Puncak Madina
![]() |
Bu Betty (yang pake handuk putih) memberikan pengarahan kepada Tim |
Kawan,
aku punya cerita baru nih tidak kalah menarik dari apa yang telah aku ceritakan
sebelumnya namun pasti ada juga sisi tidak menariknya :D. Cerita ini dimulai
ketika aku bersama dengan Pak Helmi selaku team leader dan Bang Edi selaku
driver berangkat menuju Madina alias Mandailing
Natal. Suatu tempat yang belum pernah aku jajaki apalagi aku lihat oleh sebab
itu wajar jika rasa penasaran yang tinggi mengaliri seluruh tubuku.
Pagi
itu selasa 17 Juni 2014, kami berencana untuk berangkat pagi sekali agar bisa
tidak kemalaman ketika tiba di Madina, namun karena suatu dan lain hal kami
memilih sarapan bersama terlebih dahulu di salah satu tempat favorit Pak Helmi
dimana beliau selalu memesan dua potong lopis dan secangkir kopi. Ya semenjak
waktu itu kami ajak beliau sarapan disana beliau menjadikan tempat yang
berlokasi persis di samping kiri Mesjid Agung An-Nur menjadi salah satu tempat
santap pagi favorit. Sepertinya beliau mulai melupakan lontong medan favoritnya
yang ada di Jalan Durian.
“aku
lopis isi dua dan kopi satu ya,” begitu kataya ketika setiap pelayan bertanya,
sedangkan aku memesan sepiring nasi goreng dan Bang Edi hanya segelas kopi
karena sudah sarapan di rumah terlebih dahulu.
Pak Helmi adalah tipikal orang yang tidak
terlalu suka duduk lama-lama di meja makan, begitu santapan kami habis hanya
beberapa saat beliau mengajak kami untuk segera pergi. Pernah waktu itu beliau
berkata ketika kami makan malam dengan temannya, “bisnis tidak usah lama-lama
nda yang penting poin sampai,” gitu kata beliau. Setelah membayar kami pun
pergi meninggalkan tempat sarapan menuju lokasi yang dituju yaitu Mandailing
Natal. Sebelumnya kami juga sempat berhenti di sebuah minimarket kawakan untuk
membeli beberapa bungkus permen yang akan kami nikmati di sepanjang perjalanan.
Oh ya sebelumnya aku akan menjelaskan rute
yang akan kami tempuh menuju Madina, kayak gini nih bagannya : Pekanbaru à Pasir
Pangiraian à Dalu-Dalu à Padang
Lawas à Sibuhuan à Gunung
Tua à Padang Sidempuan à Panyabungan
à PT. Perkebunan Sumatera Utara (Transit semalam) à
PTPN IV Madina.
![]() |
Foto bersama menuju Kebun KUD Maju Bersama |
Nah
lebih kurang itu jalan yang akan kami tempuh dengan waktu yang telah kami
perkirakan tiba di PT. PSU pada pukul 08.00 malam untuk bermalam disana. Aku
jelas senang sekali karena memang ingin merasakan perjalanan jauh yang selalu
menyuguhkan keindahan alam Indonesia. Pak Helmi yang selalu duduk di sebelah
kiri atau selalu berada di kursi belakang ku mulai bercerita mengenai
informasi-informasi yang ia ketahui di setiap daerah yang kami lalui, cerita
beliau makin menarik dan banyak ketika kami sudah melewati perbatasan antara Provinsi
Riau dan Sumatera Utara, karena memang beliau berasal dari salah satu daerah di
Sumatera Utara. “aku sengaja mengajak kalian untuk menempuh jalan yang baru,
agar kalian tahu bagaimana sisi lain dari jalur yang akan kita tempuh,”
celetuknya. Akupun diminta oleh Pak Helmi untuk tidak tidur di sepanjang
perjalanan agar Bang Edi tetap ada kawan ngobrol sambil mengemudi. Alangkah
sulitnya menahan tidur ditengah ayunan mobil dan hembusan AC, akhirnya aku menyerah
dan tertidur untuk beberapa saat, hahahahaha.
Eh
aku belum kasih tau ya kenapa kami melakukan perjalanan ke Madina?
Hahaha...maaf..maaf aku lupa karena terlalu semangat untuk membagi cerita ini,
jadi gini keberangkatan kami adalah untuk menjadi bagian dari tim penilaian
kebun plasma sawit Madina yang dikelola oleh PTPN IV. Tidak hanya kami yang
menjadi bagian dari tim tetapi ada yang lebih penting yaitu tim yang langsung
dari Dirjenbun RI yaitu Ibu Bety, Ibu Ketut Ayu dan Pak Royo serta beberapa
orang yang berasal dari Disbunhut Kabupaten Mandailing Natal. Kembali ke perjalanan kami, ketika kami sudah
mendekati daerah perbatasan antara Riau dan Sumatera Utara kondisi jalan pun
semakin mengecil dan dihiasi lubang-lubang kecil. Sesekali Pak Helmi mengingatkan Bang Edi untuk
berhati-hati mengendarai mobil karena selain jalanan yang rusak dan sempit,
jalur yang kami tempuh merupakan jalur yang baru bagi Bang Edi. Perbedaan
kualitas jalan semakin terasa ketika kami telah meninggalkan Provinsi Riau dan
memasuki Provinsi Sumatera Utara alias tanah batak, kami memasuki Kabupaten
Padang Lawas dengan kondisi jalan yang cukup sempit dan jauh dari kategori
aspal yang baik. Lubang-lubang besar menghiasi sepanjang jalan sehingga harus
ekstra hati-hati, aku melihat di kiri dan kanan jalan yang kami lalui telah
ditanami dengan pohon sawit. Diantara jejeran pohon sawit terdapat rumah-rumah
warga yang sebagian masih menghuni rumah full kayu, bukan aku mengatakan rumah
kayu tidak layak, tetapi bisa saja rumah kayu itu adalah bentuk dari
kecintaannya kepada alam.
