
Ide
tulisan kali ini terinspirasi oleh pemimpin negara kita Indonesia Raya merdeka
yang sepertinya mulai melupakan salah satu identitas nasional di masa
perjuangan kemerdekaan. Sepertinya identitas yang satu ini hanya dikenakan
ketika foto bersama dan acara-acara seremonial lainnya, sehingga makna dari
identitas ini perlahan memudar. Apakah identitas yang saya maksud sebagai salah
satu simbol nasional? Ya benar sekali, salah satu identitas nasional kita
adalah penutup kepala yang selalu dikenakan oleh Bung Karno ketika ia dan para
pejuang lainnya tengah berjuang untuk kemerdekaan RI. Penutup kepala yang dimaksud
adalah peci nasional yang menjadi salah satu simbol pemersatu rakyat negeri
ini.
Bagaimana
sebenarnya asal usul peci beludru hitam tersebut menjadi simbol pemersatu kala
itu? dan apa makna yang tersirat dari peci yang selalu menempel di kepala sang
proklamator? Saya akan coba mengupasnya sedikit berdasarkan beberapa buku dan
artikel yang pernah saya baca. Sebelum Bung Karno memperkenalkan peci sebagai
penutup kepala, ketika itu para tokoh lainnya masih menggunakan pakaian menurut
asal usul adatnya masing masing, sehingga kerap kali nampak perbedaan diantara
mereka. Seperti mereka yang berasal dari jawa akan mengenakan penutup kepala
berupa blankon sebagai ciri khas, kemudian mereka yang berasal dari timur
Indonesia akan memakai topi khas Belanda lengkap dengan jas dan dasi. Jadi
tidak heran kita melihat bahwa pada tahun sebelum 1920 tokoh seperti Ciptomangunkusumo
memakai blangkon dikepalanya karena memang kala itu murid-murid yang sekolah di
sekolah milik Belanda tidak boleh mengenakan pakaian ala eropa. Inlander kalau kompeni bilang.
Dalam
buku penyambung lidah rakyat karya Cindy Adams dengan gamblang dijelaskan bahwa
peci pertama kali diperkenalkan oleh Sukarno Muda ketika kongres Jong Java yang
di gelar di Surabaya sekitar tahun 1921. Bung Karno berfikir harus ada solusi
dari aksi Belanda yang membeda-bedakan rakyat Indonesia dari segi berpakaian, fikiran
yang juga sekaligus menjadi identitas dan simbol perjuangan bersama. Malam itu
kongres akan dimulai, para anggota rapat sudah mulai memenuhi ruangan guna
membahas langkah-langkah organisasi kedepan. Sukarno Muda datang dengan kikuk
dan perasaannya tidak karuan, peci yang ia bawa terus digenggam, ia enggan
mengenakan peci itu karena takut ditertawakan oleh para anggota kongres. Bahkan
ketika kongres sudah dimulai Bung Karno masih belum berani memasuki ruangan,
alhasil ia bersembunyi dibalik tukang sate untuk menenangkan dirinya. Tangannya
semakin kuat menggenggam peci, jantungnya berdesir, fikirannya mulai menerawang
memikirkan apa yang akan dikatakan oleh teman-temannya melihat ia mengenakan
peci yang belum pernah dikenakan oleh siapapun selama ini. Tiba-tiba ia berkata
pada dirinya sendiri,” masuklah sekarang dan kenakan pecimu!!, lalu dengan
gagah Bung Karno memasuki ruangan kongres diikuti dengan semua mata peserta
kongres yang mengarah padanya, para isi kongres heran tanpa berkata-kata
sepatahpun kepada Bung Karno.
Bung
Karno yang masih kikuk lantas dengan lantang berbicara untuk mengatasi kekikukannya,”
kita harus mengenakan peci sebagai identitas dari negeri kita Indonesia,
sebagai simbol yang dikenakan oleh para pekerja-pekerja melayu dan itu asli kepunyaan
rakyat kita”. Masih dalam goresan tinta karya Cindy Adams, Bung Karno menjelaskan
makna dari kata peci bahwa peci berasal dari bahasa Belanda “pet” artinya topi
dan “je” yang berarti sesuatu yang kecil. Semenjak itu tutup kepala hitam yang
disebut peci oleh Bung Karno menjadi populer dikalangan masyarakat, hampir
semua masyarakat mengenakan penutup kepala yang umumnya terbuat dari beludru
tersebut. Tidak peduli dari kalangan mana mereka berasal peci selalu menghiasi kepala para pejuang zaman
itu.
![]() |
Bung Karno dan Pecinya *ist |
Walaupun
beberapa pendapat ada yang mengatakan bahwa peci adalah identik dengan budaya
islam karena berfungsi sebagai penutup kepala ketika sedang sujud dalam sholat.
Hal tersebut karena peci dianggap sebagai pengganti sorban yang kerap dikenakan
oleh bangsa arab sebagai penutup kepala, tetapi sesungguhnya tidak demikian
karena Bung Karno menginginkan peci sebagai simbol pemersatu sehingga tidak ada
lagi penonjolan budaya daerah dalam merebut kemerdekaan. Peci sama layaknya
penutup kepala yang juga merupakah identitas di negara-negara lain seperti Fez
dari Turki dan Ghurtah dari India. Kehadiran Peci telah menjadi sebuah
inter-kulturasi yang menurut saya amat sangat mempengaruhi pola fikir masyarakat
kala itu. Peci yang diperkenalkan Sukarno Muda senantiasa menghiasi kepalanya
dan bahkan selalu melekat, bahkan masyarakat menganggap masa itu peci yang
dikenakan oleh Bung Karno memiliki nilai magis. Sepanjang hidup Bung Karno
memimpin RI ia selalu mengenakan peci kemanapun pergi, hingga saat ia
menyampaikan pidato akhirnya “Nawaksara” Sukarno masih setia dengan pecinya.
Baru setelah Nawaksara yang ditolak oleh MPR kemudian Bung Karno meletakkan
pecinya dan lebih memilih tidak mengenakan sehingga kepalanya yang mulai tidak
berambut pun terlihat. Dengan mengetahui sejarah kita sadar bahwa peci hitam
bukan sekedar peci yang menempel di kepala, tetapi adalah sebuah simbol
pemersatu negeri ini.
Comments
Post a Comment