“daerah
ini merupakan daerah salah satu daerah yang tertinggal karena mungkin letaknya
yang diperbatasan,” kata Pak Helmi. Sepertinya beliau hafal benar apa yang telah
terjadi di kampung tanah kelahirannya ini, tidak hanya berkomentar soal pohon
sawit tetapi beliau juga merisaukan hilangnya lahan sawah yang dikonversi
menjadi perkebunan sawit.
Ternyata tidak hanya sekedar omongan bahwa
lahan sawah telah jarang di daerah tersebut bahkan boleh disebut tidak ada lagi, hal itu aku lihat
bahwa memang yang nampak hanyalah pohon sawit hingga mendekati daerah Gunung
Tua maka barulah nampak satu sampai dua tumpuk lahan sawah. Waktu itu padi yang
tumbuh masih kecil dan sebagian belum ditanam, sawah di daerah Gunung Tua berbeda
dengan sawah yang ada di kampung ku atau yang sering aku lihat pada umumnya
dimana sawah di desain dengan bentuk jenjang untuk mempermudah alirah air,
namun sawah disini jauh berbeda karena satu petak hanya berukuran sebesar kamar
kos mahasiswa dan antara petak sawah hanya dipisahkan oleh pematang kecil yang
mungkin hanya kucing atau marmut besar yang bisa lewat. Lahannya terlihat rata
dan tidak dibuat berjenjang entah apa maksdnya aku tidak bertanya kepada Pak Helmi.
Walaupun begitu tetap saja kagum terhadap corak dan perbedaan yang ada disetiap
daerah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.50 menjelang siang, perut kami sudah mulai
berdendang meminta untuk di isi. Seperti biasa Pak Helmi selalu punya teman
dimana-mana dan beliau selalu memaksimalkan keuntungan tersebut dengan
menanyakan tempat makan yang enak di suatu daerah yang kami kunjungi. “Halo
tulang, apa kabar? Kami lagi di Gunung Tua ini, dimana tempat makan yang enak
disini tulang?,” begitu kata-kata yang selalu beliau ucapkan. Sepertinya bagi Pak
Helmi soal makan merupakan hal yang penting sehingga benar-benar harus ada
kenikmatan yang didapat. Setelah
diberitahu oleh sang Tulang maka kami segera menuju rumah makan yang telah
disebutkan namanya Rumah Makan Keluarga persis di depan kantor DPRD Gunung Tua.
Rumah makannya cukup besar dan luas, terlihat ramai orang yang sedang makan
karena memang pas jam makan siang kami datang. Baru saja masuk rumah makan
tersebut aku terkejut melihat besarnya udang yang akan dihidangkan, rupanya
udang tersebut juga mendarat di meja kami dan Pak Helmi pun memakan dengan
lahapnya. Aku lebih memilih makan goreng belut dan Bang Edi memilih ayam goreng
sebagai lauknya. Sebenarnya Pak Helmi berencana untuk mengajak kami makan
ditempat favoritnya yaitu di rumah makan Paranginan yang terletak di daerah Panyabungan
persisnya di Jembatan Merah, tetapi karena perut kami yang sudah kerocongan dan
jarak ke Panyabungan yang masih lama maka beliau memutuskan untuk mengajak kami
makan di Gunung Tua.
“kalian
jangan makan banyak disini, nanti di Panyabungan ga bisa makan banyak lagi,”
kata beliau sembari memecah menguliti udang galah besar.
Kami hanya tertawa kecil dan terus menyantap
makanan yang menurut aku masakannya cukup enak dengan perpaduan masakan minang,
batak dan jawa. Masing-masing kami telah menyantap makanan yang dihidangkan,
lalu beristirahat sejenak selanjutnya kami telah berada dalam mobil untuk
melanjutkan perjalanan.
Sesekali
aku bertanya kepada Pak Helmi mengenai daerah yang kami lalui dan beliau pun
menjelaskan sepertinya memang telah memahaminya. Tidak berapa lama kami
memasuki kota salak yaitu Kota Padang Sidempuan, tanda-tandanya adalah ketika
kita akan memasuki kota maka akan terlihat para penjual salak menjajakan buah
salak mereka di pinggir jalan dengan keranjang-keranjang besar. “selamat datang
di kota padang sidempuan, kota salak”, seperti itu kira-kira tulisan di gapura
masuk kota. Pemandangan Kota Padang
Sidempuan mirip dengan Kota Padang Panjang yang tidak terlalu ramai dan
dikelilingi perbukitan sehingga jalannya masih sangat lancar entah waktu itu
tidak sedang masa ramainya. “berapa jam lagi kita sampai di Payabungan Pak,”
tanyaku pada Pak Helmi. Beliau mengatakan bahwa paling lambat kami memasuki
panyabungan sekitar tiga jam lagi, aku pun masih penasaran dengan rumah makan
di tepi sungai yang beliau ceritakan.
Sebelum memasuki Panyabungan Pak Helmi
mengajak kami untuk mengelilingi komplek perkantoran Kabupaten Mandailing Natal
yang terletak di sebelah Sungai Batang Gadis, dimana sebelumnya kami juga
melihat bendungan Sungai Batang Gadis yang yang dibangun pada era Presiden Soeharto.
Bendungan tersebut digunakan untuk mengairi sawah-sawah yang sekarang telah
beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa
sawit. Apakah kawan masih berfikir tentang swasembada beras? :D, think again.
Komplek perkantoran Kabupaten Mandailing Natal mirip dengan topografi kampus ku
waktu kuliah dulu di Universitas Andalas, sama-sama terletak di atas perbukitan
dan memiliki view yang bagus dan udara yang segar. Dari atas komplek
perkantoran terdengar samar-samar
gemercik air Sungai Batang Gadis sehingga menambah suasana asri komplek. Tata
letak Bangunannya pun menarik karena kantor Bupati Madina terletak di paling
atas dan paling depan dari semua Bangunan kantor, semua dinas terletak disini
sehingga dari bukit inilah Kabupaten Madina dikendalikan. Berkeliling sebentar
kami melanjutkan perjalanan menuju Panyabungan hingga akhirnya kami sampai di
rumah makan Paranginan di Jembatan Merah. Aku pun tak tahu dimana Jembatan
Merahnya, yang jelas sebelum memasuki daerah panyabungan kami melewati sebuah
daerah yang dipenuhi santri-santri,aduh aku lupa apa nama pesantrennya. Di
sepanjang jalan sekitar pesantren di sisi kiri dan kanan jalan terdapat
rumah-rumah kecil lebih mirip gubuk sebenarnya sebesar satu kali dua meter
mungkin, kata Pak Helmi gubuk-gubuk itu adalah tempat tinggal para santri.
Sesampainya
di halaman rumah makan paranginan kami segera turun dan menuju meja makan.
Suasana rumah makannya unik karena berada langsung di pinggir sebuah anak
sungai yang bermuara di Batang Gadis, jika anda makan di Paranginan maka akan
di iringi langsung oleh nada gemercik air dan angin semilir yang berhembus dari
kebun di seberang anak sungai. “saya selalu singgah disini ketika pulang
kampung atau pergi ke Medan bersama keluarga saya,” kata Pak Helmi sambil
menyendok nasi. Ia pun berseloroh bahwa jika tidak hati-hati makan kita akan
menghabiskan sebakul nasi karena suasananya yang nyaman sehingga membuat selera
makan bertambah. Pak Helmi agak sedikit kecewa karena hanya beberapa menu
masakan yang dihidangkan karena sudah banyak yang habis, aku dan Bang Edi
dengan ayam goreng sedang Pak Helmi memilih rendang sebagai teman nasi
santapannya. Enak memang makan di Paranginan, suasananya yang nyaman membuat
siapapun betah berlama-lama di meja makan ataupun lesehan yang disediakan. Bisa
saja kami berlama-lama menikmati gemercik aliran sungai yang terasa agak
berisik karena sebenarya sudah lama aku tidak mendengar suara air sungai.
Tujuan kami untuk menginap di PT. PSU belum
tercapai dan kami harus tiba menjelang tengah malam karena jalan yang dilalui
menurut Pak Helmi cukup ekstrim. Kami melintasi hutan Panyabungan dengan
kondisi jalan yang baru saja diguyur hujan sehingga nampak kabut menyelimuti
beberapa bagian bukit. Ketika memasuki jalan hutan waktu sudah menunjukkan
pukul 18.45 WIB, sehingga menambah tantangan Bang Edi untuk menguji kemampuan
mengemudinya. “hati-hati kamu di jalan yang kita lalui ini sempit dan
kiri-kanannya jurang, jangan fikirin yang macem-macem tetap fokus,” pesan Pak
Helmi kepada Bang Edi. Baru saja kami melintas jalanan hutan panyabungan, tiba-tiba melintas seekor musang ekor putih di depan mobil kami, itu kan musang yang langka fikirku, berarti memang benar bahwa hutan ini masih alami. Bang Edi mengemudikan mobil dengan sangat hati-hati sehingga kami berjalan agak pelan, jelas terlihat bahwa Bang Edi sangat gugup karena treknya memang cukup ektsrim penuh lubang dan sempit ditambah gelapnya hutan. Akhirnya selepas dari desa Sopotinjak Pak Helmi meminta untuk mengemudikan mobil karena Bang Edi sepertinya agak kesulitan untuk melewati trek tersebut. Setelah meminum sekaleng minuman energi Pak Helmi pun mengemudikan mobil dengan cepat sepertinya beliau sudah hafal betul trek hutan panyabungan, namun insiden kecil menimpa kami ketika berpapasan dengan truk besar terpaksa kami harus mundur akibatnya adalah ban mobil kami jatuh ke bahu jalan dan terperosok. Kami berupaya untuk bisa menaikkan ban mobil selang beberapa kemudian insiden yang sempat menyebabkan kemacetan tersebut bisa kami atasi dan kembali melaju. Tidak ada kendala berarti selain jalan yang memang semakin melebar lubangnya dan dalam digenangi air hingga kami sampai di penginapan milik PT. PSU. Agenda kami di PT. PSU tidak hanya sekedar menginap namun esoknya kami berencana akan bertemu dengan pihak dari Koperasi Sikap Mandiri plasma binaan PT. PSU.
Helmi kepada Bang Edi. Baru saja kami melintas jalanan hutan panyabungan, tiba-tiba melintas seekor musang ekor putih di depan mobil kami, itu kan musang yang langka fikirku, berarti memang benar bahwa hutan ini masih alami. Bang Edi mengemudikan mobil dengan sangat hati-hati sehingga kami berjalan agak pelan, jelas terlihat bahwa Bang Edi sangat gugup karena treknya memang cukup ektsrim penuh lubang dan sempit ditambah gelapnya hutan. Akhirnya selepas dari desa Sopotinjak Pak Helmi meminta untuk mengemudikan mobil karena Bang Edi sepertinya agak kesulitan untuk melewati trek tersebut. Setelah meminum sekaleng minuman energi Pak Helmi pun mengemudikan mobil dengan cepat sepertinya beliau sudah hafal betul trek hutan panyabungan, namun insiden kecil menimpa kami ketika berpapasan dengan truk besar terpaksa kami harus mundur akibatnya adalah ban mobil kami jatuh ke bahu jalan dan terperosok. Kami berupaya untuk bisa menaikkan ban mobil selang beberapa kemudian insiden yang sempat menyebabkan kemacetan tersebut bisa kami atasi dan kembali melaju. Tidak ada kendala berarti selain jalan yang memang semakin melebar lubangnya dan dalam digenangi air hingga kami sampai di penginapan milik PT. PSU. Agenda kami di PT. PSU tidak hanya sekedar menginap namun esoknya kami berencana akan bertemu dengan pihak dari Koperasi Sikap Mandiri plasma binaan PT. PSU.
Badan ku sudah terasa agak remuk karena
goncangan jalanan hutan, setelah berkenalan dengan pengurus penginapan aku meminta
izin untuk tidur duluan setelah kami
menyantap mie rebus. Esoknya alarm Pak Helmi membangunkan aku pukul
05.30, meskipun cuacanya terasa dingin aku
meloncat dari tempat tidur untuk menunaikan sholat subuh. Pukul 07.00 kami
semua sudah bersiap untuk bertemu dengan pengurus Koperasi Sikap Mandiri, namun
hujan rinai masih terus turun dari awan gelap pagi itu. Aku pun berjalan menuju
teras sambil membawa secangkir teh, nikmat rasanya pagi itu seperti aku sudah
lama tidak menikmati udara yang dingin dan segar. Tempat peginapan kami berada
di tengah-tengah perkebunan sawit sehingga pandangan kita hanya terbatas pada
bukit-bukit yang telah ditumbuhi pohon sawit. Aku duduk di kursi teras
memperhatikan Bang Edi yang sedang membersihkan mobil, kembali masuk ke dalam rauangan karena masih merasakan dingin yang
menusuk.
“Pak,
gimana pertemuan kita sama Sikap Mandiri? Jadi Pak?,” tanyaku pada Pak Helmi
yang juga sedang menikmati tehnya. “ya kita tunggu saja hujan reda dulu hingga
pukul 09.00,” jawabnya.
Sambil menunggu hujan reda, kami pun menyantap
sarapan yang telah disediakan, menyantap makanan dalam kondisi cuaca yang
dingin memang terasa lebih enak. Tidak selang berapa lama perlahan cuaca mulai
terlihat agak terang menyibak awan gelap dan hujan rinai pun berhenti, tamu
yang kami tunggu pun telah datang yaitu pengurus Koperasi Sikap Mandiri. Kami
pun berbincang-bincang dengan dua orang pengurus koperasi tersebut tentang
kondisi perkebunan plasma dan soal lahan plasma yang masih belum di selesaikan,
tidak hanya dari koperasi saja tetapi juga ada perwakilan dari PT. PSU. Hanya
beberapa menit saja kami berbicang setelah itu kami mohon pamit karena kami
harus pergi menuju tujuan utama yaitu
perkebunan plasma Madina PTPN IV.
Dalam perjalanan menuju plasma Madina di tepi
pantai barat kami diajak Pak Helmi untuk berkunjung ke perkebunan sawit salah
seorang temannya di Desa Ranto Baek. Memasuki areal perkebunan milik teman Pak Helmi
pemandangannya bukan main bagusnya, karena memang perkebunan itu terletak di
balik bukit dan kita seperti menuruni lembah. Kata Pak Helmi perkebunan
tersebut adalah milik perusahaan keluarga, WOW fikirku dalam hati berapa banyak
untungnya nanti jika kebun ini berjalan dengan baik. Ketika Pak Helmi asik
berbicara dengan kawannya, maka aku dan Bang Edi berjalan-jalan di pinggiran
kebun untuk melihat kondisi tanaman sawitnya. Dengan kisaran umur 3-4 tahun
tanaman sawit milik kawan Pak Helmi terlihat bagus dan sudah mulai berbuah dan
dipanen. Asik berjalan-jalan dipinggir kebun aku dikejutkan oleh suara
melengking dari arah jalan produksi, aku pun segera berlari melihat karena
penasaran, daaannnn ulalalala...dari kejauhan aku melihat dua orang pemuda
sedang memegang babi , yap seekor babi muda tekena alat perangkap yang sengaja
mereka pasang di sekitar perkebunan sawit untuk mengendalikan hama babi. Aku
pun bergegas menghampiri babi yang telah di ikat itu, dan itu adalah moment
pertama kali dalam hidup ku melihat babi liar dengan sangat dekat bahkan kami
sempat berfoto dengan Bang Edi untuk sekedar mengabadikan moment meski masih
ada rasa takut jika saja babinya lepas. Memang sih babinya belum ada taring tapi kan bisa saja
muncul taringnya secara tiba-tiba seperti di filem-filem atau dia punya senjata
rahasia seperti ekornya yang mampu membuka tutup botol...hahahhahah.
![]() |
Aku dan seekor babi muda |
Setelah puas berfoto dengan babi, kami kembali
menuju kantor perusahaan tersebut dan memberikan beberapa contoh buah sawit
kepada Pak Helmi. Usut punya kusut ternyata popularitas babi dikebun milik
teman Pak Helmi memang sudah tidak diragukan lagi banyaknya, karena menurut
teman Pak Helmi beliau mengatakan bahwa setiap harinya satu atau dua mobil pick
up kecil selalu nangkring di kebun untuk menunggu babi hutan hasil perangkap para pekerja
untuk dijual. Pembaca bisa membayangkan berapa banyaknya babi yang ada sehingga
butuh satu atau dua mobil pick up untuk membawanya setiap sore hari. Kami tidak
berbincang lama dengan teman Pak Helmi, karena kami harus segera menuju PTPN IV
Madina untuk bertemu dengan Tim penilai kebun lainnya. Jarak tempuh yang harus
kami lewati memang tidak begitu jauh sekitar satu jam dari desa lokasi kebun teman
Pak Helmi, tetapi matahari
sudah mulai tinggi dan perut kami pun mulai lapar sehingga kami ingin memiliki
waktu istirahat yang cukup sesampainya di PTPN IV.
Kondisi
jalan menuju PTPN IV terbilang bagus hingga perempatan masuk ke gerbang perusahaan
setelah itu anda bisa bayangkan sendiri bagaimana serunya jalanan off road
perkebunan sawit
apalagi topografi kebun milik PTPN IV memang berbukit-bukit yang berbeda dengan
kebun sawit yang ada di Riau dimana
pada umumnya adalah datar. Sesampainya, kami langsung menuju mess yang telah disediakan
yaitu mess kebun timur tempat kami menginap untuk beberapa hari hingga
selesainya penilaian kebun. Beristirahat sejenak, kami lanjutkan dengan makan
siang bersama sambil menunggu tim Dirjebun yang katanya masih dijalan dari Kota
Padang. Setelah menunggu beberapa lama, ketua tim penilaian, Ibu Betty pun akhirnya mendarat di
mess dan aku pun berkenalan dengan beliau. Tidak hanya Bu Betty yang dari
dirjenbun tapi juga turut serta dua orang rekannya yang bernama Ibu Putu Ayu dan Pak Royo. Aku lupa nama lengkap Ibu Putu. Rupanya
dinas perkebunan Mandailing Natal pun juga ikut serta dan aku pun senang
berkenalan dengan orang-orang baru apalagi aku bisa menyerap ilmunya. Setelah
berkenalan dan mengobrol bersama di ruang tamu, pada malam harinya kami
lanjutkan dengan acara makan malam bersama. Nikmat rasanya makan ditengah dinginnya udara
perkebunan sambil ngobrol dengan orang-orang baru.
“setelah makan malam ini kita rapat ya, kepada perusahaan tolong
dipersiapkan infocus dan persiapan kita untuk besok,” tukas Bu Betty . Rapat
pun dimulai pada pukul 09.15 dengan agenda mendengarkan arahan ketua tim
penilaian kebun yaitu Bu Betty kepada
seluruh tim peserta, sepertinya Bu Betty sudah sangat berpengalaman dalam
penilaian kebun sehingga ia dengan lancar menjelaskan kepada kami
tentang mekanisme penilaian. “kita harus gerak cepat karena sample lahan yang
mau kita nilai lahannya cukup luas,tolong peralatan untuk besok sudah disediakan
oleh perusahaan,” tegas beliau menutup pertemuan pada malam itu.
Walaupun masih agak ragu dengan tata cara penilaian aku tetap
mengambil pilihan sebagai bagian dari tim karena hal tersebut merupakan pengalaman
baru bagi ku, dan aku mendapatkan jatah sebanyak 13 hektar sample yang harus
dinilai. Sebelum tidur aku ikut berkaraoke ria bersama dengan anggota tim yang lain
juga termasuk Pak Helmi. Nafsu karaoke ku semakin membara karena telah lama
tidak menyuarakan hasrat yang terpendam kecuali di kamar mandi setiap paginya,
kalau malam sih biasanya aku jarang mandi :D. Puassssss berkaraoke hingga pukul
12.00 aku pun menuju tempat tidur untuk beristirahat sedangkan Pak Helmi masih
berlanjut dengan beberapa lagu lagi, melirik ke kasur sebelah Bang Edi telah
tidur dengan pulasnya, mungkin ia lelah menyetir seharian. Aku pun tidur dengan
pulas dan tidak mimpi apa-apa.
Pagi-pagi sekali kami telah bersiap, semua tim
sudah siap, sudah siap untuk sarapan maksudnya, hahaha. Semuanya sarapan begitu
cepat dan bergegas menuju titik kumpul di gerbang masuk KUD Pasar Baru. Setelah
berdoa dan mendengarkan penjelasan finishing dari Bu Betty masing-masing
anggota berangkat menuju spot samplenya masing-masing. Aku kebagian spot yang
benar-benar menantang karena harus mendaki bukit dan menuruni lembah dengan
berjalan kaki, semua bekal sudah aku siapkan yang paling penting tentunya
adalah air minum. Oh ya aku ditemani oleh asisten
kebun yang akan aku nilai nama beliau adalah Pak
Sutrisno tetapi beliau lebih senang dipanggil Pak sutress dan aku tak ingin bertanya
banyak soal kenapa beliau tidak ingin kata no
dibelakang namanya. Bersama Pak Sutress aku dan Bang Amin berkeliling seharian seluas 13 km yang secara tidak
aku sadari telah berjalan sejauh 26 kilometer, itu kan sama saja aku berjalan dari rumah
menuju kota bukittinggi, dan juga telah menghitung sebanyak 1600 lebih pohon
sawit,hahahahhahaa. Sewaktu penilain tidak banyak yang kami bincangkan dengan Pak
Sutress kecuali ketika istirahat untuk minum, aku bertanya beberapa hal
mengenai kebun sawit dan sedikit hal tentang pekerjaan Pak Sutress.
![]() |
Aku saat menilai salah satu pokok sawit |
“kamu
enak ya kerja nya di kantor, kami kerja nya ya begini masuk kebun keluar kebun
di tengah hutan gini, tapi yang paling penting kan kita sekarang bekerja untuk
masyarakat di plasma ini,” kata Pak Sutress sewaktu istirahat.
Sebelum jam istirahat siang kami telah
menyelesaikan survei separuh dari jatah lahan yang aku dapat yaitu 6 Ha, kertas
penilaian yang aku bawa telah terisi separuh dan aku pun meminta istirahat
untuk makan karena memang cuaca sudah mulai panas yang mengakibatkan badan
mulai lemas dan goyah. Sejauh penilaian ku, kebun yang kami jelajahi tergolong
kebun yang bagus karena buahnya sesuai dengan masa tanamnya yaitu kisaran 5-6
kg untuk tanaman menghasilkan pertama, pemberian pupuk yang teratur berdampak pada
daunnya yang hijau serta batangnya yang besar, pekarangan atau teras satu pohon
juga terlihat bersih, pemandangan perkebunan semakin indah karena dihiasi oleh
tumbuhan kacangan yang berfungsi menyuburkan tanah. Sesekali kami juga bertemu
dengan para bekerja yang berteduh dibawah rimbunnya dedaunan sawit, mereka
terlihat senang tertawa dan minum kopi bersama, hari itu aku lebih sering
bertemu dengan pekerja ibu-ibu. Betapa kerasnya keinginan mereka dan kemauan
untuk bertahan hidup merawat perkebunan kelapa sawit setiap hari dimana ancaman
binatang buas bisa datang kapan saja, bayangkan saja jika kita dilepas
sendirian di tengah perkebunan maka tidak ada jaminan kita akan kembali dalam
keadaan selamat karena memang perkebunan tersebut dibangun pada lahan yang
sebelumnya adalah hutan belantara.
“kita
kembali dulu ke pondok Bang untuk makan siang,” ajakku kepada Bang Amin yang
selalu memantik rokoknya ketika kami istirahat. Dia sesekali juga berseloroh
dengan mengejekku,” masih muda kok gampang lelah Bang,” katanya sambil tertawa.
Kami
pun segera menuju pondok yang disebut Pak Sutress sebagai kantornya setiap
hari, setibanya kami sudah dihadapkan pada beberapa kotak nasi lengkap dengan
lauk dan sayurnya. Pak Sutress dan Bang Amin mempersilahkan aku terlebih
dahulu, lalu kami pun makan dengan lahap tanpa sisa. Tidak hanya nasi kotak
tetapi juga ada beberapa bungkus kue kering yang kemudian aku simpan untuk
cemilan nanti kalau lapar lagi...haha...maklum perut karet. Tenaga kami pun
pulih kembali, berbincang sebentar lalu kami melanjutkan penilaian sisa lahan
yang akan dinilai dengan kesepakatan kami telah selesai sebelum jam 4 sore.
Kali ini semangat akut telah kembali membara, otot ku telah kembali bersiap
untuk menjelajahi perkebunan sawit. Satu persatu batang pohon sawit terus aku
lihat dengan cermat hingga tidak sadar kami telah berada pada hektaran terakhir
dengan kondisi medan cukup datar sehingga tidak terlalu menguras energi.
“semua
sudah selesai Pak, kebun bapak bagus dan terawat bagaimana kalau sekarang kita
kembali ke mess Pak,” kata ku pada Pak sutress. Ia pun bernafas lega dan
tersenyum,” kita santai dulu Pak Nanda, baru seteah itu kita balik,” sambil
memantik rokok kreteknya.
Sambil merapikan berkas penilaian untuk di
tandatangani oleh pengurus koperasi kami pun ngobrol ringan dengan para
pengurus koperasi, Pak sutress dan beberapa warga yang datang. Ada beberapa hal
yang dapat aku tangkap dari obrolan mereka bahwa sebenarnya mereka ingin
memiliki dan merawat perkebunan kelapa sawit dengan baik dan benar, tetapi
terdapat beberapa kesalahanpemahaman minor yang membuat mereka masih
bertanya-tanya tentang tugas dan tangung jawab mereka dalam konsep perkebunan
inti –plasma. Semua berkas sudah ditandatangani, aku pun pamit kepada warga dan
pengurus koperasi serta Bang Amin yang telah setia menemani aku sepanjang hari
untuk menilai batang per batang sawit. Sebenarnya kami harus menunggu rombongan
yang menggunakan mobil tapi memilih ikut boncengan dengan motor Pak Sutress untuk
menikmati pemandangan kebun di sore hari. Walaupun ban motor depan Pak Sutress bocor
tetapi beliau tetap semangat menggeber motor yang telah menemaninya lebih dari
sepuluh tahun hidupnya. “mungkin motor ini sudah lupa bagaimana rasanya aspal,”
kelakar beliau. Benar saja, ban motor depan yang bocor sudah tidak sanggup lagi
menahan berat kami berdua sehingga beliau memutuskan untuk berhenti di sebuah
bengkel untuk mengganti ban dalam motornya. Tidak berapa lama rombongan yang
menggunakan mobil pun datang, ban Pak Sutress belum selesai di kerjakan
kemudian beliau menyuruh ku untuk pulang dengan mobil saja. Aku pun
menyampaikan rasa terima kasih kepad Pak Sutress lalu masuk kedalam mobil dan
bergabung dengan anggota tim yang lain.
Semua
anggota tim telah berkumpul sore harinya, beberapa langsung menuju kamar
masing-masing untuk beristirahat dan beberapa juga ada yang membincangkan
kondisi kebun yang mereka nilai tadi. Aku lebih memilih untuk istirahat karena
memang bukan main capeknya, tulang aku berasa mau rontok. Rencana cuma buat
melepas lelah akhirnya membuat aku tertidur hingga pukul tujuh malam, Bang Edi membangunkan
ku untuk makan malam bersama. Segera aku mandi dan bersiap untuk makan malam bersama.
Kami makan bersama dengan Bu Betty sambil membicarakan kebun yang kami nilai
tadi siang, “setelah makan ini kita rekap nilainya ya yang belum paham cara
menghitungnya nanti saya ajarin,” kata Bu Betty. Sontak aku pun kaget karena
memang aku belum paham cara merekap data yang aku kumpulkan tadi siang, takutnya
data yang aku buat salah atau tidak sesuai dengan format. “hey nanda, sini tak
ajarin kamu rekap datanya biar pintar ngitungnya,” sentil Bu Betty pada ku.
Langsung aku ambil berkas yang sudah aku isi tadi siang dan bu Betty pun
mengajarkan dengan seksama di teras luar mess. Kami membahas rekapitulasi data
sambil menikmati segelas teh dan kacang sebagai cemilan. Bu Betty dengan sabar
mengajari ku cara menghitung sehingga di dapat lah nilai kebun secara
keseluruhan, “ kamu kerja di bank ko tulisannya berantakan,” celetuk Bu Betty.
Aku pun hanya tersenyum karena memang tulisan ku tidak pernah bagus semenjak
bisa menulis sewaktu sekolah dasar :D.
Dalam
satu berkas terdapat empat lembaran yang terisi penuh degan angka-angka, dimana
aku harus bisa menjumlahkan semua angka dengan rumus yang telah dibuat untuk
mendapatkan nilai kebun. Untuk satu berkas aku membutuhkan waktu sekitar
setengah jam berarti untuk 13 berkas aku membutuhkan waktu sekitar enam jam untuk
menyelesaikannya. Begadang adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan semuanya
sebelum diminta oleh Bu Betty esok
harinya. Aku tidak begadang sendirian menyelesaikannya, tetapi juga ditemani Bang
Edi dan beberapa anggota tim dari Disbun Kabupaten Madina. Ada hal yang lebih
menyenangkan ketika kami disuguhi durian yang tentu saja aku habiskan bersama
dengan Bang Edi :D. Persediaan kacang yang ada di dalam toples pun menipis
seiring dengan pekerjaan kami selesai tepat pada pukul 02.30 pagi. Setelah
merapikan semua berkas kami pun segera menuju kasur untuk merebahkan diri,
menghempaskan tubuh yang sudah lunglai.
Esok
paginya aku terbangun pukul 07.00 WIB, terlihat Pak Helmi sudah bersiap-siap,”
jika tidak ada yang akan kita kerjakan hari ini nanti setelah sholat jumat kita
balik,” kata beliau sambil berkemas. Aku pun segera meloncat dari kasur, badan
sudah lumayan bertenaga dan berharap hari ini pekerjaan bisa selesai. Seperti
biasa kami sarapan bersama sambil membicarakan segala sesuatunya tentang perkebunan
sawit karena memang itu adalah hal yang paling menarik dibicarakan.
Beruntungnya adalah aku banyak tahu dari Bu Betty dkk tidak hanya tentang
penilaian kebun tetapi juga beberapa permasalahan sawit yang menjadi
pembicaraan di pemerintah pusat. “saya hari ini mau ke KUD Maju Bersama untuk
mengambil beberapa sampel lagi, saya targetkan sebelum sholat jumat sudah
balik,” kata Bu Betty. Dia bilang kalau data sudah selesai direkap dan
dibuatkan berita acaranya berarti semua tugas telah selesai. Setelah sarapan,
Bu Betty pun bersiap pergi dan kamipun bersiap untuk menuju masjid menunaikan
sholat Jumat. Sekembalinya bu Betty kami
dikagetkan dengan keinginan Bu Betty agar sampel di Maju Bersama di tambah
untuk data yang lebih valid. Akhirnya setelah dibicarakan maka aku, Bang Edi
dan beberapa orang dari Disbun Madina kembali menuju kebun KUD Maju Bersama
untuk melakukan penilaian kembali. Kami juga ditemani oleh beberapa asisten
kebun PTPN IV untuk memudahkan kami mengetahui medan perkebunan.
Lokasi kebun KUD Maju Bersama terletak di tepi
pantai barat Samudra Hindia, jadi jika kita ingin ke KUD Maju Bersama maka kita
akan melewati pesisir pantai barat nan indah, dimana aku sama sekali tidak
membayangkan ada perkebunan sawit di tepi pantai. Karena sudah lama tidak
melihat pantai makanya aku penasaran sekali dengan pemandangan pantai barat
samudra hindia yang kami lewati, benar saja kami menyusuri jalan yang tidak
jauh dari pasir putih pantai, pemandangan yang sudah lama tidak aku lihat.
Mataku tidak henti terus melihat dari dalam mobil, pantai yang panjaaaaanggggg
dan indah. Tidak jauh dari pantai tersebut kami telah tiba di kebun KUD Maju
Bersama, segera kami turun untuk mendengarkan instruksi Pak Royo tentang tata
cara penilaian kali ini. Bahkan ketika aku melakukan penilaian pun samar-samar
terdengar suara ombak pantai barat. Kami melakukan penilaian sekitar satu jam
karena lahan yang dinilai memang tidak banyak dan topografinya datar sehingga
kami tidak membutuhkan tenaga ekstra, cuma dari awal kami sudah di ingatkan
akan bahaya ular yang banyak di temukan warga di kebun KUD Maju Bersama.
Setelah melakukan penilaian kami beristirahat sebentar di perumahan karyawan
pengelola kebun, salah seorang pekerja mengatakan bahwa sejauh ini telah 3 ekor
kambing warga telah dilahap oleh ular pada waktu malam hari. Bicara soal ular
adalah binatang yang paling aku takuti, karena ular terlihat menggelikan dan
ganas, mampu bergerak cepat dan mematikan tentunya.
Kami
pun melanjutkan perjalanan kembali ke mess ketika matahari akan tenggelam,
“sunset” fikirku. Benar saja di sepanjang perjalanan kami ditemani oleh sinar
merah keemasan matahari yang akan tenggelam di pantai barat, suatu pemandangan
yang indah sehingga aku abadikan dengan kamera ponselku beberapa jepretan.
“pantai
di sini ramenya kalau hari libur atau hari besar saja, kalau hari-hari biasa ya
sepi kayak gini,” kata supir yang membawa kami.
Setelah
disepakati kami melewati jalur Desa Sinunukan untuk makan malam disana, sekedar info kepada para pembaca setia bahwa Desa
Sinunukan adalah salah satu desa transmigrasi yang paling sukses karena saat
ini taraf kehidupan masyarakatnya meningkat drastis, kalau aku tidak salah Desa
Sinunukan terbagi atas lima blok desa. Hal ini berarti masyarakat Sinunukan sangat
berterima kasih kepada alm Presiden Soeharto dengan program trasmigrasinya.
Memang benar bahwa Desa Sinunukan terlihat lebih maju karena kita bisa lihat
dari bangunan rumah warga yang umumnya sudah permanent dan bagus, cuma kondisi
jalan saja yang perlu diperbaiki. Salah satu kiat sukses masyarakat Sinunukan adalah
mereka tidak hanya memanfaatkan lahan perkebunan sawit namun juga beternak sapi
di sela perkebunan sawit. Bahkan sebelum memasuki desa sinunukan mobil kami
sempat dihadang oleh ratusan sapi yang lagi asik nongkrong di tengah jalan,
mereka seakan tidak peduli dengan mobil yang lewat sehingga kami harus
mengusirnya terlebih dahulu.
Sesampainya
di tempat makan, kami semua turun dari mobil dan memesan makanan masing-masing,
“ pesan aja Pak kita makan sepuasnya,” ujar salah seorang asisten kebun. Ia
bilang kalau tempat makan tersebut adalah yang paling rame dan enak. Aku pun
memesan ayam goreng kampung dan juga satu mangkuk soto medan, itu adalah soto
medan pertamaku dalam hidupku, rasanya mirip dengan soto betawi tetapi lebih
kental dan memiliki aroma bawang seperti soto padang. Bisa dikatakan bahwa soto
medan adalah perpaduan antara soto betawi denga soto padang, kuahnya yang
berwarna hijau kental begitu nikmat ditambah dengan irisan daging sapi. Ayam
goreng kampungya juga yummi dengan sambal colek nya yang tidak begitu pedas,
sebenarnya sih aku lebih suka pedas. Alhasil kami semua kekenyangan dengan
santapan masing-masing, ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami segera meninggalkan
tempat makan menuju mess untuk istirahat eh maksudnya untuk merekap
data....hahahha. Benar saja ketika sesampai di mess, setelah membersihkan diri
dari keringat, aku langsung melakukan rekap data yang harus diselesaikan karena
besok pagi Bu Betty akan membuat berita acaranya. Tidak butuh waktu lama bagiku
untuk menyelesaikan rekap data karena sudah lumayan mahir setelah di ajarkan Bu
Betty semalam. Kami bisa tidur lebih
cepat.
Pagi-pagi sekali aku sudah melihat Bu Betty
dan anggota tim dari Dinas Perkebunan Madina sibuk melakukan rekapitulasi semua
data yang telah di kumpulkan untuk dibuatkan berita acaranya. Sambil menunggu
berita acaranya selesai aku dan Bang Edi duduk di teras sambil menikmati
secangkir teh dan kacang. Setelah semuanya selesai dan ditandatangani, kamipun
pamit kepada anggota tim yang lain dan juga perwakilan dari PTPN IV, Pak Helmi
pun memutuskan untuk mengambil jalur yang berbeda yaitu dengan menempuh Kota
Bukittinggi. Alangkah senangnya hatiku karena tentu saja aku bisa singgah di
rumah terlebih dahulu untuk bertemu orang tua ku. Jalur yang kami lewati lebih
baik dari sebelumnya sehingga Bang Edi tidak terlalu sulit untuk mengemudikan
mobil, hingga akhirnya kami sampai pukul tujuh malam di rumahku. Mama dan papa
ku sudah berdiri dengan senyum sumringah menyambut kami, sebagaimana permintaan
aku sebelumnya untuk makan di rumah dengan ikan teri pun akhirnya kesampaian.
Semua nya sudah disiapkan oleh mama sehingga kamipun makan dengan lahap, “gini
aja nanda, kamu tidur dirumah dulu agak semalam ini besok baru kita balik ke Pekanbaru
kan kamu kangen orang tua mu juga,” kata Pak Helmi saat makan. Tentunya aku
senang bukan main karena bisa bermalam drumah, berkumpul dengan keluarga agak
sejenak.
Setelah makan malam, Pak Helmi pun minta
diantarkan ke Bukittinggi untuk mencari penginapan yang jaraknya sekitar setengah
jam dari rumah ku. Agak susah memang menemukan penginapan karena bertepatan
dengan liburan sekolah, sehingga Pak Helmi pun terpaksa tidur di salah satu
penginapan yang mungkin saja tidak ada bintangnya...hehehe. Selesai
mengantarkan Pak Helmi, akupun mengajak papa yang juga ikut untuk makan sate
bersama, senang sekali rasanya bisa ngumpul dan makan sate bersama. Kali ini
bukan satenya lagi yang enak tetapi kebersamaannya yang aku rasakan paling
enak. Tidak lupa aku belikan jagung rebus manis kesukaan mama lalu kami pun
melaju menuju rumah.
Kelelahan yang melanda Bang Edi membuatnya
cepat mengambil posisi untuk tidur dan dalam sekejap saja ia sudah tertidur
pulas, sedangkan aku masih bercerita dengan mama dan papa sambil nonton tv. Keesokan
paginya aku mengajak Bang Edi untuk mandi di sungai dekat rumah dimana sungai
adalah salah satu tempat favorit ku semasa kecil, ingin lama-lama rasanya
berenang tetapi air sungai yang dingin membuat kami tidak betah berlama-lama.
Setidaknya aku bisa melepaskan kerinduan untuk mandi di sungai mengenang masa
kecil dan bersyukur air sungai itu masih jernih dan segar tidak seperti
sungai-sungai di kota yang telah banyak tercemar. Setelah semuanya selesai dan
berpamitan, aku dan Bang Edi langsung menuju hotel Pak Helmi dan kami
mengakhiri petualangan Madina dengan menyantap sepiring nasi kapau uni en yang
sangat lazizzzz bin yummi...sampai-sampai piring ku licin...hahaahaha.
Sekarang
kami bersiap untuk kembali ke Pekanbaru. Petualangan yang baru dan sarat akan
pelajaran. Terima Kasih.
Pekanbaru, 24 Juli 2014
Comments
Post a Comment